Kamis, 26 Maret 2015

*MEMBANGUN KEARIFAN LOKAL DI RUANG PUBLIK
Oleh; DR


Kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras di Indonesia pasca reformasi,memang, memancing debat terbuka di kalangan para ahli. Memang, hampir di semuamasyarakat muslim, agama adalah persoalan publik yang sangat terkait dengan politik. Asumsibahwa agama hanya akan menjadi urusan pribadi seperti yang oleh para pengamat telah terjadidi sebagian negara di Eropa Barat, nampaknya tidak berlaku untuk masyarakat muslim.

Di Indonesia sendiri, kehadiran agama di ruang publik diartikulasikan oleh paraaktivisnya dengan wacana “Penegakan Syari’at Islam”. Dengan menguatnya wacana ini di ranahpolitik kebangsaan secara langsung dan sengaja telah menandai salah satu ciri dari prosestransisi demokratis yang sedang berjalan di negeri ini, dimana sebelumnya di era Orde Barufenomena ini sangat ditabukan.

Agama dan Ruang Publik
Kebebasan ruang publik pasca reformasi ini memang tidak hanya dapat dinikmati olehkelompok-kelompok yang selama ini mendorong demokratisasi di negeri ini. Kelompok-
kelompok yang selama ini anti demokrasi juga sangat menikmati kehadiran ruang publik yangbebas ini. Di ranah keagamaan, kelompok-kelompok anti demokrasi yang saat ini begitu
menikmati dan memanfaat situasi kebebasan ruang publik ini, antara lain Laskar Jihad, FPI,HTI, MMI, dan kelompok lainnya.
Jika sebelumnya, hanya kelompok-kelompok Islam beraliran moderat saja yang bisamenempati ruang publik yang disediakan oleh negara, maka saat ini justru kelompok-kelompokIslam yang beraliran garis keraslah yang justru hampir mendominasinya. Jika sebelumnya wacana yang memenuhi ruang publik bangsa ini berkisar seputar“Islam Keindonesiaan”, maka saat ini wacana tersebut mulai terpinggirkan oleh gerakan danwacana “Penegakan Syari’at Islam”.

Dan Nalar hubungan Islam dan negara pun mengalamiperubahan yang amat dramatis. Jika sebelumnya, nalar yang berkembang adalah nalarsubstansiasi Islam terhadap negara, maka saat ini nalar Islam sebagai ideologi alternatif menjaditelah berhasil menjadi diskursus tandingannya.Di saat terjadinya transformasi kekuatan kelompok kepentingan di ruang publik negeriini dari moderat ke radikal, kita menjadi dapat menyaksikan bagaimana fragmentasi otoritaskeagamaan di negeri ini menjadi makin berkembang.

Tidak ada lagi penafsir-penafsirkeagamaan yang begitu sentral. Tidak ada lagi lembaga atau perorangan yang dapat mengklaimdirinya sebagai satu-satunya suara kebenaran. Ruang publik telah membuka kesempatan yangluas bagi setiap orang untuk memilih, berdebat, dan menawarkan tafsiran lain terhadap ajaranagama yang dipeluknya. Jika dulu, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid mampumenempatkan diri sebagai lokomotif utama Islam Indonesia, maka saat lokomotif itu sudahterfragmentasi kepada lokomotif-lokomotif lain dengan gerbong-gerbong yang amat beragam.

Ja’far Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir, Habib Riziq Shihab dan adalah sedikit nama yangmulai menjadi lokomatif Islam di negeri ini.Kebebasan Ruang Publik dan Anarkhisme Sosial Dilihat dalam perspektif demokrasi, kehadiran beragam kelompok kepentingan diruang publik dalam menyuarakan pendapat dan keyakinan adalah bagian dari kehidupandemokrasi yang sesungguhnya.

Kondisi ini tentunya amat berbeda dengan kondisi Orde Baruyang sangat menutup diri bagi kehadiran beragam kelompok-kelompok kepentingan. Di bawahrambu-rambu SARA, pemerintah Orde Baru seringkali membatasi apa yang bisa dikemukakanoleh masyarakat ke ruang publik. Sementara negara pasca reformasi tidak lagi sepenuhnyamengontrol dan mengendalikan ruang publik.

Saat ini hampir tidak ada legitimasi negara dalammenafikan hak hidup bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan garis keras. Seharusnya, memang, sebagaimana yang diidealkan sendiri oleh Jurgen Habermas,ruang publik yang berada di luar kontrol negara mampu memberikan kesempatan bagimasyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan toleran. Denganketerbukaan dan egalitarianisme ruang publik ini, masyarakat dapat berdiskusi dan berdebatmengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Muaranya, tidak adalagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasikan di ruang publik yang menjadi arenakontestasi kepentingan bersama ini.

Namun sayangnya, ruang publik Pasca Reformasi yang bebas ini ternyata tidak dengansendirinya melahirkan budaya politik yang toleran dan terbuka di antara kelompok-kelompokyang berbeda. Penegakan hukum yang lemah justru telah menyeret beberapa kelompokkepentingan Islam garis keras menjadi polisi “jadi-jadian” di jalanan. Akibatnya, terjadilahpengusiran atas kelompok-kelompok Islam yang dianggap “tidak resmi”. Kebebasanberekspresi di alam demokrasi justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tersebut untukmenafikan hak berkebebasan kelompok lainnya.

Di sini, tampak sekali, demokrasi telahdijadikan sebagai “kuda troya” untuk memaksakan kehendak suatu kelompok terhadapkelompok lainnya.Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam berhaluan liberal pun tak kalah gencarmemanfaatkan kebebasan ruang publik yang ada. Dengan ditopang kekuatan modal sosial yangdimilikinya, kelompok-kelompok ini pun merengsek masuk ke wilayah-wilayah penafsiran yangsensitif bagi kelompok-kelompok lainnya. Akhirnya, kelompok ini hadir laksana “hantu”gentayangan yang mengusik kenyamanan beragama kelompok lainnya.

Akibatnya tidak ada lagi bahasa kesopanan dan hormat menghormati, serta toleransiantara kedua belah pihak. Keterbukaan ruang publik justru melahirkan kebalikan cita-cita idealdemokrasi. Fragmentasi dan penyebaran otoritas yang diciptakan oleh keterbukaan ruangpublik justru makin memperkuat anarkhisme di tengah-tengah transisi demokrasi di negeri ini.Kebebasan ruang publik yang tidak diikuti oleh peningkatan kinerja rule of lawnegara justruberakibat makin maraknya gerakan-gerakan anti demokrasi di tanah air akhir-akhir ini.
Ruang Publik yang Egaliter dan Spirit MultikulturalismeBerbekal dari fenomena di atas, sudah sepatutnya kita mulai memikirkan bentukketerlibatan kita sendiri di ruang publik bangsa ini. Jika kita sepakat bahwa ketertutupan ruangpublik sebagaimana yang dipentaskan oleh Orde Baru telah menyebabkan sebagian darisaudara-saudara kita mengalami proses marjinalisasi secara politik dan ideologi, makaseharusnya kita juga harus menyadari sepenuhnya bahwa radikalisme dan militansi yang terjadipada sebagian saudara-saudara kita yang mengusung bendera “Penegakan Syari’at Islam adalahakibat yang nyata dari proses marjinalisasi yang selama ini mereka rasakan.

Ruang publikterbuka dan bebas akhirnya bukan dijadikan saran berdemokrasi, tapi justru show of forcekelompok terhadap kelompok lainnya.Oleh karena itu, sudah saatnya momen keterbukaan ruang publik yang saat ini sama-sama kita nikmati justru bisa membawa kita pada pemahaman bahwa toleransi danegalitarianisme merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan ruang publik yang terbuka ini.

Dengan demikian, sudah saatnya kita memikirkan bagaimana menumbuhkan budaya tolerandan egaliter di tengah-tengah ruang publik yang bebas.Bentuk toleransi dan egalitarianisme itu dapat diwujudkan melalui sikap-sikap tidakmerasa benar sendiri atas kelompok yang lain. Janganlah dalih kebenaran membuat kitamenjadi bersikap pongah untuk memaksa nilai-nilai yang kita yakini untuk diikuti oleh oranglain.

Kepongahan itu tampaknya saat ini bukan hanya milik sepenuhnya kelompok-kelompokyang dituduh “radikal dan fundamentalisme”, tapi juga merambah pada kelompok-kelompokyang katanya pro-demokrasi Barat. Akibatnya, kelompok yang terakhir ini juga bisa kita tuduh“fundamentalis” karena merasa selalu paling benar dan tanpa sopan santun menafsirkan secarabebas nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok lain. Sehingga kedua kelompok yang sedangberhadap-hadapan ini terjebak dalam ekstremisme sikap yang berlebihan.Untuk itu, dalam mempertahankan ruang publik yang bebas dan terbuka memang diperlukan etika sosial bersama dengan juga ditopang oleh ruleof lawnegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Mudah-mudahan kita tetap berada di alam demokrasi.