HUBUNGAN
ANTAR AGAMA
DI INDONESIA :
TANTANGAN
DAN HARAPAN
Oleh : Dzulfikar Rezky
Mahasiswa Program Pascasarjana
Institut Agama Islam Nahdhatul Ulama Jakarta
A. Berbagai Perspektif Pluralisme Agama
Berbicara tentang
hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama.
Pluralisme agama sendiri dimaknai secara
berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis,
teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita
adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah
kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam
kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan
terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme
yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan
terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah
yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia
mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu
dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat
pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved
(terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved
(terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan
sejarah masyarakat adalah multi-complex
yang mengandung religious pluralism,
bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita
harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Dapat dicermati
bahwa Rasjidi tidak memandang adanya pertemuan
dalam masalah-masalah teologis. Pandangan pluralismenya tidak berarti
adanya pertemuan dalam hal keimanan,
namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan
pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran
yang ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang hal itu.
Namun demikian, ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis
dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik
sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari
agama Kristen. Ia mengritik aktivitas misi atau zending tersebut. Ia tidak
mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama Kristen.
Karena itulah pola yang dipakai Rasjidi adalah pola responsif atas
persoalan yang berkembang, misalnya
tentang kristenisasi, sehingga terkesan defensif. Apa yang dikemukakannya
adalah sebuah pembelaan, sebuah dialog bertahan, bukan menyerang. Pembelaan
Rasjidi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam disampaikan secara
terus-terang dan terbuka, bahkan kadang kalah
tidak dapat menghindari munculnya tuduhan, tudingan dalam dalam hal-hal yang empirik (aktual). Ia tidak
pernah menutupi sesuatu pun, meskipun hal itu terasa pahit dan keras, misalnya
tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen.
Terdapat kesan bahwa pandangan tentang absolutisme agama didasarkan oleh kandungan ajaran bahwa pemeluk
agama tidak dapat objektif terhadap kebenaran lain. Bagi umat Islam barangkali
didasarkan pada ajaran bahwa “agama yang paling benar di sisi Allah adalah
Islam”.
Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti
Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial,
tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak
bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek)
yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus
dan Mariam.
Menurutnya, orang
Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu
merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat
mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad.
Kemudian, orang Islam juga tidak hanya
memandang al-Qur’an tetapi juga Torah
dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab
Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan
wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa
mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam
Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel memuat/mengandung Kalam Tuhan.
Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa
masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan.
Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini
oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen
memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang
Nabi Muhammad.
Jadi, pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni
bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing.
Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran
diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat
yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception,
yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan
agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama
baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan
demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa
bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis
(campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa
agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan
berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang
paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan
agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
Mukti Ali
sendiri setuju dengan jalan “agree in disagreement”. Ia mengakui
jalan inilah yang penting ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Orang yang beragama harus percaya
bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan
orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa
agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.
Wacana pluralisme agama Djohan Effendi berbeda
dengan pluralisme Rasjidi dan Mukti Ali di atas. Pengakuan pluralisme Djohan Effendi bukan hanya pengakuan
secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang
titik temu secara teologis di antara umat beragama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama.
Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian
antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya,
agama –terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak.
Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak
bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia
sendiri bersifat nisbi. Oleh karena itu,
kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia –termasuk kebenaran agama yang
dikatakan oleh manusia—bersifat nisbi, tidak absolut. Yang absolut adalah
kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh
manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan.
Dengan bahasa lain, Greg Barton menyebut bahwa
Djohan Effendi menolak absolutisme agama dan mengakui pluralisme agama.
Djohan mengemukakan:
“Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian
dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama
sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam
ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan
agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga
aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena
itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri
dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan
pengertian dan pemahaman orang lain.”
Pemikiran pluralisme Djohan Efendi berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah
(baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang penting, tapi ia kurang setuju
jika keberagamaan seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat
mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim
satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan, dialog merupakan sesuatu yang
esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.
Sekali lagi, Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan
atau kekerasan apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah
sikap moderat dan liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan
akan bisa terwujud. Djohan mengemukakan:
“Dengan pendekatan dan pemahaman
yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh
jadi bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan
keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu
pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran
kebenaran tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa
keagamaan seseorang pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya
pengaruh lingkungan.”
Djohan membuat garis pembatas yang tegas antara
agama dan keberagamaan. Kedua hal ini tidak dapat dicampuraduk. Ia tidak setuju
terhadap pandangan keagamaan seseorang –sebagai suatu keberagamaan-- yang
dianggap bersifat absolut. Absolutisme
keberagamaan adalah tidak benar. Berbagai persoalan yang menimpa umat beragama sering kali disebabkan adanya pandangan
bahwa keberagamaan seseorang sebagai satu-satunya yang paling benar, sementara
keberagamaan orang lain salah. Inilah
yang kemudian menumbuhsuburkan adanya misi, zending, dakwah dan semacamnya.
Menurutnya, Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang
menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.” Ia juga
merujuk ayat yang menunjukkan bahwa
Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau
beriman atau kufur terhadap-Nya. Menurutnya, Islam sama sekali tidak menafikan
agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak
menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan
kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan
sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela
kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang
lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan
keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap
mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.
Hal yang sama juga
dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme,
karena absolutisme adalah pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
“Petunjuk konkret
lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali suatu
kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai
kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik
daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan kita –dalam pergaulan
dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang percaya kepada
Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”
Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak
menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam
saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan
bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia
mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para
penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat
berbahaya.
Nurcholish melihat bahwa peta tahun 1992 sedang
ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Diakui, agama memang
bukan satu-satunya faktor, tapi
jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam
eskalasinya sangat banyak memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam suatu konflik seringkali
melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion). Ia menyebut tempat-tempat konflik; Irlandia,
sekitar Perancis dan Jerman, Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur
Dekat, Afrika Hitam, Sudan, Perang Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailang,
dan Filipina.
Menanggapi semboyan yang
diperkenalkan oleh futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Spiritualiy, Yes; Organized Religion, No,
Nurcholish menyatakan bahwa semboyan itu mengandung makna prinsipil daripada
semboyan yang pernah ia kemukakan 20 tahun sebelumnya –“Islam, Yes; Partai
Islam, No”. Nurcholish mengaku mengalami
kesulitan besar, bahkan kemustahilan, untuk dapat menerima kebenarannya. Ia juga
menegaskan bahwa semboyan Spirituality,
Yes; Organized Religion, No, agaknya tidak memiliki pijakan yang kuat. Artinya, agama-agama resmi memang
masih menjadi fenomena yang banyak memainkan peran dalam kehidupan manusia.
Merujuk
pada Kitab Suci al-Qur’an, Nurcholish menegaskan bahwa setiap umat atau
golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang utusan Tuhan,
dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja (dalam
pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Ia mengutip Surat al-Nahl (16): 36. Berdasarkan firman-firman Allah itu dikatakan
bahwa:
“... semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan dalam setiap umat
adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan Yang
Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan
lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik
pertemuan, common platform atau,
dalam bahasa al-Qur’an, kalimatun-sawâ’
(kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.”
Menurut Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam
agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang
benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa
ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam
bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan
tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran
pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama. Dalam rangka menjelaskan
hal ini, ia mengutip al-Qur’an, yakni dalam Surat Al-Syûrâ (42):13, al-Nisâ’ (4):163-165, al-Baqarah (2):136,
al-Ankabût (29):46, Al-Syûrâ (42):15, dan al-Mâidah (5):8. Ayat-ayat yang
dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad dengan syariat
Nuh, Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa, Sulaiman,
Dawud, Isa dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad.
Ayat-ayat itu menunjukkan adanya
kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama para Nabi dan Rasul Allah.
Nurcholish mengritik masyarakat sekarang ini, baik Muslim maupun yang bukan,
karena banyak yang tidak menyadari adanya pandangan itu.
Menjelasakan tentang titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh
Nurcholish. Pertama, Islam
mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus
Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua,
Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang
percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama
yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya,
khususnya yang secara “genealogis”
paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik
dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab). Semua
prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”.
Menurut Nurcholish, pandangan-pandangan inklusivitas amat relevan untuk
dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi berkat teknologi
informasi dan transportasi, yang membuat umat manusia hidup dalam sebuah “desa
buwana” (global village). Ia menegaskan:
“Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung, manusia akan semakin intim
dan mendalam mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah terbawa
kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Karena itu sangat diperlukan
sikap-sikap saling mengerti dan paham, dengan kemungkinan mencari dan menemukan
titik kesamaan atau kalimatun sawa’
seperti diperintahkan Allah dalam al-Qur’an. Dengan tegas al-Qur’an melarang
pemaksaan suatu agama kepada orang atau komunitas lain, betapapun benarnya
agama itu, karena akhirnya hanya Allah yang bakal mampu memberi petunjuk kepada
seseorang, secara pribadi. Namun, demi kebahagiaannya sendiri, manusia harus
terbuka kepada setiap ajaran atau pandangan, kemudian bersedia mengikuti mana yang terbaik. Itulah
pertanda adanya hidayah Allah kepada mereka. Dan patut kita camkan benar-benar
pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Hamid
Hakim bahwa pengertian sebagai Ahl
al-kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti
tersebut dengan jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster)
seperti tersebut dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain
yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”
Nurcholish
menyinggung tentang bagaimana sikap keberagamaan yang benar. Ia menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah,
agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Ia
mengemukakan:
“Sikap mencari Kebenaran
secara tulus dan murni (hanîfiyyah,
kehanifan) adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan
sejati, dan yang tidak bersifat palliative
atau menghibur secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme.
Maka Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah (baca:
“al-hanîfiyyatus-samhah”) yaitu semangat mencari kebenaran yang
lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.”
Oleh karena itu, umat
Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari
kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama
atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk
penindasan yang lain.
Sementara itu,
Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian
pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia
menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga.
Pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan
berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada
tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara
alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus
kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka
yang tidak pintar juga tidak kaya, yang
biasanya disebut “orang-orang terbaik’. Gus Dur memberi contoh sebagaimana yang
dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam
masyarakat.
Gus Dur mengembangkan
pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan
yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme
agama.
Apa yang disampaikan oleh Gus Dur sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat
Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Berkenaan
dengan makna salah satu ayat al-Qur’an Surat Al-Fath (48) ayat 9 yang berbunyi “Asyiddâ-u âlâ al-Kuffârm ruhamâ-u bayna hum,
ia memahami bahwa ada perbedaan antara orang non-Muslim sekarang dengan kaum
kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu adalah kaum kafir
Mekkah). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan
kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya,
esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa
saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika
Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan
standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk
orang berlainan agama.
Kemudian, berkenaan dengan bunyi ayat al-Qur’an
dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 (Wahai
Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu
sampai kamu ikuti agama mereka, Gus Dur memandang bahwa ayat ini sering digunakan untuk membenarkan
sikap dan tindakan anti-toleransi, karena kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu
dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pekabaran Injil, dan
sebagainya. Menurutnya, kata “tidak rela” harus didudukkan secara proporsional.
Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Tentu saja, ini
tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Tidak menerima konsep dasar bukan berarti mesti mengembangkan sikap
permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar
Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa
menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya,
kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain. Pendapat orang lain ini tentu saja
berarti keyakinan orang lain.
Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus
dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan
sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi
konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah (1) tidak
semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam
kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras,
bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar
penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada. (3)
konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi
dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar.
Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan
mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua
dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur
relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas
suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain.
Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang
menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian
integral dari agama baru tersebut.
Satu hal yang ditegaskan oleh Alwi adalah apabila konsep pluralisme agama
hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh
terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka
ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati
mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hal ini untuk menghindari
relativisme agama. Ia menekankan perlunya membudayakan sikap keterbukaan,
menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas
komitmen terhadap agama masing-masing.
Alwi menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain.
Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s., al-Qur’an menggunakan kata
ahl al-kitab (yang memiliki kitab
suci). Penggunaan kata ahl, yang
berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.
Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas Penulis
dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan pluralisme yang masih menyisakan adanya
absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini
dikemukakan oleh Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman
Wahid. Ketiga, pandangan pluralisme
yang menempati posisi antara absolutisme agama dan pluralisme liberal.
Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat absolut yang tidak
dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui bahwa pluralisme itu
tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif
dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka, menerima perbedaan,
dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas komitmen terhadap agama
masing-masing. Konsep yang dikemukaan Mukti Ali “agree in disagreement” kiranya dapat mewakili pandangan yang
terakhir ini. Begitu juga pandangan Alwi Shihab.
B. Dialog dan Tantangan Umat Beragama
Sekarang ini umat
beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di
antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di
Poso.
Potensi pecahnya konflik
sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas
objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur
pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan
lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia.
Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting. Secara tidak sadar, manusia terkelompok
ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi
di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia
terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya.
Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi pecahnya konflik antar umat
beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir
perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan
bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan
standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di
dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua
pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu
hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak
asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian.
Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui
kepentingan umat tertentu.
Standar universal
ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang
mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai
nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia
tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak
dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah
kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik
secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan
memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para
cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi
moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai
oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama
secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep
modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi
manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan
etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak
dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah
al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami
pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa
hidup damai dan harmonis.
Selanjutnya, suatu
dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak,
memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama,
adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan semua pihak secara
proporsional, adil dan setara. Dialog
bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai
“agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan
memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada
yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari
salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam
memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala
kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata
lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri
atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang
sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan
pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa
berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat
beragama sendiri.
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan
sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu
yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap
pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari
beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada
organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”,
semuanya harus sama.
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama
dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus
mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di
permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam
(batin). Dari situlah bisa ditemukan
dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia
ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri.
Namun demikian, penulis
melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar
umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai
berikut: (1) kurang memiliki pengetahuan
dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya
kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim. (2) Faktor-faktor sosial politik dan
trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik
antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte
keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran
hitam-putih. (4
) Kesenjangan
sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu. (5) Masih adanya kecurigaan dan
ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada
hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang
konfrontatif. (9) Ketegangan politik
yang melibatkan kelompok agama.
C. Urgensi Studi Agama
Mencermati perjalanan umat beragama di Indonesia 30 tahun
terakhir, sebagaimana tercermin dalam tawaran pemikiran-pemikiran yang
dikemukakan oleh para intelektual Muslim Indonesia, tampak bahwa di kalangan
umat beragama ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang sudah
terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian, dan ada juga yang
belum terselesaikan. Beberapa persoalan
dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang
dan mungkin sampai masa yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat
beragama, seperti di Poso, adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat
beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif agama mereka secara
spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan
untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita
perlu mengembangkan kesadaran konstruktif mengenai “agama-agama lain”.
Selain itu, diskusi dan sikap menerima
terhadap masyarakat yang
pluralistik menjadi sesuatu yang sangat
menentukan pada masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi
agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks
relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan
kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar
umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat
menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta yang berarti pada masa lalu atau berarti pada
masa sekarang. Hendaknya studi agama-agama
tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang
telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya. Di
Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan tinggi dan
lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan,
sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak alternatif. Seperti
yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa melalui etika dan spiritualitas.
Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an
hanya mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama
Islam sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun
sawa’) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula.
Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif
berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa
henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan
lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu
masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan
kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan
lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak
keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan
berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat
kemanusiaan (human dignity),
menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia
tanpa pandangan “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut
agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu
etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi
formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”
Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah
pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat
beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang pernah terjadi dalam
rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa dalam sejarah relasi
umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua,
mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini
dan implikasi-implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas
beragama dan mencari solusi yang tepat
untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja
diperlukan kontribusi ilmu-ilmu sosial
dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di masa depan.
Adanya perbedaan
agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka.
Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, teologis dan
etis (moral). Selain itu, titik temu
bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga
dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama bukanlah sesuatu yang
diharamkan. Al-Qur’an sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan
agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu
bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan
antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak
eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap positif terhadap agama-agama lain.
Selain itu, penulis
menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk
mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat
Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika mengimplementasikan
pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama dan pengakuan akan
pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat beragama pada masa Nabi.
Pengalaman Nabi yang paling awal adalah pengalaman hidup
bersama dengan pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan Michael H. Hart bahwa
di kota Mekkah sebelum datangnya Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk
Yahudi dan Nasrani, serta sejumlah besar penyembah berhala. Di
antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu Huairis, Abdullah ibnu
Djahsy dan Zaid ibnu Umar. Kontak
telah terjadi di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada
kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat terekam mengakui
kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal.
Ketika itu, Muhammad menceritakan kepada istrinya
Khadijah tentang apa yang telah dialaminya di Gua Hira ketika didatangi
Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu dari Allah. Setelah Khadijah mendengar
cerita dari Muhammad dan ketika Muhammad sedang tidur, Khadijah berkonsultasi
dengan saudara sepupunya (anak pamannya) Waraqa bin Naufal perihal
apa yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian mengakui bahwa Muhammad adalah
Nabi umat ini, meski ia belum bertemu dengan Muhammad.
Kemudian ketika Nabi Muhammad bertemua dengan Waraqa bin Naufal pada saat akan
mengelilingi Ka’bah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad bahwa beliau adalah
Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa Muhammad telah menerima Namus besar
seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Ia juga mengingatkan bahwa
tantangan Muhammad sangat berat.
Pengalaman yang sangat berkesan dan memiliki bekas yang
sangat berharga adalah ketika Muhammad menyarankan kaum Muslimin untuk pergi ke
Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang penguasa dan rakyatnya memeluk agama
Kristen.
Pengalaman itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama bisa hidup rukun dan
saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal di Abisinia sampai
sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.
Orang-orang Islam mendapat perlindungan keamanan Raja
Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang mengejar sampai ke negeri Abisinia.
Raja Najasy sempat berdialog dengan umat Islam berkenaan dengan keberadaan
agama Islam yang menganjurkan untuk berlaku jujur, dapat dipercaya, bersih, tidak
berdusta, menyambung silaturrahmi, menyudahi pertumpahan darah dan
sebagainya. Dialog tersebut membahas juga tentang posisi Islam dan Nasrani.
Mengenai hal ini, Raja Najasy mengibaratkan dengan menggoreskan tongkat di
tanah dan dia berkata, “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak
lebih dari garis ini.” Selama
di Abisinia kaum muslimin merasa aman dan tenteram.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa antara agama-agama,
terutama agama Ibrahimi (abrahamic
religions), memiliki titik-titik persamaan. Titik-titik persamaan ini
bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan
Tuhan (tauhid). Begitu juga hal-hal
yang berkaitan dengan moralitas dan etika dalam kehidupan sesama manusia,
seperti sopan santun, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, saling menghormati,
saling menghargai dan lain-lain.
Pengalaman berikutnya adalah pengalaman ketika umat
beragama (umat Islam, Nasrani dan Yahudi) menjalin hubungan kehidupan
bernegara. Ketika pada periode Madinah, hubungan umat Islam, umat Nasrani dan
Yahudi ditandai terbentuknya negara kota Madinah yang menjunjung tinggi
pluralitas, baik agama, suku dan golongan. Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam
baru saja melalukan hijrah ke Madinah, kesadaran pluralitas ini terlihat sangat
menonjol. Hubungan umat beragama waktu itu diawali dengan kontak damai antara
umat Islam dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang
masih memegang agama dan keyakinan sebelumnya. Semua penduduk menyambut
kedatangan umat Islam dengan damai. Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi
menyambut kedatangan Muhammad dengan baik.
Kemudian, dalam bidang politik kenegaraan, Nabi Muhammad
memantapkan suatu tatanan kenegaraan yang luar biasa dengan mencoba melihat
berbagai pihak dan berbagai kepentingan yang berkembang pada saat itu. Nabi
lalu mewujudkan persatuan Madinah dan meletakkan dasar organisasi politik
kenegaraan dengan mengadakan persekutuan yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam
Madinah. Dalam Piagam Madinah itu kaum muslimin –Anshar dan Muhajirin—dengan
orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah lainnya membuat perjanjian tertulis
yang berisi beberapa hal yang prinsip, seperti pengakuan atas agama mereka
masing-masing dan harta benda mereka.
Dalam perjanjian itu disinggung juga tentang kebebasan beragama, kebebasan
menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda dan larangan orang
melakukan kejahatan. Itu merupakan sejarah baru dalam kehidupan politik dunia
waktu itu.
Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam
buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak,
yang banyak dinukil oleh tokoh-tokoh sejarah. Di
antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan
menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang memiliki kedudukan yang
sama sebagai anggota masyarakat. Dari
situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, lintas agama
dan lintas suku.
Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa
kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara
damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk
membangun suatu negara yang bisa
mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling
pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal
dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung
dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah
saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing
pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan,
perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.