*MEMBANGUN KEARIFAN LOKAL DI RUANG PUBLIK
Oleh; DR
Kemunculan kelompok-kelompok Islam
garis keras di Indonesia pasca reformasi,memang, memancing debat terbuka di
kalangan para ahli. Memang, hampir di semuamasyarakat muslim, agama adalah
persoalan publik yang sangat terkait dengan politik. Asumsibahwa agama hanya
akan menjadi urusan pribadi seperti yang oleh para pengamat telah terjadidi
sebagian negara di Eropa Barat, nampaknya tidak berlaku untuk masyarakat
muslim.
Di Indonesia sendiri, kehadiran
agama di ruang publik diartikulasikan oleh paraaktivisnya dengan wacana
“Penegakan Syari’at Islam”. Dengan menguatnya wacana ini di ranahpolitik
kebangsaan secara langsung dan sengaja telah menandai salah satu ciri dari
prosestransisi demokratis yang sedang berjalan di negeri ini, dimana sebelumnya
di era Orde Barufenomena ini sangat ditabukan.
Agama dan
Ruang Publik
Kebebasan ruang publik pasca
reformasi ini memang tidak hanya dapat dinikmati olehkelompok-kelompok yang
selama ini mendorong demokratisasi di negeri ini. Kelompok-
kelompok yang selama ini anti demokrasi juga sangat
menikmati kehadiran ruang publik yangbebas ini. Di ranah keagamaan,
kelompok-kelompok anti demokrasi yang saat ini begitu
menikmati dan memanfaat situasi kebebasan ruang publik
ini, antara lain Laskar Jihad, FPI,HTI, MMI, dan kelompok lainnya.
Jika sebelumnya, hanya
kelompok-kelompok Islam beraliran moderat saja yang bisamenempati ruang publik
yang disediakan oleh negara, maka saat ini justru kelompok-kelompokIslam yang
beraliran garis keraslah yang justru hampir mendominasinya. Jika sebelumnya
wacana yang memenuhi ruang publik bangsa ini berkisar seputar“Islam
Keindonesiaan”, maka saat ini wacana tersebut mulai terpinggirkan oleh gerakan
danwacana “Penegakan Syari’at Islam”.
Dan Nalar hubungan Islam dan negara
pun mengalamiperubahan yang amat dramatis. Jika sebelumnya, nalar yang
berkembang adalah nalarsubstansiasi Islam terhadap negara, maka saat ini nalar
Islam sebagai ideologi alternatif menjaditelah berhasil menjadi diskursus
tandingannya.Di saat terjadinya transformasi kekuatan kelompok kepentingan di
ruang publik negeriini dari moderat ke radikal, kita menjadi dapat menyaksikan
bagaimana fragmentasi otoritaskeagamaan di negeri ini menjadi makin berkembang.
Tidak ada lagi
penafsir-penafsirkeagamaan yang begitu sentral. Tidak ada lagi lembaga atau
perorangan yang dapat mengklaimdirinya sebagai satu-satunya suara kebenaran.
Ruang publik telah membuka kesempatan yangluas bagi setiap orang untuk memilih,
berdebat, dan menawarkan tafsiran lain terhadap ajaranagama yang dipeluknya.
Jika dulu, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid mampumenempatkan diri
sebagai lokomotif utama Islam Indonesia, maka saat lokomotif itu
sudahterfragmentasi kepada lokomotif-lokomotif lain dengan gerbong-gerbong yang
amat beragam.
Ja’far Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir,
Habib Riziq Shihab dan adalah sedikit nama yangmulai menjadi lokomatif Islam di
negeri ini.Kebebasan Ruang Publik dan Anarkhisme Sosial Dilihat dalam
perspektif demokrasi, kehadiran beragam kelompok kepentingan diruang publik
dalam menyuarakan pendapat dan keyakinan adalah bagian dari kehidupandemokrasi
yang sesungguhnya.
Kondisi ini tentunya amat berbeda
dengan kondisi Orde Baruyang sangat menutup diri bagi kehadiran beragam
kelompok-kelompok kepentingan. Di bawahrambu-rambu SARA, pemerintah Orde Baru
seringkali membatasi apa yang bisa dikemukakanoleh masyarakat ke ruang publik.
Sementara negara pasca reformasi tidak lagi sepenuhnyamengontrol dan
mengendalikan ruang publik.
Saat ini hampir tidak ada legitimasi
negara dalammenafikan hak hidup bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan garis
keras. Seharusnya, memang, sebagaimana yang diidealkan sendiri oleh Jurgen
Habermas,ruang publik yang berada di luar kontrol negara mampu memberikan
kesempatan bagimasyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang
egaliter dan toleran. Denganketerbukaan dan egalitarianisme ruang publik ini,
masyarakat dapat berdiskusi dan berdebatmengenai masalah-masalah yang berkaitan
dengan kepentingan bersama. Muaranya, tidak adalagi kelompok-kelompok yang
termarjinalisasikan di ruang publik yang menjadi arenakontestasi kepentingan
bersama ini.
Namun sayangnya, ruang publik Pasca
Reformasi yang bebas ini ternyata tidak dengansendirinya melahirkan budaya
politik yang toleran dan terbuka di antara kelompok-kelompokyang berbeda.
Penegakan hukum yang lemah justru telah menyeret beberapa kelompokkepentingan
Islam garis keras menjadi polisi “jadi-jadian” di jalanan. Akibatnya,
terjadilahpengusiran atas kelompok-kelompok Islam yang dianggap “tidak resmi”.
Kebebasanberekspresi di alam demokrasi justru dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok tersebut untukmenafikan hak berkebebasan kelompok lainnya.
Di sini, tampak sekali, demokrasi
telahdijadikan sebagai “kuda troya” untuk memaksakan kehendak suatu kelompok
terhadapkelompok lainnya.Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam berhaluan
liberal pun tak kalah gencarmemanfaatkan kebebasan ruang publik yang ada.
Dengan ditopang kekuatan modal sosial yangdimilikinya, kelompok-kelompok ini
pun merengsek masuk ke wilayah-wilayah penafsiran yangsensitif bagi
kelompok-kelompok lainnya. Akhirnya, kelompok ini hadir laksana
“hantu”gentayangan yang mengusik kenyamanan beragama kelompok lainnya.
Akibatnya tidak ada lagi bahasa
kesopanan dan hormat menghormati, serta toleransiantara kedua belah pihak.
Keterbukaan ruang publik justru melahirkan kebalikan cita-cita idealdemokrasi.
Fragmentasi dan penyebaran otoritas yang diciptakan oleh keterbukaan
ruangpublik justru makin memperkuat anarkhisme di tengah-tengah transisi
demokrasi di negeri ini.Kebebasan ruang publik yang tidak diikuti oleh
peningkatan kinerja rule of lawnegara justruberakibat makin maraknya
gerakan-gerakan anti demokrasi di tanah air akhir-akhir ini.
Ruang Publik yang Egaliter dan
Spirit MultikulturalismeBerbekal dari fenomena di atas, sudah sepatutnya kita
mulai memikirkan bentukketerlibatan kita sendiri di ruang publik bangsa ini.
Jika kita sepakat bahwa ketertutupan ruangpublik sebagaimana yang dipentaskan
oleh Orde Baru telah menyebabkan sebagian darisaudara-saudara kita mengalami
proses marjinalisasi secara politik dan ideologi, makaseharusnya kita juga
harus menyadari sepenuhnya bahwa radikalisme dan militansi yang terjadipada
sebagian saudara-saudara kita yang mengusung bendera “Penegakan Syari’at Islam
adalahakibat yang nyata dari proses marjinalisasi yang selama ini mereka
rasakan.
Ruang publikterbuka dan bebas
akhirnya bukan dijadikan saran berdemokrasi, tapi justru show of forcekelompok
terhadap kelompok lainnya.Oleh karena itu, sudah saatnya momen keterbukaan
ruang publik yang saat ini sama-sama kita nikmati justru bisa membawa kita pada
pemahaman bahwa toleransi danegalitarianisme merupakan syarat mutlak bagi
kelangsungan ruang publik yang terbuka ini.
Dengan demikian, sudah saatnya kita
memikirkan bagaimana menumbuhkan budaya tolerandan egaliter di tengah-tengah
ruang publik yang bebas.Bentuk toleransi dan egalitarianisme itu dapat
diwujudkan melalui sikap-sikap tidakmerasa benar sendiri atas kelompok yang
lain. Janganlah dalih kebenaran membuat kitamenjadi bersikap pongah untuk
memaksa nilai-nilai yang kita yakini untuk diikuti oleh oranglain.
Kepongahan itu tampaknya saat ini
bukan hanya milik sepenuhnya kelompok-kelompokyang dituduh “radikal dan
fundamentalisme”, tapi juga merambah pada kelompok-kelompokyang katanya
pro-demokrasi Barat. Akibatnya, kelompok yang terakhir ini juga bisa kita
tuduh“fundamentalis” karena merasa selalu paling benar dan tanpa sopan santun
menafsirkan secarabebas nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok lain. Sehingga
kedua kelompok yang sedangberhadap-hadapan ini terjebak dalam ekstremisme sikap
yang berlebihan.Untuk itu, dalam mempertahankan ruang publik yang bebas dan
terbuka memang diperlukan etika sosial bersama dengan juga ditopang oleh ruleof lawnegara
yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan. Mudah-mudahan kita tetap berada di alam demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar