MAHKOTA
BLAMBANGAN
Episode
Pertama
SABDA
BRAHMANA
@ Mas Sirno,
2007
|
Seorang pemuda dengan wajah kusut tampak terburu-buru
langkahnya berjalan menyusuri pematang sawah yang baru saja ditenggala. Kakinya
belepotan lumpur, rambutnya panjang terjurai dibiarkan awut-awutan.
Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang seakan ingin memastikan dirinya aman
dari kejaran para prajurit Mataram. Anak muda itu sebenarnya badannya cukup
tegap, langkah kakinya juga gesit, tetapi saat itu terlihat agak gontai,
mungkin kelelahan dari sebuah perjalanan
jauh. Mungkin juga perutnya belum terisi makanan. Keringatnya membasahi sekujur
tubuh dan dahinya mengucur deras, sepertinya tidak dihiraukan lagi. Langkah kaki itu tampak dipercepat, ketika melihat ada seseorang tua yang berjalan di ujung pematang
sawah. Pemuda itu agak setengah
berteriak:
_ Tunggu,
Ki!– (teriak pemuda itu sambil setengah berlari mendekati seorang petani tua
yang dipanggilnya). Mendengar panggilan itu, seketika orang tua itu
menghentikan langkahnya seraya menoleh ke belakang. Cangkul di pundaknya segera
diturunkan perlahan. Sambil berdiri
tertegun, pandangannya tertuju pada anak
muda yang kini langkah kakinya kian
mendekat. Dengus napas anak muda itu terdengar terengah-engah ketika berhenti
di dekat orang tua yang disapanya,
dadanya tampak bergerak turun-naik,
kemudian bertanya dengan suara agak gugup:
_ Maaf,
Ki! Apa aki tahu, arah menuju ke desa Panawijen ? _
(tanya anak muda itu dengan nada suara terputus-putus). Petani tua itu
masih saja berdiri mematung sambil tidak henti-hentinya mengamati anak muda itu mulai dari rambut
sampai ujung kakinya. Melihat keraguan di wajah orang tua itu, anak muda itu
lebih mendekat. Orang tua itu merasakan
desahan napas anak muda itu menerpa wajahnya. Setelah beberapa lama menatap,
pikirannya berkata:
“Anak muda ini kelihatannya bukan berasal dari sekitar desa ini, dari
pertanyaannya sudah dapat ditebak bahwa
ia belum mengenal daerah di
sekitar sini dengan baik, siapa sebenarnya anak muda ini ?”
Petani tua itu kemudian bertanya:
_Kisanak ini siapa? – (tanya orang tua yang
berdiri termangu itu setengah tertahan).
_ Saya ini dari perjalanan jauh, ingin pergi
ke pedepokan Panawijen.
Ternyata aku tersesat di desa yang belum kukenal ini, Ki._ (jawab pemuda
itu berbohong tetapi nada suaranya berusaha ditenang-tenangkan setelah
beberapa saat mengatur napasnya).
_Panawijen
masih jauh dari desa ini. Kira-kira masih hampir satu hari perjalanan berkuda.
_ (sahut orang tua itu dengan suara pelan).
_Kalau begitu terima kasih, Ki._ (kata pemuda
itu singkat diiringi anggukan kepala seraya bergegas melangkahkan kaki
meninggalkan tempat itu). Melihat anak
muda itu beranjak pergi, orang tua itu hatinya mulai terusik, dipandanginya
langkah demi langkahnya yang kelihatan gontai itu dengan perasaan iba. Dalam hati kecilnya terbersit keinginan
untuk menahannya. Beberapa saat hatinya berkecamuk antara keinginan menahannya
dan membiarkannya pergi, sementara hatinya masih saja berkecamuk:
“Hari
sudah senja begini anak muda ini akan
melanjutkan perjalanan cukup jauh seorang diri hanya berjalan kaki tanpa
berkuda, kelihatannya ia tidak membawa bekal selayaknya seorang pengembara.
Perkiraanku ia pasti akan bermalam di hutan. Kalau kulihat dari sorot matanya
tersirat secercah kejujuran tetapi dari guratan-guratan di wajahnya menunjukkan
kehidupannya banyak diwarnai kekerasan”.
Pandangannya
masih saja menatap anak muda yang berjalan kian menjauh, tanpa sadar ada semacam getaran halus merayap
seluruh tubuhnya. Seketika ingatannya menerawang: “selama ini aku belum pernah memiliki anak, kalau aku mempunyai anak
mungkin sudah seumur dengannya, mengapa aku membiarkannya pergi? Kelihatannya
ia butuh pertolongan walau tidak mengutarakan.
Bukankah aku dapat mengajaknya menginap di gubukku? Setidaknya aku dan
isteriku dapat merasakan sedikit kegembiraan di tengah kehampaan tidak memiliki
anak selama ini. Apalagi kalau anak muda itu mau kuanggap sebagai anak angkat,
betapa senangnya. Ya .......... aku
lebih baik mencobanya. Siapa tahu anak muda itu mau menuruti ajakanku”.
Seketika
orang tua itu terhentak ketika sosok
anak muda itu tidak tampak lagi di balik rerimbunan semak. Orang tua itu celingukan mencari sementara
hasrat hatinya semakin memuncak tidak tertahankan. Akhirnya orang tua itu memanggil-manggil
setengah berteriak berkata:
_ Berhentilah, Nak !
Mendengar
teriakan, anak muda itu menghentikan langkahnya, sebentar berdiri termangu.
Perlahan kembali berjalan berbalik arah, ketika muncul dari balik semak-semak ia berkata:
_ Ada apa,
Ki._ (kata anak muda sambil menatap orang tua yang berbadan kurus itu dari
jarak beberapa puluh langkah)
_ Apa kisanak bermaksud melanjutkan
perjalanan ? _ (tanya aki tua sambil
berjalan mendekati anak muda itu).
_ Iya...ki, ada apa ?_ (kata anak muda itu singkat sambil sedikit
mengangguk).
_ Tidak baik melanjutkan perjalanan
di waktu candikala seperti saat ini. Kalau kisanak tidak keberatan, singgahlah bermalam
di pondokku barang semalam. Aku melihat kisanak sangat lelah, tentu butuh
istirahat untuk menghilangkan kepenatan,
besok pagi kisanak dapat kembali
meneruskan perjalanan ._ (kata petani
tua itu dengan nada mengajak).
Anak
muda itu masih terlihat berdiri
mematung, sepertinya sedang berpikir, dalam hatinya berkata:
“Kalau aku
bermalam di desa ini, apa keberadaanku tidak akan tercium prajurit Daha yang mengejarku.
Ada kemungkinan sebelum kedatanganku, prajurit-prajurit itu telah mengobrak-abrik desa ini hanya untuk
mencari buronan sepertiku. Tetapi kalau aku meneruskan perjalanan juga belum
tentu aman karena kemungkinan seluruh tapal batas desa sudah dijaga ketat oleh
prajurit dan jagabaya desa. Bermalam di
hutan kukira lebih aman daripada menginap di dusun, tetapi kuakui keadaanku
saat ini benar-benar lelah dan lapar. Aku butuh makanan dan istirahat setelah
beberapa hari terakhir ini dikejar-kejar prajurit Daha”.
Beberapa
saat anak muda itu baru tersadar dari lamunannya ketika orang tua itu mendesak
bertanya:
_ Bagaimana, Nak ?_
_ Maaf ki,
sebenarnya aku lebih suka bermalam di hutan._ (kata anak muda dengan nada suara
lemah).
_
Ah...........itu tidak baik, nak!_ (sahut orang tua itu dengan nada
menasehati).
_ Tetapi
apakah tidak merepotkan?_ (jawab anak
muda itu berbasa-basi sambil pandangan matanya seakan menjajagi hati orang tua
yang tampak polos itu).
_ Oh tidak,
hidup di desa ini orang sudah terbiasa saling tolong menolong sesama, tanpa
melihat apakah yang ditolong itu sudah dikenal sebelumnya atau tidak dikenal
seperti kisanak ini. Mari nak ikut aki pulang, hari sudah semakin gelap !_
Anak muda itu hanya bisa mengangguk seakan tidak kuasa
menolak ajakannya, kata-kata yang meluncur dari bibir orang tua itu dirasakan
seperti mengandung kekuatan gaib yang menyihir dirinya, tanpa dirasa langkah kaki anak muda itu diayunkan
mengikuti langkah orang tua yang sedang menyusuri jengkal demi jengkal jalan
setapak di pinggir sawah itu.
Kadang-kadang pandangannya masih
menoleh ke arah belakang sepertinya ingin memastikan dirinya aman dari
kejaran prajurit Kediri.
_ Apa rumah Aki masih jauh dari sini ?_
(tanya anak muda itu ketika kakinya
terasa semakin berat melangkah).
_ Ah
..tidak, sebentar lagi akan
sampai._ (jawab petani tua sambil melirik).
Setelah beberapa saat berjalan, tangannya meraih caping anyaman bambu yang
bertengger di kepalanya yang sudah dipenuhi uban itu, kemudian berkata:
_ Itu
pondokku sudah kelihatan, Nak !_ ( kata orang tua itu sambil tangannya menunjuk
ke arah sebuah pondok bambu beratap ilalang yang terletak di pinggiran hutan)._
Pandangan anak muda itu tertuju ke arah pondok itu. Keadaannya sangat sederhana, dibanding layaknya rumah di
kutaraja Dahanapura tetapi tampak bersih,
tertata rapi dan asri. Beberapa pohon, kamalasana
dan mahoni tumbuh di halaman depan dan samping, sebagian dahannya menaungi atap
serambi. Sementara di sekitar regol
depan tampak bunga-bunga soka merah dan kuning tumbuh berjajar rapi, aromanya wangi semerbak mengambar halus
seperti sedang menyambut kedatangan anak muda itu. Sejenak ia menatap
bunga-bunga itu, tanpa terasa ada getaran halus menggugah pesona keindahan
dalam lubuk hatinya yang terasa gersang selama ini. Aki tua itu tampak bergegas menuju kandang
yang terletak di belakang pondok, cangkul dipundaknya diturunkan, perlahan
diletakkan di salah satu sudut kandang,
langkahnya segera ke pakiwan.
Dinyalakannya obor di depan bilik penyekatnya. Nyala apinya bergerak-gerak
tertiup angin tetapi cukup menerangi sekitarnya yang sudah mulai tampak
gelap. Sesaat kemudian terdengar suara
gemericik air mengalir dari batang bambu,
bilik penyekatnya terbuat dari kepang
hampir sebahu tingginya. Beberapa saat
anak muda itu tampak berdiri termangu mematung di halaman pondok
sambil pandangan matanya mengamati
keadaan sekelilingnya. Dalam
hatinya berkata diiringi desahan napas:
“Desa ini tampak sepi sekali, jarak
pondok ini dengan lainnya cukup jauh,
kukira cukup aman untuk disinggahi, karena saat ini aku tidak mungkin lagi meneruskan perjalanan,
apalagi kembali ke desa Pangkur, Karuman atau ke Padhang Karautan. Pasti prajurit Daha keparat itu telah memasang perangkap untuk
menjebakku. Aku sebenarnya cemas tentang
keadaan orang tua angkatku Bango Samparan dan orangtuaku Kedhawung akan mengalami
perlakuan kasar dari prajurit bangsat itu, kasihan mereka”.
Ketika itu keremangan senja berangsur sirna
semetara kegelapan mulai merayap perlahan. Kelelawarpun mulai tampak keluar
dari persembunyiannya. Gerakan sayapnya lincah berjumpalitan di udara seakan
sedang memamerkan kemahirannya menangkap mangsa. Diamatinya gerakan terbang
binatang itu, seketika anak muda itu terkesiap sepertinya terkejut. Dalam
hatinya berkata:
_ Hem .......tidak kusangka kelelawar yang
biasa kujumpai setiap senja itu kali ini seakan memberi isyarat padaku,
sepertinya binatang itu dapat mengerti keadaanku sebagai seorang buron.
Binatang itu seperti mengatakan sesuatu padaku:
“mengembaralah bebas sepertiku, niscaya
kau tidak akan tertangkap, karena raung gerakmu leluasa. Janganlah kau berdiam
di satu tempat terlalu lama, ruang gerakmu akan menjadi sempit sebatas besar
tubuhmu”.
_ Hem....benar juga, aku harus senantiasa
bergerak bebas seperti yang dilakukannya, tentu tidak seorangpun dapat
menjebakku karena sulit menduga ke mana arah pelarianku. Orang buronan
sepertiku ini hanya bisa diperdaya ketika berdiam di tempat persembunyiannya,
cepat atau lambat keberadaanku pasti akan terendus oleh teliksandi musuh._ (guman Senepo dalam hati).
_ Silahkan
bersihkan badan dulu, Nak ! (kata aki tua sambil berjalan keluar
dari bilik pakiwan).
Anak muda itu setengah kaget seketika tersadar dari lamunannya, setelah mengatur
napas beberapa saat, kakinya bergegas
melangkah menuju ke pakiwan. Sementara bulan sabit terlihat menggurat
langit biru di ujung mega-mega merah yang tipis maya-maya. Tidak lama
anak muda itu berjalan keluar dari pakiwan, sementara dilihatnya orang tua itu terlihat sedang
duduk berjongkok di kandang, kedua tangannya menggoreskan batu pematik untuk menyalakan bediang
perapian dari tumpukan jerami padi bercampur kotoran lembu dan kuda yang
telah kering. Tidak berselang lama asap putih tebal kekuning-kuningan itu
terburai dari onggokannya, kepulannya bergulung-gulung menebarkan bau khas
seperti yang sering dijumpai di desa orang tuanya di kala senja tiba. Aki tua
itu kini duduk di atas dipan bambu,
sementara anak muda itu berjalan mendekatinya, perlahan duduk di
sampingnya. Temaram sorot sinar lampu minyak yang nyala apinya bergerak-gerak
tertiup angin itu menerpa wajah anak muda yang kini tampak lebih segar,
pandangan matanya menatap sekilas wajah anak muda yang duduk di sisinya sambil
dalam hatinya bertanya:
“Anak muda
ini sebenarnya gagah dan cukup tampan,
perawakannya tidak begitu tinggi, berbadan kekar, kulitnya kuning, roman
mukanya terang bersinar seakan memancarkan prebawa gaib, sorot matanya tajam
berkilat setajam mata elang mengincar mangsa.
Aku yang tua ini dapat merasakan
ada getaran halus terpancar dari tubuhnya, anak ini berbeda dengan anak muda
sebayanya di desa ini. Siapa sebenarnya ?
Mengapa sampai tersesat jalan sampai di desa ini”.
Orang tua itu masih saja diam membiarkan
lamunannya berkejar-kejaran memenuhi benaknya. Sesaat kemudian ia tersadar dan bertanya:
_
Siapa namamu, Nak ? _ (tanya aki petani tua itu dengan lembut)
Anak muda
itu seketika terkejut mendengar pertanyaan itu, sejenak terdiam memikirkan
jawaban yang tepat. Pikirannya berkecamuk di antara keinginannya berterus
terang atau merahasiakan jati dirinya sebenarnya. Pemuda itu
berkata dalam hati:
“Aku harus hati-hati dengan setiap orang
termasuk dengan aki tua ini, karena aku
belum mengenalnya dengan baik. Jangan-jangan akan mendapatkan kesulitan jika
aku membeberkan jati diriku. Bagaimanapun baiknya aki tua ini padaku tetapi ia
tetap orang yang belum kukenal, jadi lebih baik aku terpaksa berbohong dan
waspada”.
Setelah
beberapa saat diam termangu , anak muda itu berkata:
_ Namaku Wahila,
Ki. Aku berasal dari brang wetan._
(jawabnya singkat sambil pandangan matanya mencoba memandang ke arah aki tua yang duduk di sampingnya agar tampak
wajar).
Hati anak
muda itu terasa gelisah, jantungnya
terasa sedikit berdebar karena ia terpaksa berbohong dengan orang yang
menolongnya. Dalam hatinya berkata:
“Dapat
saja aku menutupi kebohonganku secara lahir tetapi batinku tetap tidak dapat
berdusta. Sebelumnya aku sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan
seperti ini, tetapi aku berusaha sedapat mungkin tidak menampakkan
kegelisahan. Hatiku yang sedang resah ini harus dapat
kukendalikan agar aki tua ini tidak curiga. Kalau aku berterus-terang tentang
jati diriku yang sebenarnya, kemungkinan penyamaranku akan terbongkar. Itu
artinya akan menyempitkan ruang gerakku sendiri. Lebih baik aku tetap merahasiakan daripada
nanti tersandung masalah berkepanjangan”
Kemudian anak muda itu berkata:
_Orang tuaku menyuruhku belajar di padepokan Panawijen._
(katanya sambil menggerakkan tangan untuk menyakinkan). Mendengar
jawaban itu, Aki tua itu terlihat mengangguk-anggukan kepala, hatinya terasa sedikit lega,
teka-teki di benaknya berangsur
sirna. Bibirnya tersenyum kemudian
berkata:
_ Orang-orang di desa ini memanggilku
Karta, aku tinggal berdua dengan isteriku. Apa kisanak, ....ee......siapa tadi
namamu, Nak ? –
_ Wahila
–
_
Oh ......ya ! Nak Wahila, maafkan aki ini sudah sering lupa, maklum
usia aki sudah tua._ (jawab orang itu sambil tersenyum agak malu).
_ Ah tidak apa, Ki. Sebenarnya aku sudah lama ingin pergi
ke Panawijen, tapi baru kali ini ada
kesempatan. Hanya saja tadi tersesat jalan, daerah di sekitar desa ini belum
kukenal sebelumnya. (jawab anak muda itu berbohong).
Aki tua itu
mengangguk kecil mendengar penuturan anak muda itu, dalam hatinya masih saja berkecamuk teka-teki
tentang jati diri anak muda yang sama sekali belum dikenal sebelumnya.
“Anak ini berjalan kaki cukup jauh dari
brang wetan ke Panawijen. Tentu memakan waktu
dua atau tiga hari perjalanan. Dari
balik sorot matanya tampak memendam sebuah rahasia, kalau kedatangannya dengan
cara wajar mungkin aku tidak menaruh curiga, tetapi sepertinya ia lari
ketakutan ketika melintasi persawahan, aku sebenarnya khawatir jangan-jangan
anak muda ini buronan yang selama ini dicari prajurit Daha. Tetapi mungkin juga bukan, orang anak muda ini mengaku ingin puruhita ke padepokan Panawijen “.
_ Ada apa,
Ki ? (Wahila bertanya balik sepertinya
dapat menebak isi hati orang tua itu
yang kelihatan seperti mulai menaruh curiga pada dirinya)
_Oh.....tidak,
Nak ! Hanya beberapa hari ini prajurit Daha sering meronda ke desa ini. Aki tidak tahu apa
yang mereka cari di sini._ (kata orang tua itu
dengan nada suara pelan tetapi
sorot matanya dirasakan penuh selidik).
Wahila
terkejut seperti tersengat kalajengking,
wajahnya terasa panas meranggas, darahnya terasa terkesiap, otot-otot di
wajahnya terlihat menegang, pandangan matanya agak nanar, mulutnya sedikit ternganga. Dalam kesadarannya yang tersisa, Wahila berusaha mengendalikan diri untuk tenang
agar tidak tampak perubahan pada
dirinya. Tetapi aki tua secara diam-diam dapat menangkap gelagat kegelisan
pada anak muda itu. Sementara Wahila-pun
dapat menangkap gelagat kecurigaan ki Karta. Dalam hati Senepo berkata:
“Lebih baik
aku mempengaruhi cara pandang orang tua ini terhadap prajurit-prajurit Daha itu, daripada terus menerus mencecarku dengan
pertanyaannya yang penuh selidik. Kebanyakan orang desa seperti aki tua ini
cara berpikirnya masih sederhana, ia
menganggap segala sesuatu yang datang dari kerajaan selalu dianggap
benar sekalipun punggawa dan prajurit kerajaan itu bermental bejat, sedangkan orang yang jadi buronan selalu
dituduh di pihak yang salah dan dipojokkan”.
_ Ada apa
Nak, kelihatannya kau seperti ketakutan ?_ (tanya aki tua itu tanpa basa-basi).
Wahila
merasa pertanyaan orang tua itu dirasakan seperti menohok dirinya, seketika
darah mudanya serasa mendidih bergejolak hebat, jantungnya berdetak keras,
matanya yang sebelumnya teduh kini berubah menjadi liar berkilat. Kata-kata
orang tua itu dirasa sudah merupakan tuduhan tidak langsung terhadap dirinya.
Kata-kata itu dirasakannya seperti menepuk ubun-ubun kepalanya. Hatinya membara
seperti api, napasnya membekos bak deburan ombak tetapi Wahila berusaha untuk
dapat mengendalikan dirinya. Dengan akal sehatnya yang tersisa ia meredam
amarah yang sedang memuncak ibarat gunung berapi yang akan memuntahkan lahar dari dapur magma. Sesaat kemudian Wahila menarik napas panjang
meredakan kobaran api amarahnya,
kemudian berkata dengan suara agak berat setengah bergetar:
_ Tidak
! Buat apa takut dengan
prajurit-prajurit Daha! Ketahuilah! Mereka tidak
ubahnya seperti penjahat kejam, menggunakan kekuasaan sebagai kedok._
_ Berbuat kejam bagaimana, to Nak? Aki ini
orang desa yang tidak mengerti apa-apa._
(sela Aki tua dengan kata-kata polos tampak agak kebingungan)
_ Mustahil
kalau Aki tidak tahu! Hampir semua
kawula Blambangan mengetahui
kesewenang-wenangan mereka. Memeras
kawula alit, memberandat kembang desa, menganiaya kawula yang berani
membangkangnya. Lihatlah betapa kejamnya mereka dalam memungut pajak!_ (jawab Wahila
setengah melampiaskan kejengkelannya ketika menceriterakan tabiat buruk
prajurit Daha).
Petani tua itu diam termenung
memikirkan kata-kata yang meluncur dengan lancarnya dari mulut anak muda yang
duduk di sebelahnya itu. Kata-kata itu terasa agak mengagetkan mengingat selama
ini belum pernah sekalipun diucapkan oleh seorang pemuda di desanya seperti
anak muda ini, beberapa saat kemudian orang tua itu berkata:
_Bukannya mereka berusaha menjamin
keamanan kawula alit dengan cara menangkap orang yang dianggap buronan
kerajaan._
_ Apakah buronan itu menganggu
ketenteraman hidup kawula alit?_ ( Wahila ganti bertanya sambil menoleh ke
wajah orang tua yang di sampingnya itu).
_ Aku tidak tahu pasti, Nak ! Kata
orang-orang desa, buronan yang bernama Mas Senpo
itu selama ini malah membantu kawula alit yang dianiaya oleh bebahu demang
penarik pajak._ (kata orang tua itu
menceritakan berita yang tersiar dari mulut ke mulut di desanya).
_ Coba
pikirkan hidup Aki sendiri sebagai petani! Berapa pajak yang harus aki bayar
setiap tahunnya kepada pihak kerajaan? Bukankah aki selalu diwajibkan bayar
pajak Saarik purih, Satampaking waluku, wadang
pacul walau hasil panen tidak
mencukupi? Apakah para demang pemungut
pajak mengerti kesulitan aki kalau tanaman tidak panen akibat terserang hama
atau terkena bencana alam seperti yang terjadi saat ini? Mereka tetap tidak mau
tahu dan memaksa orang seperti aki ini tanpa ampun! Mereka akan menganiaya kawula yang tidak
mampu membayar pajak bak sapi perahan!_
_ Tetapi bukannya membayar pajak sudah
merupakan kewajiban dan bentuk kesetiaan
terhadap raja?_ (kata ki Karta setengah menyanggah)
_ Iya..........tetapi apakah raja dapat
menjamin kalau tanaman yang aki tanam itu menghasilkan? Kalau ternyata terserang hama atau dilanda
bencana alam seperti sekarang ini bagaimana?
Lalu aki mau bayar pajak dengan apa?_
(kata Wahila dengan tangkas sambil menggerakkan tangannya untuk meyakinkan)
_ Iya........iya Nak, Aki sekarang
mulai mengerti. Seharusnya bebahu kerajaan seperti para demang sedikit memberi
kelonggaran kepada kawula alit seperti aku ini untuk menunda membayar pajak
pada musim panen berikutnya._
_ Para
demang itu selama ini tidak berani melaporkan keadaan dan beban hidup rakyat
yang sebenarnya. Mereka hanyalah orang-orang yang mencari muka di hadapan
baginda. Rakyat kekurangan dilaporkan kecukupan, rakyat resah dilaporkan aman
dan tenteram, rakyat tidak mampu bayar pajak dilaporkan sebaliknya. Itu semua
karena pamrih agar mereka memperoleh pujian dari baginda._ (kata Wahila)
_ Mengapa baginda percaya dengan
laporan para demang seperti itu?_
_Karena tidak pernah melihat sendiri
keadaan rakyat yang sebenarnya._
_ Mengapa buronan seperti Mas
Senepo menjadi musuh nomor satu kerajaan?_ (kata orang tua itu bertanya agak
kebingungan )
_ Aku tidak tahu pasti, Ki. Hanya saja
kudengar dari teman-temanku dan para bakul sinambiwara kalau Mas Senepo dibiarkan terus-menerus
menghasut rakyat melakukan pembangkangan, maka akan berakibat pundi-pundi
kerajaan menjadi kosong tidak terisi.
Itulah yang ditakutkan oleh baginda sehingga Mas Senepo menjadi buron
utama penangkapan. Tuduhan-tuduhan terhadap Mas Senepo seperti penjahat tatayi,
merampok, memperkosa sengaja disebarkan untuk membenarkan tindakannya dalam
memaksakan pajak, untuk menutupi kesewenang-wenangan yang selama ini mereka
lakukan!_
_ Waduh! Aki benar-benar tidak mengerti
kalau perkaranya ada rentetan seperti itu, Nak !_
_ Itulah ki! Kalau belum tahu duduk
perkaranya jangan mudah percaya omongan orang, lalu menuduh orang lain
sepertiku ketakutan seperti buronan. Buat apa kau takut pada mereka, aku merasa
tidak punya kesalahan apa-apa. Merekalah yang menebar masalah di
mana-mana!. Mereka seenaknya saja mengobrak-abrik desa hanya karena ingin
menangkap orang yang berani melawan kekejamannya._ (jawab Wahila dengan nada
agak jengkel ).
Mendengar
kata Wahila, aki tua itu tampak kaget, wajahnya terasa terkesiap merasa timbul
penyesalan karena tidak mengira kalau perkataan yang belum lama dilontarkan tadi ternyata menyinggung
perasaan anak muda itu, kemudian ia berkata:
_Maafkan nak Wahila, aki sama sekali
tidak menuduhmu sebagai buronan._ (kata aki Karta dengan wajah menampakkan
penyesalan).
Wahila diam
tidak menjawab sambil wajahnya tertunduk, wajah agak memerah, dalam hatinya ada
perasaan jengkel pada orang tua itu, setelah beberapa saat terdiam dapat
mengendalikan gejolak perasaannya, ia berkata:
_Sudahlah ki, jangan bicarakan itu
lagi!._ (tepis Wahila).
_ Aduh......... nak, sekali lagi aki
minta maaf atas kekhilafan ini.
Sungguh ! Aki sama sekali tidak
bermaksud menuduhmu, Nak._ (kata ki Karta setengah mengiba).
_Tidak apa, Ki ! Memang kebanyakan kawula di
pedesaan ini berpikirnya masih sederhana, kadang-kadang menyimpulkan sesuatu
hanya dari sudut pandangnya sendiri. Contohnya seperti menilai punggawa
kerajaan. Apapun yang dilakukan oleh mereka selalu dianggapnya benar, sedangkan
yang dilakukan orang lain yang tidak
disenangi oleh pihak kerajaan, dianggap
sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Mungkin tujuan punggawa itu benar, tetapi
apa arti semua itu kalau akhirnya cara-cara yang digunakan tidak wajar! Dalam
perkara seperti ini banyak orang terkecoh karenanya._
Mendengar
penuturan Wahila, ki Karta hanya dapat diam membeku, tanpa disadarinya
mengangguk-anggukan kepala. Dalam hatinya
membenarkan perkataan anak muda yang baru saja dikenalnya itu, bahwa dalam menilai suatu kejadian harus
mengetahui terlebih dahulu sebab yang jelas, tidak tergesa-gesa menyimpulkan.
Bisa keliru jadinya.
_Karena
pandangan seperti itulah menyebabkan punggawa-punggawa semakin menjadi-jadi
dalam bertindak sewenang-wenang,
bertindak seenaknya walau melanggar susila dan menindas hak-hak kawula
alit. Itu semua disebabkan tidak ada orang yang berani melawannya. Selama
orang-orang Blambangan masih berpikir seperti itu, maka mereka akan leluasa
memperlakukan kawula alit tidak lebih derajatnya daripada hewan!. Mereka akan
terus diinjak-injak haknya tanpa rasa kemanusiaan._
_
Iya......iya, nak. tetapi bukannya
prajurit seharusnya melindungi kawula alit seperti orang-orang desa ini ? Kepada jadinya seperti itu, siapa lagi
orang-orang lemah seperti aki ini meminta perlindungan ?
_ Yang aki katakan itu baru
sebuah harapan, bukan kenyataan. Sekarang aku ganti bertanya pada aki, jawablah
yang jujur ! Apa yang telah dilakukan punggawa-punggawa itu untuk orang-orang
desa selama ini ? _
Ki Karta itu diam sejenak kemudian menarik
napasnya dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepala.
_
Seharusnya mereka berbuat adil dan melindungi kawula alit
seperti yang aki harapkan itu. Tetapi
apa yang terjadi? Kenyataannya menjadi
terbalik, mereka berlaku kejam dan
memeras. Apakah orang-orang seperti itu masih dapat dijadikan pengayoman
?_ (timpal Wahila)
Aki tua itu tetap diam mematung, tanpa disadari
kepalanya mengangguk-angguk membenarkan kata-kata anak muda, kemudian dalam hatinya berkata:
“Tadi sudah kuduga, anak muda ini lain dari
anak muda kebanyakan. Pikirannya cerdas dan sikapnya berani. Lidahnya setajam
pedang. Ia sadar bahwa tindakan kekerasan dan sewenang-wenang yang dilakukan
punggawa kerajaan harus dilawan sekalipun menempuh resiko. Anak muda ini dapat
merasakan getaran hidup dan jerit penderitaan kawula alit. Ia dapat merasakan
beratnya beban hidup kawula pedesaan. Ia dapat menangkap denyut nadi, cucuran keringat dan air
mata kawula alit yang jauh dari kecukupan
itu”.
_
Ada apa ki ?_ (tanya
Wahila ketika memperhatikan orang tua itu diam termenung disertai pandangan
matanya tidak berkedip).
_
Oh.....tidak apa-apa nak. Aki hanya sedikit kaget dengan
kata-kata yang kau ucapkan tadi. Aki
belum pernah mendengar sebelumnya dari
siapapun termasuk anak-anak muda di desa
ini. Aki belum pernah melihat anak muda
memiliki pikiran dan keberanian sepertimu. Aki juga terharu mendengar nak
Wahila peduli terhadap nasib orang-orang kecil seperti aki ini._
_
Ah........ aku ini juga tidak lebih dari anak-anak muda di
desa ini. Aku lahir juga sebagai manusia biasa seperti kawula alit
kebanyakan yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Aku hanya punya harapan
seperti kawula alit lainnya tetapi ..... (kata Wahila dengan nada merendah
kemudian tertahan sejenak).
_Tetapi
apa nak?_ (sahut orang tua itu sambil pandangannya menoleh ke arah anak muda
yang duduk di sebelahnya).
_
Iya seperti aki ketahui sendiri! Harapan itu sepertinya sia-sia, ibarat
menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau, terapungmya batu hitam, musnahnya pring
sedapur._ (sahut Wahila dengan bahasa perumpaan).
_
Nak ! Menurut orang-orang di sawah tadi siang, prajurit-prajurit
Daha itu datang di desa ini.
Katanya mereka membuat geger dengan menggeledah dan mengaduk-aduk
seisi desa mencari seorang buronan. Kemudian mereka menyampaikan wara-wara.
Dalam wara-wara itu dikatakan: “Barang siapa dapat menyerahkan buronan yang
bernama Senepo dalam keadaan hidup atau mati akan diberi hadiah seribu keping
uang emas. Sebaliknya siapa saja orang yang kedapatan membantu atau melindungi
buronan itu akan dipidana picis sampai mati di alun-alun kutaraja”._ (kata aki tua itu menirukan wara-wara yang
didengarnya dari teman-temannya sewaktu di sawah tadi siang).
Mendengar
perkataan orang tua itu, Wahila terdiam sesaat, dalam hatinya mengumpat
prajurit – prajurit itu disertai luapan amarah yang bergejolak di dadanya,
kemudian berkata:
_
Biarlah prajurit-prajurit itu berkoar-koar pamer kekuasaan di depan orang-orang
desa yang masih polos, Ki !. Apakah aki
tahu apa kesalahan orang yang dituduh buronan itu ?_
_
Tidak._ (kata ki Karta sambil menggelengkan kepala).
_
Apakah prajurit-prajurit itu juga sudi
menolong orang-orang desa yang dilanda kelaparan ketika gagal panen ? Apakah
mereka akan menolong penduduk ketika terlanda bencana alam ? Ketahuilah ki !
Mereka hanya sibuk dengan urusannya sendiri seperti yang dilakukan saat ini!
Mereka mengelabui dengan dalih mengejar buronan, tetapi sebenarnya di balik
omong besarnya itu mereka hanya menakut-nakuti penduduk desa agar membayar
pajak! (kata Wahila dengan nada bersemangat dan bertubi-tubi)
_ Aki tahu nak! Tetapi
orang kecil seperti aki ini bisanya cuma apa selain hanya bersabar dan mengelus dada._ (kata
orang tua itu pasrah)
_
Iya......... ingatlah, Ki! Mereka hanya merampas tetapi tidak pernah memberi !.
Camkan kata-kataku ini, Ki !_ (kata wahila singkat tetapi mantap sambil menatap tajam ke arah aki tua itu).
Aki
Karta mengangguk-angguk membenarkan perkataan anak muda yang sedikit-banyak
telah menggugah kesadarannya, merasuki pikirannya, mengubah pandangannya.
Kata-kata anak muda itu dirasakan masih saja terngiang-ngiang di telinga,
sepertinya tertanam kuat di dasar
hatinya. Dalam hatinya semakin menjadi tanda-tanya, siapa sebenarnya
anak muda bernama Wahila ini?
Kedua orang itu terdiam
sesaat seperti larut dalam lamunannya sendiri,
Aki tua itu baru tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara seorang perempuan tua memanggil-manggil
dari dalam pondok.
_ Pakne, tamunya mbok diajak makan dulu,
nanti keburu dingin lho!_
_ Nak Wahila ! Itu
istriku sudah memanggil-manggil. Mari nak !_ (ajak aki tua sambil bergegas
bangkit dari tempat duduknya berjalan memasuki ruang tengah).
_ Ee .....iya ki._ (jawab Wahila agak
geragapan segera bangkit mengikuti
langkah aki tua itu).
Ketika
sedang menikmati makanan yang disajikan, Wahila masih saja belum dapat
melenyapkan kegelisahannya, pikirannya seperti sedang mereka-reka, kemudian berkata dalam hati:
“Kalau penduduk desa ini nanti mengetahui
bahwa akulah yang
dicari-cari oleh prajurit Daha,
maka tidak urung akan banyak
jatuh korban orang yang tidak berdosa seperti aki Karta ini akibat amukan
prajurit keparat itu hanya gara-gara keberadaanku di sini. Aku tidak mau hal
itu terjadi ! Lebih baik aku segera pergi dari desa ini saat fajar nanti”.
_
Hayo, nak Wahila makannya tambah lagi ! Maklum lauknya hanya seadanya._(kata
aki tua sambil tangannya mempersilahkan)
.
_ Terima kasih, kehadiranku sudah merepotkan aki dan nyai.
_ (kata Wahila sambil sedikit
tersenyum).
_
Ah...tidak. Jangan berkata begitu nak, kita hidup ini sudah semestinya tolong
menolong. (kata orang tua itu lemah lembut). Kata-kata sederhana dan polos itu,
membuat hati Wahila seperti tersiram banyu wayu sewindu yang dingin
menyejukkan. Dalam hatinya berkata:
“Walau
orang tua ini agak menjengkelkan kalau berbicara, tetapi di balik itu, ia baik
hati dan luhur budinya. Sebenarnya ia
tahu atau setidak-tidaknya menduga bahwa akulah buronan
yang dicari-cari prajurit Daha,
tetapi ia tetap saja rela legawa menolongku memberi tempat
berteduh barang semalam. Padahal
kalau ketahuan prajurit Daha,
ia dan keluarganya akan dihukum picis. Sungguh mulia hati
orang ini. Menolong orang lain lebih
diutamakan daripada menuruti rasa ketakutannya menghadapi ancaman hukuman picis. Kalau tadi ia mengatakan kalau aku
adalah seorang pemberani, maka dalam pandanganku orang tua ini lebih pemberani
daripada aku. Ketulusannya mengalahkan ketakutannya, keberaniannya mengalahkan
kepengecutannya”.
_Baiklah
ki, tetapi besok pagi buta, aku sekalian pamit melanjutkan perjalanan ke
Panawijen._ (jawab Wahila sambil menatap aki tua dan
isterinya yang berdiri sambil meladeni sajian makan malam itu).
_Sekarang beristirahatlah
nak !, Kalau nak Wahila memerlukan kuda,
Bawalah seekor dari dua kuda yang berada di gedokan itu!_ (jawab aki tua
itu)._
_Tetapi bukannya kuda itu sangat penting bagi
aki ! _ (tanya Wahila agak terheran-heran).
_ Nak Wahila lebih membutuhkan kuda saat ini.
Kuda itu akan membantumu untuk cepat sampai ke Panawijen._ (tandas aki tua itu
diiringi tatapan mata tak berkedip).
_Bagaimana aku bisa
membalas kebaikan aki dan nyai, sedangkan aku belum tentu bisa memastikan kapan
mengembalikannya._ (jawab Wahila)
_Janganlah terlalu dipikirkan nak. Nanti
kalau Gusti mengijinkan, tentu kita akan dapat bertemu lagi._ (tandas aki tua
itu sambil menggerakkan kedua tangannya ).
Mendengar kata-kata aki tua itu, Wahila
kembali merasa kagum atas kerelaan hatinya.
Kuda itu adalah harta miliknya
yang berharga, tetapi ia dengan mudahnya menyerahkannya padaku.
Kalau aku tadi kagum pada keberaniannya menolongku, kali
ini aku bertambah kagum dengan ketinggian budinya yang menganggap harta tidak
lebih berharga daripada kepentingan orang lain sekalipun baru dikenalnya
seperti aku ini.
Malam
itu Wahila merebahkan tubuhnya di salah satu bilik di rumah aki tua, badannya
terasa lelah setelah seharian penuh berjalan, tetapi kelelahan itu tidak membuat matanya segera dapat
dipejamkan. Pikirannya masih saja berkecamuk, pandangannya menerawang pada
kejadiaan yang dialaminya akhir-akhir ini seakan muncul satu persatu di pelupuk
matanya.
“Ya,
aku ingat peristiwa pada hari respati di
hutan Karautan itu, aku melawan sepuluh prajurit ronda sekaligus, satu persatu
dapat kutumbangkan, tetapi ketika tinggal dua atau tiga orang yang kuhadapi,
tiba-tiba datanglah secara mendadak seratus orang prajurit bersenjatakan
lengkap berusaha membentuk gelar pagar betis untuk meringkusku. Tita dan Sampir
sobatku kusuruh pergi lebih dahulu, sementara aku masih mencoba bertahan. Waktu itu aku sudah terkepung, tetapi tekadku
hanya satu melawan sampai titik darah penghabisan! Lebih baik mati dengan cara ksatria daripada
menyerah. Tetapi di saat yang kritis itu di luar dugaanku terjadi sebuah
keajaiban. Tiba-tiba tubuhku seperti diselimuti sinar berwarna putih keperakan
yang menyilaukan, disertai suara desiran angin kencang. Tubuhku terasa
dikelilingi oleh pusaran angin seperti gasing. Tanpa terduga tubuhku terbawa
arus pusaran angin itu. Aku masih sempat
melihat dalam sekejap ratusan prajurit Daha itu ternganga mulutnya menyaksikan
kejadian sesaat itu sebelum tubuh mereka terguncang hempasan angin dahsyat
ibarat daun kering berhamburan tinggi ke udara akhirnya jatuh terhempas keras ke tanah . Tiba-tiba di
luar kesadaranku, tahu-tahu aku
terdampar di sebuah desa terpencil di
dekat persawahan tempat aku bertemu dengan aki tua ini. Sebelum bertanya kepada
aki Karta aku sempat bingung di desa apa tempat terdamparku itu. Sebenarnya kekuatan apa yang melindungiku
saat itu ? Siapa yang menolongku ?”.
Malam
merambat perlahan seakan tidak mau beranjak, suasana sunyi pun bertambah
mencekam, hanya sesekali terdengar sayup-sayup suara lolongan panjang anjing
hutan dari kejauhan, membuat bulu kuduk merinding bagi yang siapapun ciut
nyalinya. Tidak terasa lamunan Anggara itu terhenti ketika matanya mulai
terasa berat, mulutnya beberapa kali menguap, rasa kantuknya kali ini
seperti tidak kuasa lagi ditahannya. Setelah beberapa saat, tiba-tiba ia
terbangun sontak dari tidurnya.
_
Haahh ....aku harus segera pergi !_
(gumamnya ketika ia terjaga dari tidurnya, perlahan ia terjaga di samping dipan bambu
seperti sedang merajut kembali ingatannya).
“Sementara
suara kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, itu tanda fajar akan
segera tiba”. (gumamnya sambil
bergegas melangkahkan kakinya ke pakiwan).
“Aki
tua dan nyai Karta rupanya telah bangun, mungkin menyiapkan minuman hangat
untuk mengusir hawa dingin atau menanak nasi untuk bekal ke sawah”.
(dalam hatinya berkata setelah mendengar suara kedua orang tua itu di dapur).
_ Nak! Minumlah dulu, biar badanmu terasa
hangat._ (sapa nyai Karta sambil menuang wedang kopi jahe panas ke dalam cangkir tembikar yang sudah berwarna kusam
ketika Anggara kembali dari pakiwan).
_Terima
kasih, Nyai._ (kata Anggara sambil duduk di lincak bambu beralaskan
tikar pandan setelah usai membasuh wajahnya di pakiwan ).
Dilihatnya nyai Karta yang sedang sibuk di dapur dengan
perasaan haru, tidak mengira kehadirannya membuat repot di rumah itu.
_
Ki! Bagaimana aku membalas kebaikan aki
dan nyai?_ (kata Anggara sambil
menyeruput minuman panas).
_Sudahlah nak, hal itu janganlah terlalu
dipikirkan. Berangkatlah ke Panawijen dengan niyat mantap dan tekad yang
bulat. Gusti Yang Maha Wikan akan selalu
melindungimu! _ (kata ki Karta dengan arif).
_
Iya ki._ (jawab Anggara sambil mengangguk seraya berdiri berpamitan). Anak muda
itu bergegas menuju kandang kuda. Terlihat tangannya dengan cekatan melepas
tali ikat kuda, kemudian dituntunnya ke arah regol depan rumah. Tangannya
dengan cekatan memasangkan pelana yang sudah berwarna kusam di punggung hewan
itu, kemudian mengelus-elus kepalanya
sepertinya ingin mengenali binatang itu.
Tangannya tampak menepuk-nepuk dahinya, hewan itu seperti mengerti diperlakukan
seperti itu, kemudian membalasnya dengan anggukan kepala dan kibasan ekornya
seperti mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda itu. Segera Anggara meloncat ke
punggungnya. Sementara ki Karta mendekati kuda itu sambil tidak lupa mengelus
jidat binatang itu disertai tepukan pelan sambil berkata:
_ Bibit! Ikutlah dengan nak Anggara._
Kuda
itu meringkik keras diiringi gerakan kaki agak liar seperti menyatakan
keberatan isi hatinya untuk berpisah dengan orang tua yang merawatnya semenjak
masih belo. Tetapi tepukan tangan orang tua itu membuatnya menurut,
perlahan kuda itu melangkah meninggalkan regol, tiba-tiba terdengar teriakan
memanggil.
_
Tunggu nak ! _ (Anggara menoleh ke
belakang ketika nyai tua itu berjalan agak terburu-buru keluar dari pintu butulan,
di tangan kirinya terlihat membawa bungkusan yang diikat kain tenunan berwarna
putih agak kumal).
_
Apa ini nyai ? _ (kata Anggara setelah
meloncat turun dari punggung kuda kemudian berjalan mendekati orang tua itu ).
_Sekedar
bekal untuk di perjalanan, Nak! Nyai hanya dapat membawakan ini._ (kata
perempuan tua itu sambil kedua tangannya
mengulurkan bungkusan disertai pandangan mata berkaca-kaca). Anggara merasa
tersentuh hatinya atas ketulusan perempuan tua itu, kemudian berkata sambil
sedikit tersenyum:
_
Terima kasih, Nyai._ (jawab Anggara sambil tangannya meraih bungkusan kain itu, dikaitkan pada
bahunya, sesaat meloncat kembali ke punggung kuda dengan gesitnya , tali kekang kuda itu ditariknya perlahan sambil
memberi aba-aba). Satu-persatu langkah
kaki binatang itu mulai meninggalkan regol luar rumah gubuk di
pinggiran desa Wungkal. Pandangan
Anggara masih sempat melihat sekilas kedua orang tua itu berdiri mematung
memandangnya, tampak nyai Karta mengusap air bening di sudut matanya yang
berkerut itu dengan ujung kainnya. Kuda itu kini tidak tampak lagi setelah melintas jalan kelokan yang menyidat
ke arah timur menyusuri pinggiran hutan
menelasak rerimbunan semak-semak, menyibak dinginnya embun pagi yang
menerpa wajah penunggang kuda itu.
_
Nyai, perasaanku mengatakan bahwa nak
Anggara itu bukan anak muda biasa. Dari sorot matanya kukira ia anak yang
pandai dan memiliki cita-cita tinggi. Dari wajahnya juga terlihat seperti
diselimuti sinar yang memancarkan prebawa gaib._ (kata aki tua itu meyakinkan kepada
isterinya).
_Iya,
aku juga merasakan, pakne. Sayang kita
tidak punya anak seperti dia. Berpuluh-puluh tahun kita mengharapkan tetapi
Hyang Agung tidak kunjung mengabulkan. Siapa tahu nak Anggara nanti singgah
lagi ke sini, aku akan mengutarakan maksud kita untuk menjadikan dia sebagai anak angkat. Siapa tahu kalau nak Anggara tidak
keberatan!_ (kata perempuan tua itu dengan wajah berharap ).
_
Tentu, nyai. Aku juga punya niat seperti itu, tetapi berhubung ia terburu-buru
pergi, mungkin lain waktu kita akan mengutarakan dalam waktu yang tepat._ (jawab aki tua itu dengan sabar dan arif).
_
Aku juga senang memiliki anak seperti nak Anggara, kelihatannya dia pemuda yang
baik walaupun wajahnya sedikit menyeramkan._
_
Aku juga berharap lain waktu nak Anggara sudi singgah di pondak kita lagi,
nyai._
Pandangan
orang tua itu masih saja menatap lorong jalan yang baru saja dilintasi Anggara
dengan tatapan kosong. Sementara cakrawala di ufuk timur yang semakin terang rantak-rantak,
sinar mentari pun perlahan menyibak awan putih tipis menerpa wajah anak
muda yang berada di punggung kuda itu.
v
Di bawah terik sinar mentari,
tumenggung Mahisa Walungan, panglima Gubar Baleman dan
puluhan orang prajurit Daha sedang
menyusuri tlatah desa Limbahan. Desa itu letaknya tidak jauh dari desa
Kapundungan. Pasukan itu dalam beberapa
hari terakhir telah mengobrak-abrik desa di sekitarnya, mulai dari
Turyantapada, Tugaran, Gunung Pustaka, Kapundungan tetapi tetap saja tidak menemukan jejak buronan yang
mereka cari. Sambil menggerutu
kumenggung Mahisa Walungan berkata dengan nada kesal:
_
Bedebah, setan Karautan itu raib seperti ditelan bumi. Kita sudah mengaduk-aduk
seluruh isi desa ini tetapi belum juga terlihat jejaknya._ (kata tumenggung
Mahisa Walungan dengan nada kesal).
_
Aku juga heran, coba ingat peristiwa di Padhang Karautan beberapa hari
lalu, ketika kita hampir saja dapat
meringkusnya. Tiba-tiba terlihat sinar
keperak-perakan keluar dari tubuhnya dan ketika
itu kita dikejutkan datangnya angin badai sangat dahsyat. Kita semua terhempas karenanya. Aku heran elmu apa yang
digunakan? Sejak peristiwa itu
sepertinya ia raib dari pengejaran kita! _ (sahut panglima Gubar Baleman geram
bercampur heran).
_
Iya, aku ingat. Sepertinya ia memang anak setan penunggu hutan Karautan.
Prajurit telik sandi yang kita sebar juga tidak berhasil mengendus jejaknya.
Beberapa kali prajurit ronda gagal menangkapnya bahkan sebagian dari mereka
terbunuh dalam pertarungan. Itulah yang membuatku penasaran untuk terjun
langsung meringkus penjahat itu_ (tandas tumenggung Mahisa Walungan dengan nada
kesal).
_
Apa rencana kita sekarang ? _ (tanya panglima Gubar Baleman sambil pandangannya
menatap wajah Mahisa Walungan yang masih terlihat kesal)
_
Lebih baik kita ke pakuwon Tumapel di tlatah timur _
(jawab
tumenggung berusia setengah baya itu agak tergesa-gesa).
_Maksudmu?_(tanya
panglima Gubar Baleman memperjelas).
_Kita
akan laporkan bahwa buron yang kejar selama ini memasuki tlatah Tumapel kepada
Akuwu._ (kata tumenggung Mahisa Walungan)
_Sebentar
! Apakah kita sudah dapat
memastikan? Iya kalau benar,
bagaimana kalau ternyata sebaliknya?
Kita akan mendapatkan malu dari akuwu Tunggul Ametung yang masih kerabat
dekat baginda junjungan kita di Daha._
(kilah panglima Gubar Baleman dibarengi gerakan tangannya).
_Iya,
kurasa pendapatmu itu masuk di akal,
kita memang belum dapat memastikan ke mana arah pelarian setan itu.
Kalau kita tergesa-gesa melaporkannya kepada akuwu di Tumapel nanti akan
menimbulkan silang pendapat. Menangkap
si keparat itu adalah tugas kita, bukan tugas Akuwu._ (tandas tumenggung Mahisa Walungan).
_
Sebaiknya, kita kembali saja ke kutaraja Daha! Tetapi jalan yang kita lalui
adalah menyisir tlatah perbatasan timur mendekati wengkon Tumapel. Siapa
tahu kita akan menemukan persembunyiannya di desa-desa yang akan kita lintasi.
_ (kata pandega Baleman).
_
Kalau begitu, sekarang juga
perintahkan kepada prajurit teliksandi untuk mendahului perjalanan
kita!_ (perintah tumenggung Mahisa
Walungan).
_Baik!_
(jawab panglima singkat sambil setengah mengangguk).
Pandega
yang bertubuh kekar itu seketika memberi isyarat tangan kepada prajurit telik sandi untuk mendekat.
Ketika pembicaraan berlangsung, tanpa disadari ada sepasang mata yang mengamati
gerak-gerik mereka dari balik rimbunan semak-semak yang tak jauh dari tempat
mereka bergerombol. Orang itu tidak saja dapat melihat dengan jelas semua
gerak-geriknya tetapi juga dapat menguping semua pembicaraan mereka.
_ Ada perintah apa gusti panglima? (kata
salah seorang pimpinan prajurit telik
sandi setelah mendekat).
Panglima
itu memungut sebatang ranting pohon kering yang berserakan di sekitar tempat
itu, kemudian berkata:
_
Mendekatlah !_
Pimpinan
prajurit telik sandi itu mendekat
diikuti ke empat anak buahnya. Dalam posisi duduk setengah berjongkok, panglima yang berusia setengah baya itu
menggoreskan sebatang ranting kering di tanah untuk menjelaskan rencana tugas
yang diperintahkan.
_
Aku dan gusti Tumenggung akan menyisir daerah perbatasan, tetapi tidak sampai
memasuki tlatah pakuwon Tumapel. Kamu dan anak buahmu menyebar ke tlatah
desa-desa di sekitar perbatasan timur, sedangkan aku akan menuju desa
Panitikan, Pananjakan dan terakhir akan
beristarahat di taman Baboji. Jika kalian
menemukan jejak tanda-tanda si keparat itu, segera laporkan secara
berantai kepadaku!_ (jelas panglima
Balemen sambil menunjuk guratan
titik-titik peta lokasi yang digambarkannya di tanah).
_
Iya gusti, kami segera menyebar di
beberapa desa di perbatasan seperti yang gusti perintahkan._ (jawab kepala
prajurit telik sandi itu sambil undur diri dan segera bergegas pergi).
_
Jangan buang waktu dan bertindak gegabah! Jangan seperti anak kecil!_ (tegas
panglima itu). Tidak berapa lama dari
keberangkatan para prajurit telik sandi itu, tumenggung Mahisa Walungan dan
panglima Gubar Baleman memberi tanda kepada prajurit pengawal dan berkata:
_
Mahisa Taruna! Kita berangkat ke desa Panitikan!_
Mendengar
perintah atasannya, pimpinan prajurit ronda
itu sigap memberi aba-aba berangkat pada pasukannya. Ketika rombongan
prajurit berkuda itu akan melewati jalan persawahan yang sempit, langkah
kudanya diperlambat. Sementara di tengah persawahan ada beberapa orang petani yang sedang bekerja seketika
salah seorang di antara mereka tampak tekejut sesaat kemudian berhenti
mengayunkan cangkulnya, dari kejauhan sayup-sayup mendengar derap kaki kuda dan berkata kepada temannya yang tengah
bekerja di dekatnya:
_
Hei! Kau dengar derap kaki kuda?_
Beberapa
orang petani lain berhenti bekerja sejenak memasang telinga mencoba menangkap
yang dikatakan temannya. Kemudian berkata:
_ Iya aku mendengarnya. Tampaknya akan menuju
ke arah persawahan ini _ (jawab salah
seorang petani sambil ujung jari
tangannya menunjuk pada lintasan jalan yang letaknya di ujung
desa). Pandangan mata ketiga orang
petani itu seketika diarahkan pada ujung jalan yang berada agak jauh dari
tempatnya bekerja.
_ Derap kaki kuda itu terdengar semakin jelas
!._ (sela salah di antara mereka).
_ Hei....lihat itu ! Barisan prajurit berkuda
itu sudah tampak di ujung desa. Debu-debunya berhamburan ke udara._ (kata salah seorang sambil tangannya
menunjuk ke arah datangnya rombongan prajurit berkuda).
_Iya, jumlah mereka
satu...dua......tiga.......lima .....tujuh .....sepuluh ekor kuda!_ (sahut
temannya ketika mencoba menghitung jumlah pasukan berkuda yang mulai tampak
jelas dari pandangannya).
_Tidak salah lagi mereka adalah prajurit
kerajaan! Barisan terdepan ada dua orang membawa bendera dan panji pataka
lambang kerajaan Kediri berwarna-warni.
Di belakangnya ada delapan orang prajurit berkuda mengikutinya.
Sementara yang paling belakang tampak dua orang seperti pimpinannya.
Jaraknya beberapa puluh hasta dari
rombongan pasukan di depannya._ (ujar
salah seorang petani sambil tangannya menunjuk ke arah barisan pasukan berkuda
itu. –
_
Ada apa mereka sampai melintas di persawahan ini?_
_
Mana aku tahu, mungkin mau menangkapmu!_
_
Hus.....enak saja kalau bicara! Memangnya aku punya salah apa!_
_
Sessts, diam! Sebentar lagi mereka akan melintas di depan kita!_
Pandangan
beberapa orang petani yang masih polos itu seketika diam membeku, menyaksikan
langkah-langkah kuda prajurit itu semakin mendekat. Tanpa disadari detak
jantungnya terasa semakin keras, ada semacam kekhawatiran kalau dirinya
berurusan dengan prajurit ronda yang wajah-wajahnya dingin tidak
menampakkan keramahan itu. Salah seorang
di antara petani itu dalam angan-angannya berkata:
“Betapa
enaknya jadi prajurit kerajaan, pakaiannya bagus-bagus berhiaskan permata, di
kepala, leher, kelat bahu dan gelang di tangan dan kakinya serba emas.
Gebyar-gebyar menyilaukan ketika terkena sinar mentari. Kerjanya ringan tidak
seperti petani setiap hari bekerja keras, mandi keringat, berkubang lumpur,
kulit sampai hitam legam seperti jelaga tertempa teriknya mentari” .
Angan-angan
salah seorang petani itu buyar ketika tiba-tiba dua prajurit berkuda di barisan
paling depan menyentak ikat kendali kudanya. Kedua ekor kuda paling depan itu
berhenti mendadak, kakinya terangkat ke atas sesaat diiringi suara ringkikan
keras seakan meronta diperlakukan kasar.
Kemudian diikuti kuda-kuda di belakangnya. Tampak debu-debu jalan
berhamburan ke udara. Mahisa Taruna pimpinan prajurit yang masih bertengger di
punggung kuda itu matanya menatap beberapa orang petani itu sambil tangannya
menunjuk. Seketika para petani itu berubah pucat dan agak gemetaran.
_
Hei........kamu ke mari !_ (bentak salah prajurit itu dengan kasar, dibarengi
pandangan mata melotot tidak berkedip, sementara tangannya memberi isyarat
memanggil).
_
Heh...........kita dipanggil. Hayo ke sana !_ (ajak salah seorang kepada yang
lain sambil saling berpandangan).
_ Ah ...kamu yang dipanggil, bukan aku.
Cepatlah !_ (sahut salah seorang sambil mendorong salah
seorang temannya).
_ Goblok !
Kalian semua kemari !_ (bentak pimpinan prajurit ronda itu diiringi
mimik muka tidak sabar).
Wajahnya ketiga orang petani itu seketika
berubah pucat, kakinya terasa ngoklok seakan sulit digerakkan, kemudian
setengah lari tergopoh-gopoh melompati pematang kecil mendekati prajurit yang
tampak angkuh tengah bertengger di punggung kuda. Sementara dua orang temannya
mengiringinya di belakang disertai
perasaan cemas tidak keruan.
_ Aku tanya kalian! Jawab dengan benar, kalau
dusta, pedang ini akan menebas batang
lehermu!_ (ancam seorang prajurit sambil memainkan sebilah pedang di dekat
lehernya).
_
Kami ini hanyalah petani yang tidak tahu apa-apa. Kalau kami tidak tahu bukan berarti kami
berdusta._ (kata salah seorang petani itu dengan bibir bergetar memberanikan
diri ).
_ Diam kamu! Aku belum bertanya mulutmu
sudah nyerocos lancang!_ (bentak prajurit itu dengan wajah merah padam disertai
mata berkilat melototi petani ).
_
Hei.....apa kalian tahu seorang pemuda,
bernama Ken Arok ?_ Dia penjahat
kerajaan, berambut panjang sebahu !._
(kata Mahisa Teruna dengan angkuh).
Bentakan kasar itu, membuat ketiga orang petani itu terkejut saling
berpandangan, kemudian salah seorang berkata:
_ Anu tuan.......anu ......kami tidak
mengenal orang yang tuan cari. Di dusun kami tidak ada orang yang bernama
Arok._ (jawab salah seorang petani lainnya dengan kata-kata terputus sementara
bibirnya seperti terkunci).
_ Goblok! Bukan itu maksudku! Yang
kutanyakan, apa pernah kalian melihat buronan itu melintas di persawahan ini
?_ (kata prajurit itu dengan marah
disertai umpatan kata-kata kasar
sementara pedangnya yang panjang putih berkilat dimainkan seakan siap tebas).
_ Benar tuan, sungguh kami tidak tahu
orang yang tuan cari._ (jawab salah seorang petani dengan wajah pucat disertai
keluarnya keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya)
_ Awas kalau ternyata bohong, kalian akan
kuhukum picis jadi pengewan-ewan di alun-alun kutaraja ! _ (bentak
prajurit itu sambil menggebrak lari kudanya).
Mendengar ancaman itu ketiga orang petani
itu hanya bisa terpaku bagai batu sampai saat menyaksikan para prajurit Daha
itu menggebrak lari kudanya. Debu-debu jalanan yang berhamburan dibiarkan saja
menerpa wajahnya. Mereka masih berdiri
mematung sambil menatap kepulan debu tebal
bergulung-gulung memenuhi sepanjang jalan yang dilalui kuda prajurit
Kediri. Hatinya sebagai kawula alit terasa pedih-perih diperlakukan kasar tidak
ubahnya seperti gedibal busuk yang
tidak ada harganya. Salah seorang petani itu menarik napas panjang
seperti ingin menghilangkan perasaan terlukanya. Sebentar kemudian berkata:
_ Mungkin sudah nasib, orang
seperti kita ini selalu jadi bahan hinaan._ (kata salah seorang dengan wajah tertunduk lesu dan
nelangsa)
_ Sudahlah, kang! Kita ini
memang ini orang kecil, bisanya cuma sabar dan pasrah._ (sahut salah seorang
yang lebih tua)
_Huh!
Mentang-mentang berkuasa, memperlakukan orang miskin seperti kita tak ubahnya
seperti hewan! Sudah tidak
sopan.......membentak-bentak lagi ! _ (sahut salah seorang kawannya yang
usianya masih muda).
_Sudahlah, memang sudah lagaknya, mau diapakan!_ (sahut
salah seorang meredakan kejengkelan temannya).
_Iya...tetapi._ (kata kawannya tertahan)
_Tetapi apa?_ (desak kawannya )
_Seharusnya mereka mengayomi kawula alit
seperti kita-kita ini, bukan malah bertindak kasar menakut-nakuti!._ (sahut
petani lain yang lebih tua)
_
Apa karena mencari buronan lalu tindakan mereka
berubah liar dan kasar seperti tadi?_
_Entahlah! Setahuku sejak dahulu sudah begitu._ (sahut
seorang petani menggelengkan kepala sambil beranjak pergi dari tempat itu
diikuti kawannya yang lain ).
v
Sementara
di salah satu sudut warung tidak jauh dari pasar Panitikan pagi itu tampak
beberapa orang sedang mengobrol satu sama lain. Di sela-sela obrolan itu kadang
terdengar tawa berderai, kadang tampak serius.
_Saat ini keresahan penduduk desa
terjadi di mana-mana. Mereka yang semula takut, kini semakin berani dan
terang-terangan membangkang._ (kata Tita
sambil menyeruput wedang kopi jahe kesukaannya).
_Iya, habis apa lagi yang dibuat mbayar
pajak! Untuk dimakan saja susah!_ (sahut salah seorang kawannya ngobrol)
_Kau tahu sebabnya?_ (tanya Tita sambil ditatapnya wajah temannya
satu persatu)
_Iya karena hidupnya senin-kemis.
Jadi mereka pilih membangkang daripada mbayar pajak._ (sahut salah seorang)
_Bukan hanya itu. Mereka berani membangkang
karena ada yang membelanya di belakang._ (kata Tita)
_ Membela bagaimana?_
_ Kau ingat peristiwa rajapati yang
menggegerkan di desa Kapulungan setahun
yang lalu ? _
_ Peristiwa apa ?_
_Terbunuhnya
kelima anak buah demang Wuragang setelah menganiaya beberapa petani yang
menolak membayar pajak._
_
Kau tahu.......siapa pembunuhnya ?_
Beberapa
orang yang diajak bicara itu menggelengkan kepala hampir berbarengan sambil
matanya menatap Tita tidak berkedip, kemudian berkata:
_ Tidak._ (katanya dengan suara
lirih sambil menggelengkan kepala)
_ Coba kau ingat-ungat kejadiaan di desa
Telaga Pager yang menggemparkan beberapa bulan lalu ?
_ Iya.......aku masih ingat, demang Ketangi mati terbunuh. Waktu itu aku dengar
dari bakul sinambiwara di pasar.
Menurut cerita dari orang desa itu,
tukang pukul demang itu sebelumnya menganiaya beberapa orang penduduk
yang membangkang bayar pajak. Pada malam harinya tiba-tiba demang itu diculik,
setelah dibunuh mayatnya digantungkan di pohon dekat tapal batas desa untuk
dijadikan tontonan._
_
Hih.........ngeri !_ (sahut salah seorang yang lain).
_ Coba kau ingat lagi peristiwa berdarah di
desa Sigenggeng yang menggegerkan beberapa pekan lalu ?_
_ Iya, ketika lima orang tukang pukul demang
Lantur terbunuh secara mengerikan, mayatnya digeletakkan berserakan di pojok
halaman rumah ki demang dengan isi perut terburai. Katanya sebelum kejadian itu mereka telah merampas beberapa ekor sapi milik
penduduk yang menolak bayar pajak._
_
Katakan! Siapa yang melakukan semua itu?_ (desak salah seorang kepada Tita)
Tita sejenak terdiam, diamati wajah kawannya
satu persatu, tidak lama kemudian
berkata:
_Siapa lagi kalau bukan.............._ (kata
Tita tertahan sambil mendekatkan mulutnya ke telinga temannya sambil berbisik)
_
Hah ! Ken Arok_ (pekik salah seorang kawannya setengah tertahan)
_ Kalau Ken Arok, kenapa?_
_
Anak itu benar-benar pemberani. Bukankah dia sadar kalau tindakannya itu akan
mengundang resiko bahaya bagi dirinya?_ (kata salah seorang setengah bertanya)
_
Ken Arok pernah mengatakan padaku, kalau ia telah siap menghadapi resiko
segawat apapun._ (kata Tita menuturkan kembali perkataan Ken Arok sahabatnya).
_Tetapi mengapa dia sembunyi-sembunyi dalam
menghadapi punggawa pajak ?_ (tanya salah seorang kepada Tita).
_ Dia hanya bertindak kalau ada sebab
yaitu ketika punggawa pajak dan tukang pukulnya itu menganiaya penduduk desa._
(kata Tita sambil pandangan matanya menatap salah seorang kawannya).
_Jadi
tindakannya yang tidak secara terang=terangan itu bukan karena Ken Arok takut
?_
_
Oh tidak, itu hanya sebuah siasat._ (kata Tita singkat sambil menggelengkan
kepala dan meletakkan cangkir kopi yang baru diseruputnya)
_
Kalau begitu aku sekarang baru mengerti mengapa Ken Arok menjadi buronan
kerajaan._ (sahut temannya).
_
Memang, dia buronan nomor satu sampai tumenggung dan panglima sendiri turun tangan. Sebab
kalau pembangkangan penduduk semakin meluas, maka pundi-pundi dan lumbung
kerajaan lama kelamaan akan kosong. Pihak kerajaan menuduh kalau Ken Arok
sebagai biang keladinya._ (Kata Tita sambil menggerakkan ujung jarinya).
_ Heh.....Tita! Kau adalah sahabat dekatnya,
mengapa kau tidak ikut serta kemanapun dia pergi?_
_ Ah.........kau ini ada-ada saja. Bagiku
mencari Ken Arok tidak sulit. Aku tahu di mana ia berada saat ini._
Ketiga orang itu terdiam sesaat, tangannya
meraih sepotong pisang goreng yang berada di atas meja. Kemudian Tita
melanjutkan obrolannya.
_Kalian
tahu, apa sebab Ken Arok selalu gagal diringkus?_ (kata Tita setengah
memancing)
_Iya,
karena dia cerdik._ (sahut yang lain)
_Bukan itu, tetapi karena penduduk desa tutup mulut merahasiakan keberadaannya.
Akibatnya prajurit yang mengejarnya tidak dapat melacak jejak
persembunyiannya. Itulah yang
menyebabkan Ken Arok memiliki ruang gerak bebas-leluasa ke manapun pergi._
(kata Tita)
_Kalau begitu, pertahanan Ken Arok adalah
penduduk desa itu sendiri._ (simpul salah seorang teman Tita).
_ Benar, katamu. Semakin luas pembangkangan
pajak di kalangan penduduk desa maka semakin kuat pula pertahanan Ken Arok di
daerah itu._ (kata Tita).
_
Jadi, dengan begitu ia mudah mengecoh
dan mengelabuhi prajurit yang
mengejarnya, karena setiap orang yang ditanyai menghindar dan tutup mulut._
(sahut salah seorang kawannya).
_
Luar biasa! Aku tidak mengira dia secerdik itu._ (sahut kawannya yang lain).
_
Ngomong-ngomong kenapa dia begitu peduli dengan nasib orang-orang kecil yang
teraniaya?_ (celetuk salah seorang)
_
Karena selama ini tidak seorangpun yang berana terang-terangan membelanya._
(kata Tita sambil mengunyah pisang goreng)
_
Bukannya di Tumapel dan tlatah Kediri banyak pendekar yang kudengar juga tidak
sejalan dengan kebijakan kerajaan?_ (sahut salah seorang kawannya)
_
Iya....tetapi mereka nampaknya masih menjaga jarak dengan
punggawa kerajaan, belum memperlihatkan pembelaan terhadap orang kecil._ (kata Tita
dengan tenang)
_
Mengapa mereka tidak mendukung Ken Arok saja?_
_Aku
tidak tahu hal itu, mungkin Ken Arok sendiri tidak mau melibatkan para
pendekar._ (kata Tita sambil menggelengkan kepala)
_
Aneh........anak itu memang aneh._ (sahut salah seorang yang masih menjadi
teka-teki di benaknya)
_ Apanya yang aneh?_ (sahut kawan
lainnya).
_ Kalau Ken Arok memang membela kawula
alit yang teraniaya, mengapa tidak bersekutu dengan para pendekar yang
berseberangan dengan pihak kerajaan? Bukankah dukungan para pendekar akan dapat
menguatkan gerakannya dalam membela kaum kecil ?_ (katanya sambil memacing
Tita).
_ Sudah kukatakan, aku tidak banyak tahu
hal itu. Hanya Ken Arok pernah berkata padaku, kalau para pendekar itu punya
urusan sendiri yang berbeda dengan urusan nasib kawula alit yang dibelanya
selama ini._ (kata Tita sambil menatap satu persatu wajah kawannya)
Ketiga
orang temannya itu mengangguk-anggukan kepala , salah seorang menyahut:
_ Pantas saja prajurit-prajurit itu
berkoar di mana-mana seolah Ken Arok biang kerusuhan._
_Iya tetapi prajurit-prajurit itu tidak
memperoleh dukungan dari penduduk desa. _ (cela salah seorang dengan nada
ketus).
_He!
Kalian masih ingat ketika bertemu Ken Arok satu purnama lalu ?_ (kata Tita)
_ Di mana?_ (sahut salah seorang
kawannya)
_
Di dusun Paguhan._ (Kata Tita singkat)
_Ya,
aku ingat! Kalau tidak salah waktu itu kau dan dia menghadiri pemakaman ki
Panjula yang tewas akibat dianiaya prajurit Kediri. Ia muncul tiba-tiba di
tengah-tengah kerumunan para pelayat menyampaikan ikut bela sungkawa kepada
nyai Panjula. Kalau tidak salah waktu itu ia juga memberi bantuan untuk sekedar
meringankan beban nyai Panjula. Ia
sempat mengelus-elus rambut bocah laki-laki kecil anak Ki Panjula yang sedang
menangis memilukan. Kemudian ia mengucapkan beberapa patah kata di hadapan para
pelayat._
Sejenak
orang itu mengingat kata-kata Ken Arok, kemudian berkata menirukan:
_ Iya......dia berkata: “kematian Ki
Panjula bukanlah mati sia-sia, melainkan membela harga diri. Ia boleh saja mati raganya tetapi jiwa dan semangatnya tidak akan pernah
mati. Karena jiwa dan semangatnya senantiasa hidup untuk terus menyadarkan kita
bahwa tindakan kekerasan prajurit Kediri itu tidak boleh dibiarkan terus
menghinakan kita. Sekarang kita ganti
bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita masih memiliki harga diri seperti
Ki Panjula? Apakah orang-orang Tumapel seperti kita ini sudah kehilangan
keberanian? Ingatlah! Kalau kita terus membiarkan kekerasan demi kekerasan itu mengoyak-oyak kehidupan kita, berarti
kita tidak lagi punya harga diri lagi! Contohlah yang dilakukan Ki Panjula yang
dengan gagah berani mempertahankan keyakinannya walau harus ditebus dengan
tetesan darah penghabisan!” _
_Eh....ternyata ingatanmu masih
tajam!_ (kata Tita setengah memuji temannya)
_Bagaimana aku bisa lupa ? Kata-kata itu
sepertinya tertanam kuat di benakku,
bahkan hampir setiap orang desa itu
mengingatnya, kata-kata itu seakan-akan punya kekuatan magis untuk menggugah
kesadaran dan keberanian. Kata-kata itu laksana kobaran api yang membakar rasa
ketakutan yang selama ini mencekam penduduk desa!_ (sahut salah seorang
kawannya).
Di tengah-tengah obrolan itu, tanpa
disengaja pandangan mata Tita tertuju pada seorang yang duduk di sudut warung.
Diamatinya gerak-gerik orang itu, kemudian berkata setengah berbisik kepada
temannya:
_Sests, lihatlah orang yang duduk di
seberang sana! Sejak tadi diam-diam seperti mengamati kita!_ (kata Tita
diiringi bahasa isyarat menggerakkan kepala dan mimik wajah ke arah orang asing
itu).
_Biarkan aja, kita nggak punya urusan
apa-apa dengan dia!_ (sahut kawannya)
_Iya....tetapi tampaknya ia
memata-matai kita! Caranya mengamati kita sepertinya ia telik sandi._ (kata
Tita dengan wajah serius)
_Hei lihat! Orang itu memanggil
pelayan! Dia sepertinya memberikan sesuatu sambil berbicara berbisik!._ (sahut
yang lain ketika menyaksikan orang yang mencurigakan itu).
_ Apa yang dia berikan?_
_ Mungkin ia bayar makanan. Ia tampaknya
terburu-buru!_
_ Kukira bukan._
_ Lalu apa?_
_ Sests, lihat ke mana orang tadi! Cepat
sekali ia lenyap! Baru sekejap saja kita tidak memperhatikannya, tahu-tahu ia
sudah tidak ada di situ._
Ketiga kawannya yang lain celingukan
mencari orang yang baru saja dibicarakan itu tiba-tiba lenyap dari pandangan
mereka.
_Tidak salah lagi dia telik sandi
kerajaan._ (kata Tita sambil pandangannya menatap satu persatu wajah temannya).
_ Wah! Jangan-jangan orang tadi telah
menguping pembicaraan kita. Bisa-bisa kita dituduh berkomplot dengan buronan
kerajaan!_ (kata salah seorang dengan wajah yang mulai menampakkan sebersit
ketakutan).
_Jangan takut! Kita secepatnya bubar dari
tempat ini! Sebentar lagi prajurit ronda pasti datang ramai-ramai menggerebek
tempat ini!_ (kata Tita sambil bergegas pergi setelah meletakkan beberapa
keping uang kepeng di meja kedai itu).
_ Ke mana?_ (tanya salah seorang)
_Diam kamu!
Ikut aku kalau tidak mau tertangkap._ (kata Tita sambil berjalan,
sebentar kemudian menyelinap di balik kandang ternak yang jaraknya cukup jauh
dari kedai).
_ Hei....dengar! Ada suara derap kaki
kuda menuju kemari! Jangan-jangan prajurit Kediri yang sedang ronda!_ (kata salah seorang kepada Tita sambil
mengintai dari balik persembunyiannya, sementara ketegangan mulai merayap di
sekujur tubuhnya).
_Nah......itu mereka !_ (sahut salah seorang
yang lain sambil tangannya menunjuk ke arah beberapa orang prajurit berkuda
menuju warung di seberang pasar itu).
Seketika orang-orang di sekitar pasar itu terkejut, pandangannya tertuju pada
sekelompok prajurit berkuda melintas cepat. Kini lari kudanya diperlambat
ketika menyeruak di tengah-tengah keramaian pasar dan tiba-tiba berhenti tepat
di depan pintu pagar warung itu. Mereka melompat dari punggung kuda dan
menambatkannya di salah satu pohon di depan warung.
_Hei pelayan!_ (teriak salah seorang
memanggil ketika memasuki pintu kedai).
_Iya...iya, pesan apa tuan?_ (kata lelaki
setengah baya itu membungkuk gemetaran sambil mendekati prajurit ronda itu).
_Goblok! Aku ke sini bukan untuk makan
tetapi menangkap komplotan Ken Arok!_(bentak salah seorang prajurit ronda
sambil menuding pemilik warung sementara salah satu kakinya dinaikkan di atas
kursi).
_
Kami tidak tahu, siapa orang yang tuan maksud. Orang datang ke sini hanya untuk
makan dan minum, tuan._ (kata pemilik warung itu kakinya gemetar disertai wajah pucat pasi)
_Bangsat! Kau masih saja mengelak! Laporan
dari telik sandi mengatakan baru saja di sini ada empat orang komplotan Ken
Arok. Lihat cangkir dan piring makanannya masih tergeletak di meja itu!_ (bentak salah seorang prajurit sambil
tangannya mencengkeram leher baju pemilik warung itu, sementara tangan satunya
menunjuk ke arah meja di sudut ruangan)
_ Sungguh tuan, kami tidak mengerti ke mana
perginya orang-orang yang tuan maksud!_ (kata pemilik warung setelah
cengkeraman tangan prajurit itu dilepaskan sontak sambil didorong)
_Baik! Kalau kau tetap tidak mau bicara, siapa
mereka dan ke mana perginya, tempat ini akan kubakar dan kau akan kuseret ke
kutaraja untuk dijadikan pengewan-ewan !_ (bentak salah seorang prajurit
ronda menakut-nakuti).
_ Ampun tuan, sekalipun tuan memaksa, kami
tetap tidak tahu siapa dan kemana perginya!_ (kata orang tua itu memberanikan
diri)
_ Hei.......orang tua! warungmu terbukti
jadi markas gerombolan pemberontak!
Berat hukuman orang yang bersekutu dengan pemberontak! Kalau kau tetap
bandel, warung ini akan kubakar! (bentak prajurit itu sambil matanya memelototi
pemilik waraung sementara tangannya berkacak pinggang)
_
Ampun tuan, jangan....jangan dibakar, tuan! Tempat ini satu-satunya kami
bergantung hidup. Sungguh, kami tidak tahu menahu soal yang tuan maksudkan.
Kami hanyalah orang kecil._ (pinta
pemilik warung itu dengan nada memelas minta dibelas-kasihani).
_ Hei kawan! Nyalakan obor itu!_ (perintah
pimpinan prajurit ronda kepada salah seorang kawannya).
Seketika
salah seorang prajurit ronda itu dengan
sigap berlari ke salah satu sudut warung, tangannya meraih oncor bambu yang
tergantung di sebuah tiang di pokok ruangan, disulutnya ujung oncor itu dengan
api. Sementara orang-orang yang bergerombol di dekat pasar menyaksikan ulah
para prajurit ronda itu dengan perasaan was-was tidak menentu.
Jantungnya terasa berdetak keras ketika mendengar ancaman prajurit ronda itu. Salah seorang berkata kepada kawannya:
_Kasihan ki Bajani pemilik warung itu. Tidak
tahu apa-apa dituduh bersekongkol dengan pemberontak!_ (katanya sambil berbisik)
_ Prajurit itu memang keterlaluan, sok kuasa
dan semena-mena, bisanya cuma mengobrak-abrik bikin keonaran tetapi tidak
pernah bisa menangkap buronan. Kalau ulah semacam itu diteruskan, lama-lama
prajurit-prajurit itu kehilangan simpati dari orang-orang desa._
_ Sst, lihat! Ancaman prajurit itu sepertinya
tidak main-main._ (kata salah seorang di
antara orang yang berkerumun disertai perasaan tegang)
_ Hei ......orang tua! Api itu akan segera
meludeskan warungmu!_ (kata pimpinan
prajurit ronda itu sambil menendang dada Ki Bajani). Pemilik warung itu jatuh
terjengkang keras ke lantai, tangannya memegang dadanya yang kesakitan sambil
mulutnya mengerang menahan rasa nyeri yang hebat. Sementara nyai Bajani
menjerit sambil menangis menubruk suaminya yang renta itu jatuh tergeletak
lemas tidak berdaya di lantai.
_ Wo alah pakne, kenapa kita mengalami
perlakuan seperti ini!_ (kata nyai Bajani sambil menangis sejadi-jadi sambil
merangkul suaminya sebentar tampak mengguncang-guncangkan tubuh renta di
hadapannya itu). Tiba-tiba isak-tangisnya terhenti, wajahnya perlahan diangkat, pandangan matanya
yang bersimbah air mata itu kini menatap
tajam prajurit-prajurit ronda itu dengan pandangan tidak berkedip. Isteri pemilik warung itu tangannya menuding
prajurit ronda sambil berkata setengah mengumpat:
_Hei .......anak muda! Kalian benar-benar
tidak punya belas kasihan! Rupamu tampan, tetapi kelakuanmu seperti penjahat!
Ingatlah suatu saat kau akan menuai
karma dari perbuatanmu!_
_Tutup mulutmu perempuan tua!_ (bentak prajurit itu sambil menuding disertai
wajah merah padam).
Suasana
di tempat itu seketika senyap, ibarat jarum jatuh pun akan terdengar, sementara
ketegangan merayapi orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, perasaannya
cemas tidak menentu, mulutnya ternganga ketika pimpinan prajurit ronda itu
berteriak:
_ Bakar tempat ini!_
_Oh....jangan tuan, jangan...........jangan!_
(cegah ki Bajani sambil berusaha bangkit, salah satu tangannya tampak meronta
untuk mencegahnya, sementara tangan satunya berusaha menyangga tubuhnya untuk
bangun).
Prajurit yang memegang oncor itu tampak
berjalan keluar dari warung dan secepat kilat melempar oncor itu ke atapnya,
seketika api menjalar cepat menjilat-jilat melahap bangunan sederhana yang
beratap ijuk itu. Pemilik warung itu dan
isterinya hanya dapat menjerit-jerit sambil berlarian ke sana-ke mari berusaha
menyelamatkan barang-barangnya yang tersisa, sementara ke empat prajurit ronda
itu menyaksikannya sambil tertawa terbahak-bahak:
_Rasakan, kini hartamu ludes!_ (kata pimpinan
prajurit ronda itu sambil melompat ke punggung kudanya diikuti anak buahnya
meninggalkan tempat itu).
Seketika
tempat itu geger poyang-payingan, orang-orang di pasar berlarian ingin
menyaksikan ke tempat kebakaran itu. Suara riuh-rendah pun pecah di tengah
kerumunan orang-orang itu. Beberapa orang berlarian menenteng timba berisi air
untuk membantu memadamkan amukan api. Tetapi tampaknya upaya itu sia-sia,
warung Ki Bajani itu tinggal puing-puing
berserakan disertai kepulan asap di sana-sini.
Orang-orang yang berdatangan itu hanya dapat menyaksikan tangisan ki
Bajani dan isterinya yang menyanyat hati itu dengan perasaan haru dan nelangsa.
Salah seorang mendekati:
_Sudahlah
ki! Yang penting aki dan nyai selamat. Kalau aki dan nyai bermaksud mendirikan
warung lagi, kami semua akan membantu!_ (kata orang itu meredakan kesedihan
orang tua itu).
_
Benar, ki! Kami semua siap membantu, kapan pun aki memerlukan!_ (sahut yang
lain).
_Terima
kasih, perhatian kalian benar-benar membuatku terharu._(kata Ki Bajani dengan
wajah sendu menyiratkan kepasrahan)
Sementara
orang-orang yang berkerumun agak jauh dari tempat itu, berkata kepada yang lain
sambil berbisik.
_Prajurit
tadi menuduh kalau warung ki Bajani
sebagai sarang komplotan Ken Arok, makanya prajurit ronda itu
membakarnya._
_
Ah, tidak mungkin. Aku tahu persis siapa ki Bajani. Dia orangnya jujur dan
selama ini tidak pernah berurusan dengan kawanan pemberontak. Dia membuka
warung hanya sekedar untuk menyambung hidupnya setelah tenaganya tidak kuat
lagi menggarap sawah._ (sela yang lain).
_Katanya
prajurit ronda itu punya bukti dari laporan telik sandi yang memergoki beberapa
orang komplotan Ken Arok di warung itu!_
_Kalau benar, komplotan Ken Arok singgah di
warung ki Bajani, apakah berarti ki Bajani dapat dipersalahkan?_
Orang
yang diajak berbicara itu hanya dapat mengangkat bahunya sambil menggelengkan
kepala. Sesaat kemudian, orang-orang yang berkerumunan itu satu persatu pergi
meninggalkan puing-puing warung ki Bajani. Sementara ki Bajani dan isterinya
dengan wajah tertunduk pasrah mengais-ais abu puing-puing reruntuhan itu untuk
menemukan barang-barangnya yang mungkin dapat diselamatkan.
Dari
tempat agak jauh dan tersembunyi ada beberapa pasang mata yang terus mengamati
kejadian demi kejadian di warung ki Bajani. Dari balik persembunyiannya, Tita
berkata:
_ Apa yang bisa kau katakan dari kejadian
itu?_
_ Ya......aku merasa kasihan kepada orang
tua pemilik warung itu. Kini warungnya rata dengan tanah._ (kata salah seorang
temannya)
_ Tentu, tetapi bukan itu maksudku?_
Orang
itu hanya memandang wajah Tita dengan penuh teka-teki.
_
Maksudku, kejadian tadi adalah bukti bahwa pemilik warung itu tutup mulut.
Sekali pun harus mengorbankan harta miliknya ludes di makan api, mereka toh
tetap saja bungkam seribu bahasa untuk tidak memberitahukan keberadaan Ken Arok
dan kawan-kawannya. Itu semua karena orang-orang seperti pemilik warung itu
diam-diam bersimpati kepada Ken Arok._
Ketiga
orang kawan Tita itu hanya mengangguk-angguk. Salah satunya berkata:
_Iya,
tetapi hal itu cukup mengherankan. Kekuatan apa yang menjadikan mereka kuat
bertahan di bawah ancaman prajurit ronda yang kejam itu._
_
Orang-orang desa umumnya merasa bahwa Ken Arok adalah pahlawan mereka. Ken Arok
dianggap sebagai orang yang berani membela kepentingannya sekalipun harus
berhadapan dengan tembok kekuasaan kerajaan._ (kata Tita)
_Benar
katamu. Kuasa dan wibawa kerajaan sedikit demi sedikit runtuh , ibarat tebing
sekeras apa pun akhirnya akan terkikis oleh deburan ombak yang terus menerus
menghantamnya._
_Iya, saat ini nama baik prajurit kerajaan
merosot di mata orang-orang di pedesaan. Semula mereka taat menjalankan semua titah raja termasuk kewajiban membayar
pajak, tetapi kini mulai pudar, yang tampak adalah pembangkangan di sana-sini._
_Apa
rencanamu selanjutnya?_ (tanya salah seorang kepada Tita)
_Pembakaran
warung itu akan kulaporkan kepada Ken Arok!_ (kata Tita singkat).
Sementara
langkah kaki kuda prajurit ronda itu perlahan
menyisir jalan pinggiran desa Panitikan. Sinar mentari yang terik siang
itu menerobos sela-sela dedaunan menerpa wajah prajurit ronda yang melintas di
bawah pepohonan di pinggir jalan itu. Salah seorang prajurit berkata kepada
kawannya:
_
Aku merasa ada yang ganjil dari kejadian tadi._
_ Apa?_
_
Coba perhatian! Setiap kali
penggerebekan yang kita lakukan selalu gagal. Tidak satu orang pun yang kita
tanya menjawab sekalipun kita paksa. Mereka umumnya mengunci mulutnya, dengan
berpura-pura tidak tahu._
_Itu suatu tanda penduduk desa tidak mau
bekerjasama dengan kita._
_Kukira
wara-wara yang disebarluaskan ke setiap desa itu penyebabnya. Coba
ingat! Isinya bernada mengancam bagi
siapa yang terbukti bekerjasama dengan buronan akan dihukum picis! Jadi
menurutku itu yang menimbulkan di kalangan penduduk desa, mereka akhirnya
menghindar dan tutup mulut mencari selamat daripada terseret-seret ini._
_Tetapi
dalam wara-wara itu bukankah dikatakan “bagi siapa saja yang dapat
menangkap Ken Arok dalam keadaan hidup atau mati akan dihadiahi seribu kepeng!”_
_
Masalahnya sampai kini tidak seorangpun tertarik untuk memburu hadiah itu. Jangankan penduduk
desa yang umumnya polos, pendekar-pendekar sekalipun yang biasanya giat memburu
hadiah, kini tidak satu pun muncul. Kurasa ini agak ganjil!_
_
Kurasa ada semacam perasaan tidak senang terhadap kita. Lihat saja ketika kita
melintas di jalan-jalan desa, begitu melihat kita dari kejauhan mereka sudah
pada lari menghindar. Mereka kini tidak lagi memperlihatkan rasa hormat,
kalaupun tidak menghindar mereka tampak melengos disertai pandangan tidak
bersahabat!_
_
Iya aku juga merasakan rasa ketidak-senangan itu kini sepertinya menjalar cepat
ke seluruh pelosok desa yang kita lalui._
_ Ada apa di balik itu semua?_
_ Mana aku tahu!_
_ Kenapa itu hal itu tidak diteliti?_
_ Itu urusan pandega pasukan telik sandi.
Bukan urusan kita!_
_ Hem........aku menangkap ada gerakan bawah
tanah yang tidak kasat mata tetapi pengaruhnya makin kuat. Hal itu hanya dapat
dirasakan._
_Apa ada hubungan gerakan bawah tanah dengan
pembakaran warung tadi ?
_
Iya..tentu, yang kita lakukan di warung tadi jelas akan menimbulkan perasaan antipati penduduk
terhadap kekuasaan kutaraja, Kalau perasaan tidak senang makin meluas maka
dukungan terhadap gerakan bawah tanah yang membangkang terhadao kekuasaan
kutaraja semakin kuat._
_
Ah tugas kita kan cuma meronda, kita tidak perlu memikirkan sesuatu yang bukan tugas kita! Pasalnya kita
hanya dihdapkan pada satu pilihan, yaitu bertindak tegas! Kalau tidak tegas
seperti tadi, kita malahan akan disalahkan oleh gusti pandega dan gusti
Tumenggung._
_Iya....kedudukan
kita memang jadi sulit akhir-akhir ini, melaksanakan perintah atasan, kawula alit seperti pemilik warung tadi
menjadi korban, tetapi kalau berbaik hati,
menenggang perasaan terhadap kawula alit, kita ganti disalahkan oleh
atasan. Sungguh serba repot._
Ketiga
prajurit ronda yang lain diam mendengar keluh-kesah itu, hanya dapat menarik
napas dalam-dalam sepertinya tidak berdaya mengambil sikap yang bijak dalam
menjalankan perintah yang menjadi tugasnya. Ke empat prajurit ronda itu hanya
dapat diam termenung di atas punggung
kudanya.
v
Siang
itu terik sinar mentari terasa menyengat kulit.
Seorang pemuda masih memacu kudanya melintas lorong sempit di pinggiran
persawahan desa Kagenengan yang letaknya di lereng selatan gunung Indrakila.
Ia sepertinya tidak mempedulikan kuda
tunggangannya. Derap kaki kuda itu tampak makin lambat ketika melintas jalan tanjakan memasuki kawasan hutan
perbatasan wilayah Tumapel. Tangan anak
muda itu menarik tali kekang, seketika kuda itu berhenti di dekat pohon yang
rindang di pinggiran hutan. Dengan gesit
anak muda itu meloncat turun, berjalan
mendekati parit yang airnya mengalir jernih, bergegas ia membasuh wajahnya yang
penuh keringat itu. Sesaat kemudian ia kembali mendekati kudanya, tangan
kanannya mengelus-elus jidatnya, sepertinya sedang mengajaknya bicara:
_Maafkan aku bibit! Hampir setengah hari
kita tidak berhenti. Sekarang kau boleh istirahat! Makan dan minumlah sepuasmu! Di sini banyak
rumput-rumput segar dan air jernih!_
(kata anak muda itu sambil menepuk-nepuk punggung hewan itu, sementara
kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengeluarkan dengusan suara
seakan mengerti apa yang dikatakan tuannya).
Ketika
beristirahat di bawah pohon mandira yang daunnya rindang, anak muda itu dengan
tenang menyandarkan punggungnya di pohon itu sambil mengipas-ngipaskan kainnya
untuk mengeringkan keringat yang membasahi leher dan badannya. Sekali-kali kain
itu diusapkan di wajahnya untuk menyeka air basuhan dari parit yang masih
menempel. Diraihnya tempat minum yang berbentuk bundar terbuat dari tempurung buah Sriphala itu, kemudian perlahan
diteguknya. Tenggorokannya terasa lega, badannya terasa lebih segar ketika
angin bertiup semilir seakan memulihkan otot bayunya setelah berkuda
hampir setengah hari tanpa henti. Tangannya meraih bungkusan makanan yang
dibawakan oleh nyai Karta, perlahan makanan yang dibungkus daun pisang itu.
Dibukanya. Di tengah-tengah makan tiba-tiba ia teringat sesuatu, kemudian dalam
hatinya berkata:
“Lebih
baik aku menemui ki Sampar Angin di Kedung biru, sahabat bapa angkatku Bango Samparan daripada
aku ke Panawijen. Paman Sampar angin
adalah pendekar yang disegani karena berelmu tinggi dan termasuk pendekar
golongan putih. Ya.........aku tidak ragu lagi, aku akan pergi menemuinya”.
Usai makan ketika sedang
meneguk minuman, tiba-tiba Anggara
dikejutkan suara orang tertawa nyaring. Suara itu makin lama terdengar keras
serasa memekakkan telinga. Gemanya seperti menembus ke seluruh sudut penjuru
hutan. Seketika anak muda itu bangkit dari tempat duduknya, memasang mata
mengamati sekeliling hutan itu sambil berjaga-jaga atas segala kemungkinan yang
akan terjadi. Dalam pikirannya berkata:
“suara
itu dilambari tenaga dalam yang hebat, sampai gema yang dilontarkan mampu
menggetarkan seluruh isi hutan, tetapi
siapa? Sepertinya aku pernah mengenal suara itu!” (kata Anggara sambil
mengingat-ingat). Belum sampai dapat memastikan, suara itu kembali terdengar
menggema.
_ Hei ....anak muda! Mengapa kau bingung?
Aku tahu engkau sekarang dalam pelarian ke tlatah timur. Masuklah ke tlatah
Tumapel, engkau akan aman, karena prajurit Daha tidak akan mengejarmu sampai ke
sana!_
(Anggara semakin terheran-heran mendengar
kata-kata yang mengerti keberadaannya saat ini).
_Siapa kau sebenarnya ? _ (teriak
Anggara dengan suara lantang sambil telapak tangannya di dekatkan mulutnya agar
suaranya menggema).
_Hua......haa......hwaaaaaa......
haaaa. _ (gema tawa panjang itu kembali memecahkan kesunyian hutan Kagenengan).
_Arok................Arok kau ini masih
muda tapi sudah seperti kakek-kakek pikunan saja, huwa haa.....haaaa !._ (suara orang itu tanpa
memperlihatkan diri).
_ Uh..............dia sudah mengenalku
!, ia tahu rencana prajurit Daha. Siapa
dia sebenarnya ? (kata Ken Arok dengan wajah memperlihatkan rasa semakin
penasarannya).
Ketika sedang bingung belum dapat
memastikan teka-teki itu, tiba-tiba dikejutkan datangnya angin kencang disertai
gema suara tertawa keras, kali ini lebih keras dari suara tawa sebelumnya. Debu
dan daun-daun kering di sekitar tempat itu berhamburan di udara diterjang angin
bayu bajra. Tampak berkelebat sesosok bayangan dengan gerakan yang sulit
diikuti oleh pandangan mata, tiba-tiba
seorang tua dengan rambut panjang memutih sudah berdiri gagah di hadapan
Ken Arok. Anak muda itu terkejut ketika
melihat sosok orang tua yang berdiri gagah di hadapannya itu. Seketika anak
muda itu lari tergopoh-gopoh mendekati orang tua itu sambil memberi hormat,
sambil berkata:
_Paman Sampar Angin !_(teriak Ken Arok
terkejut)
_Bangkitlah
!_ (kata orang tua itu dengan arif sambil tangannya menepuk bahu anak muda)
_Bagaimana, paman tahu aku berada di sini ? _ (tanya Ken Arok).
_
Kakang bango Samparan, orang tuamu yang mengatakan. Semula aku dari kutaraja
Daha, lalu singgah di kediaman orang tuamu di Karuman._
_
Iya paman, niatku semula memang akan pergi ke Panawijen tetapi rupanya keadaan
saat ini tidak memungkinkan aku tinggal di padepokan itu._
_
Ada apa ?_
_Aku
tidak ingin jatuh korban atau setidak-tidaknya
pedopokan itu akan diporak-pondakan prajurit gara-gara keberadaanku di
situ._
_
Iya aku mengerti, saat ini tidak mungkin
kau menetap di satu tempat. Itu akan memudahkan prajurit kutaraja menjebakmu._
_
Setelah aku singgah di Karuman, orang tuamu bercerita....._ (kata Ki Sampar
angin tertahan tidak diteruskan)
_
Cerita apa, paman ?_
Pendekar
tua itu diam sejenak sambil memainkan jari-jarinya di mulutnya, berjalan
beberapa langkah mondar-mandir sambil terlihat sekali-kali menarik napas panjang. Sepertinya ada
ganjalan untuk mengatakannya terus-terang kepada anak muda itu.
_Apa
yang terjadi dengan orang tuaku, paman ?_ (desak Ken Arok tidak sabar).
Pendekar
berjenggot putih itu tampak masih diam
termangu, sesaat kemudian tangannya terlihat mengelus-elus jenggotnya
yang putih sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu. Perlahan orang tua itu berkata pelan:
_Prajurit-prajurit
Daha........._
_
Apa yang mereka lakukan, paman? (sahut Ken Arok sambil mengguncang-guncangkan
tubuh Ki Sampar angin).
_
Mereka menganiaya orang tuamu._
Mendengar penuturan Ki Samparangin, Ken Arok terguncang hebat bagai disambar
petir. Tanpa disadari ia meloncat bagaikan seekor singa menubruk mangsa.
Suara geram dari mulutnya bagaikan suara seekor naga yang
mendesis-desis.
_ Huh........bedebah! Sudah kuduga
mereka akan berbuat licik._ (cetus Ken
Arok sontak dengan nada marah, hatinya
seperti terbakar api menyala-nyala, dadanya sesak seakan mau meledak,
detak jantungnya berpacu keras memburu, wajahnya berubah merah padam, kerotan
giginya terdengar gemeretak, desah napasnya membekos. Kilatan matanya liar, sorotnya menyala tampak
melotot tanpa kedip. Otot-otot wajahnya tampak menegang, telapak tangannya
dikepalkan seperti akan meremuk besi geligen).
_ Kurang ajar! Prajurit-prajurit itu
cecunguk itu tidak memiliki jiwa ksatria, bisanya cuma menebar kekerasan,
menindas kawula alit yang tidak berdosa dengan kedok kekuasaan!_ (geram Ken
Arok dibarengi tubuhnya yang bergetar hebat menahan murka, dadanya tampak
naik-turun seperti kepundan gunung yang akan meletus memuntahkan lahar panas,
jari-jari tangannya dikepal-kepalkan).
_Tenanglah Arok ! Orang tuamu masih dilindungi oleh
Hyang Agung. Aku merawatnya selama beberapa hari dan tidak lama lagi akan
pulih kembali seperti sedia kala_ (kata orang tua menenangkan).
_Terima kasih, paman telah
merawatnya._ (jawab Ken Arok sambil
mengatur napasnya untuk meredakan
amarah).
_Sebelum aku meninggalkan Karuman,
orang tuamu sempat berpesan kepada paman untuk mencarimu. Pesannya, untuk
sementara waktu kau jangan pulang ke Karuman, lebih baik puruhita ke Panawijen atau ke Lohgawe._
(kata orang tua berjubah itu).
_Iya.........tetapi rasanya tidak
mungkin saat ini aku menetap di padepokan Panawijen atau Lohgawe, Paman!_
.
_ Aku mengerti ! Paman akan
segera menyuruh orang untuk memberitahu orangtuamu bahwa kamu telah selamat,
lolos dari kejaran prajurit Daha dan kini aman bersamaku. Berita ini niscaya dapat mengobati
kecemasannya memikirkanmu dan membuatnya
merasa lega._ (kata Ki Sampar angin).
_ Terima kasih, paman._ (jawab Ken
Arok).
_ Bagaimana kejadiannya sampai kamu
dikejar-kejar prajurit Daha kali ini ?_ (orang tua itu bertanya).
_Ceritanya agak panjang paman._ (jawab Ken Arok menceritakan awal mulanya
bentrok dengan prajurit Kediri sampai akhirnya dijebak di hutan Karautan)
_ Iya............aku tahu tindakan
prajurit-prajurit itu memang brengsek.
Tetapi aku mendengar berita burung dari orang-orang di kedai-kedai dan
pasar-pasar tlatah kulon, bahwa kamu telah menjadi begal yang paling disegani di padhang Karautan. Saudagar-saudagar dari
Kediri yang akan ke Tumapel ketakutan melintas daerah itu._ (kata orang tua itu
sambil mengamati anak muda yang berdiri di hadapannya).
_ Aku akui hal itu, paman.
Tetapi yang kurampok adalah
punggawa-punggawa yang memeras rakyat ! Uang pajak yang kurampok itu
kukembalikan lagi kepada penduduk desa!_
_ Para saudagar dari
kutaraja juga kau rampok ?_
_ Iya..... terpaksa
kulakukan, karena dikawal oleh prajurit Kediri yang diupah oleh mereka. Jadi kalau mereka kurampok tujuanku adalah
mempermalukan prajurit-prajurit itu._
_ Hebat....hebat! Kau sungguh berani menghadapi mereka sendirian
anakku. Karena keberanian itu, kau difitnah merampok rakyat kecil;._
_ Biarkan saja, itu dalih hanya yang biasa mereka gunakan.
Sudah biasa orang yang mempunyai kekuasaan suka memutar-balikkan kejadiaan._
_Pihak kerajaan sangat bernafsu
menangkapmu, bahkan menyebar wara-wara disayembarakan._
_Iya.....paman, sayembara itu semakin membuka mata bahwa mereka sebenarnya
tidak becus menangkapku._
_Bagaimana paman tahu rencana
prajurit Kediri tidak mengejarku sampai tlatah Tumapel ? _ (tanya Ken Arok
menanggapi perkataan ki Sampar angin sewaktu masih belum menampakkan diri).
_Aku menguping pembicaraan mereka
pinggiran hutan Limbahan._ (jawab orang tua itu menuturkan kejadiannya).
Ken
Arok mengangguk-anggukan kepala sambil mengingat kejadian di hutan Karautan
dekat desa Limbahan, kemudian berkata:
_Berarti yang menyelamatkanku di
padhang Karautan adalah paman sendiri ?_
(simpul Ken Arok setelah mendengar penuturan orang tua itu).
Pendekar
tua itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, kemudian berkata:
_ Iya.....tentu ! Karena mereka
menjebakmu dengan seratus orang prajurit. Kau bisa mati konyol menghadapi
prajurit sebanyak itu._
_ Waktu itu aku sudah pasrah,
lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah!_
_ Lain kali jangan nekat seperti
itu, gunakan akal cerdikmu, lakukan apa yang tidak disangka oleh lawan._
_ Iya paman, kuakui waktu itu aku
terburu nafsu._
_Sudahlah!, hal itu jangan dipikirkan. Waktu itu hanya suatu kebetulan
saja ketika paman melintas di hutan itu tiba-tiba terdengar suara keributan
ternyata prajurit Kediri itu sedang beramai-ramai mengeroyokmu._
_Sekarang, ikutlah bersamaku! Nanti kita
bicarakan apa yang sebaiknya kau tempuh._
(ajak orang tua itu dengan lemah lembut sambil tangan kanannya
menepuk-nepuk bahu anak muda itu. Ken
Arok menganggukkan kepala sambil bergegas
mengemasi perbekalan dan tangannya perlahan meraih tali ikat kendali
kudanya, kemudian beranjak pergi meninggalkan tempat itu mengikuti jejak
langkah Ki Sampar angin).
Pada suatu malam ketika Ken Arok duduk
bersila saling berhadapan dengan ki Sampar Angin di dungau kecil di sudut depan
halaman balai pendapa. Tampak sesekali Ki Sampar Angin menuang minuman ke dalam
cangkir yang terbuat dari tembikar.
_ Kau tahu perkembangan terakhir di
kutaraja?_ (tanya Ki sampar angin membuka pembicaraan)
Ken Arok hanya menggelengkan kepalanya,
diam sejenak mengambil napas lalu berkata:
_Sepekan lalu, aku mendengar berita
kalau baginda mengeluarkan perintah untuk menurunkan gaji para punggawa dan
prajurit, selanjutnya aku tidak tahu lagi, paman._
_ Benar, baginda menempuh cara itu
untuk menghemat kas kerajaan yang kian menipis akibat hasil setoran pajak tidak
mencukupi untuk menutup pengeluaran selama ini._
_ Kau tahu apa akibatnya?_
_ Tidak paman._
_ Kudengar para punggawa dan prajurit
itu walau tidak berani menolak putusan baginda tetapi mereka menggunjing
putusan itu di belakang._
_ Kau dengar apa yang mereka
gunjingkan?_
_ Tidak._
_ Mereka diam-diam akan membalasnya
dengan bermalas-malasan karena merasa tidak dihargai._
Ken Arok terdiam mendengar penuturan
pamannya, dalam hatinya belum dapat menduga arah pembicaraan itu. Sesaat
kemudian pendekar tua itu bertanya:
_ Apa artinya semua ini ?_
_ Aku belum mengerti maksud paman._
_ Ketahuilah! Mengendornya semangat
mengabdi di kalangan punggawa dan prajurit ini akan menggerogoti kewibawaan
singggasana dari dalam._
_ Apa hal itu ada hubungannya dengan
kawula alit ?_
_ Iya, tentu bahkan mempunyai hubungan
timbal-balik dengan apa yang kau lakukan selama ini._
_ Dengan aku, paman!_
_ Iya.......mengapa tidak!_
_ Bagaimana duduk perkaranya?_
_ Kau tahu sendiri di kalangan kawula
terjadi pembangkangan pajak di mana-mana, sedang di kalangan punggawa dan
prajurit sendiri terjadi melemahnya semangat. Itu artinya baginda gagal. Gagal
memajukan kesejahteraan kawula dan membina kekuatan pendukungnya. Surutnya
dukungan terhadap baginda ini akan berakhir dengan perubahan besar terhadap
kekuasaan kutaraja. Ini semua mempunyai hubungan dengan apa yang kamu lakukan
yaitu mengobarkan pembangkangan pajak._
_ Itu semua kulakukan karena kawula
alit memang tidak mampu membayarnya. Kedua, aku tidak tega melihat keadaan
mereka yang terus-menerus dianiaya sewenang-wenang. Karena itu aku membela
mereka. Aku tidak punya maksud lebih jauh dari itu apalagi sampai menguasai
kekuasaan kutaraja._
_Iya,
tetapi bendera perlawanan telah kau kibarkan, kini kekuatan kutaraja
menyambutnya dengan mengerahkan segenap kekuatannya untuk menangkapmu yang
dianggap biang-keladinya._
_ Aku tahu, paman._
_ Sebab kalau kau tidak tertangkap dan
pembangkangan pajak semakin luas, maka pundi-pundi kerajaan makin kosong._
_Lalu apa maksud perubahan besar seperti
paman katakan?_
_Iya tentu, melemahnya dukungan rakyat
dan punggawa tentu akan mengancam kedudukan baginda itu sendiri. Menjadi raja
ibarat menaiki seekor harimau, kalau tidak dapat mengendalikannya, harimau itu akan menerkamnya._
_Mengancam kedudukan baginda? Maksud
paman, apa baginda akan digulingkan?_
Pendekar tua itu diam sejenak sepertinya
sedang merangkai kata-kata. Sesaat kemudian:
_Mungkin. Di dalam suatu pergulatan
tentu ada yang tersisih dan ada yang mengambil-alih!_
_ Menurut paman, siapa yang
mengambil-alih?_
_Tentu ada dua kemungkinan, kalau bukan
dari rakyat, iya dari lingkungan dalam kerajaan itu sendiri atau mungkin juga
dari kerajaan lain yang melihat
melemahnya dukungan itu sebagai peluang._
_ Aku tidak menduga paman mempunyai
pemikiran sejauh itu ke depan._
_ Tidak Arok, pandangan itu baru suatu
kemungkinan, bukan suatu kepastian._
_Bagaimana kepastiannya, paman?_
_Kita akan lihat saja perkembangannya.
Kalau perlu kita kawal perubahan demi perubahan yang berlangsung._
_Apa mungkin kawula alit memiliki
kekuatan sebesar yang diperlukan untuk merubah kekuasaan kutaraja ?_
_ Awalnya mungkin orang berpandangan hal
itu tidak mungkin terjadi. Tetapi roda sejarah yang terus berputar ini akan
membuktikannya, suatu ketidak-pastian dapat berubah menjadi sebuah kepastian.
Begitu juga sebuah kepastian dapat berubah menjadi ketidak-pastian.
Pasang-surut, silih berganti dalam
kehidupan ini wajar terjadi, tidak ada hal yang mustahil._
Mendengar penuturan pendekar tua itu,
Ken Arok terdiam sambil mencerna makna di balik kata-kata bersayap yang penuh
arti itu. Dalam hatinya berkata: “apa mungkin orang sepertiku dapat ikut
serta menggerakkan roda sejarah ke arah perubahan kekuasaan di kutaraja?”. Setelah
sejenak terdiam, Ki Sampar angin berkata:
_ Apa yang kau pikirkan, anakku?_
Ken Arok menarik napas, wajahnya
diangkat menatap pamannya, teka-teki di benaknya dikatakan kepada pamannya:
_ Apa mungkin orang seperti aku ini
dapat menggerakkan roda sejarah seperti paman katakan itu?_
_ Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang
dapat menjawabnya. Tetapi paman hanya bertanya, bukankan selama ini kamu
sudah menjadi bagian dari sejarah
kekuasaan kutaraja?_
_ Pelaku sejarah? Seorang buronan separti aku ini, paman?_
_Iya.........mengapa tidak! Tidakkah kau
sadar bahwa keberadaanmu sebagai buronan kerajaan sedikit banyak mempengaruhi
kekuasaan kutaraja. Kamu di satu sisi telah mempengaruhi kebijakan kutaraja,
terbukti kamu dianggap biang keladi pembangkangan dan kerusuhan. Sedang di mata
rakyat kamu adalah pahlawan pembela mereka. Semakin luas pembangkangan berarti
semakin kuat dukungan rakyat kepadamu.
Apa yang kau lakukan selama ini bukan peran sejarah? Ketahuilah anakku!
Peranmu selama ini telah mengantarkanmu di pangung kekuasaan kutaraja.
Bagaimana kau bermain di panggung itu,
terserah kepiawaianmu sendiri. Nanti pada akhirnya sejarah akan
menentukan, apakah arah angin perjalanan sejarah itu berpihak padamu atau
tidak?_
Ken Arok tampak menarik napas
dalam-dalam, mendengar penuturan panjang-lebar itu. Dalam hatinya memuji
wawasan dan kecerdikan orang tua itu. Mungkin diperolehnya dari pengalamannya
selama bertahun-tahun malang-melintang di dunia persilatan termasuk hubungan
kedekatannya dengan punggawa-punggawa tinggi kerajaan. Semua itu menjadikan
paman Sampar angin sebagai tokoh utama dunia persilatan tetapi juga kaya
pengalaman, matang dan mumpuni di
bidang ketataprajaan.
_Apakah tekad dan keberanian cukup
dijadikan bekal dalam memerankan lakon sejarah saat ini, paman?_
_ Tentu saja tidak, anakku. Masih
dibutuhkan pengetahuan, kecerdikan, kadigdayaan dan yang paling penting adalah
dukungan luas dari semua pihak termasuk rakyat._
_Dukungan rakyat, paman! Bukankan selama
ini mereka telah mendukungku!_
_Benar, untuk saat ini. Tetapi maksud
paman, pada waktu mendatang, apakah kamu mampu menyatukan dukungan itu secara
serempak? Kejelian dan ketepatanmu
memanfaatkan dukungan itu adalah kunci keberhasilannya._
_Baik paman, nasehat paman benar-benar
membuka pikiran dan kesadaranku._
_ Arok! Paman ingin menghadiahkan dua
elmu kadigdayaan. Elmu itu bisa kau gunakan sebagai perisai diri menghadapi
lawan yang jumlahnya banyak seperti di
padang Karautan seperti belum lama ini._ (kata ki Sampar angin dengan tenang
tetapi cukup membuat Ken Arok terkejut).
_Terima kasih paman, begitu besar perhatian paman kepadaku. Tetapi
.........apakah aku mampu menjalani syarat tapa brata lelakunya seperti
yang sering paman lakukan ? _ (kata Ken
Arok merendah).
Mendengar perkataan anak muda itu, Ki Sampar angin
tersentuh oleh kerendahan hati anak muda itu, tidak lama kemudian tersenyum
dalam hatinya memuji:
“biasanya
anak muda seumur dia sangat bernafsu menginginkan elmu kanuragan tingkat tinggi
tanpa melihat kemampuan dan kematangan jiwanya. Berbeda dengan anak muda di
hadapanku ini, ia berbicara apa adanya, merendah malahan mempertanyakan
kemampuan dirinya untuk kuat-tidaknya menerima elmu yang akan aku berikan”.
Ki
Sampar angin menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum lalu berkata:
_
Arok......Arok, ternyata selain kau pemberani juga memiliki sifat rendah hati
dan berterus terang. Dua sifat yang kau
miliki itulah yang sebenarnya menjadi syarat utama untuk mempejarinya._
_
Belajar elmu tidak hanya cukup dengan jalan bertapa brata tetapi yang
lebih penting dari itu adalah bagaimana menguasai sifat dan lelaku dari orang
yang menuntut atau memiliki elmu itu? Betapa tingginya elmu seseorang kalau
pemiliknya tidak memiliki sifat terpuji, maka elmu itu akan menjadi bencana
bagi orang banyak dan akan menjadi bumerang dirinya sendiri, elmu itu akan sirna bersamaan dengan
pemiliknya. Ada pepatah yang mengatakan:
“Suro
diro jayaningrat, suh brastha tekaping ulah darmastuti”, artinya bagi siapa saja yang bertindak
angkara murka walau sakti mandraguna sekalipun, ia pasti akan dapat dihancurkan
oleh kekuatan kebenaran yang menjadi hukum kehidupan di alam semesta ini. Sebaliknya walau elmu itu biasa-biasa saja
tetapi kalau diamalkan secara tepat dan dilambari rasa ikhlas, maka ibarat
menamam pohon, pohon itu akan berbuah
dan memberi manfaat bagi banyak orang._
(tutur Ki Sampar angin dengan arif).
_Iya, akan kuperhatikan, Paman!_
(kata Ken Arok dengan wajah tertunduk takzim).
_ Karena itu kau tidak perlu ragu.
Pertama, elmu bayu bajra seperti yang kau saksikan sendiri di hutan
Karautan. Kedua, elmu garuda muksa.
Elmu ini kalau digunakan, akan dapat terbang melayang-layang seperti
burung garuda tanpa dapat dilihat oleh lawan._ (kata
Ki Sampar menjelaskan kegunaan kedua elmunya).
Pendekar tua itu berhenti berbicara
beberapa saat lamanya, kemudian berkata:
_ Aku sudah tua, ibarat matahari sudah
tergelincir di ufuk barat, sebentar lagi tentu akan tenggelam. Kalau paman
meninggal sewaktu-waktu sudah tidak lagi membawa beban. Itulah
alasanku mewariskan kedua elmu itu kepadamu. Aku menginginkan elmu itu
jatuh di tangan orang yang tepat, agar dapat membawa manfaat bagi bebrayan
agung._ (tutur Ki Sampar angin
dengan nada haru, tanpa terasa ada setitik air bening berlinang dari sudut
matanya yang sudah tampak keriput itu).
_ Kenapa paman berkata begitu? Bukankan
hidup dan matinya seseorang tergantung
dari Yang Maha Agung. Apa namanya tidak mendahului takdir? _ (sahut Ken Arok)
_Sebagai titah lumrah, tidak ada
salahnya paman mempersiapkan diri,
ibaratnya orang akan pergi tidak ada salahnya menyiapkan bekal terlebih
dahulu, membersihkan diri, melepas beban-beban duniawi agar sewaktu kembali ke
pangkuan sang pencipta sudah ikhlas, keplas, bersih dan terang jalannya._ (jelas Ki Samparangin diiringi tatapan mata
penuh arti).
_ Iya ......., kini aku mengerti alasan paman._ (sahut Ken Arok
diiringi anggukan kepalanya, hatinya
merasa tersentuh oleh kata-kata bijak yang dilontarkan oleh pendekar yang masa
mudanya telah tersohor malang melintang di dunia persilatan dengan sebutan
pendekar Cakar Rajawali itu. Kini ia mengerti alasan pendekar tua itu
menurunkan kedua elmunya kepada dirinya).
_Apa
rencanamu sekarang?_ (tanya orang tua itu agak menganggetkan Ken Arok).
Ken
Arok sesaat diam sambil wajahnya
tertunduk seperti belum mendapat
jawaban atas rencana yang
ditanyakan Ki Sampar angin.
_
Entahlah, Paman! Sampai saat ini masih belum ada kepastian. Ibarat angin belum
tahu arah ke mana harus bertiup. Kalau aku menetap di salah satu padepokan
sesuai pesan bapa Bango Samparan, aku khawatir cepat atau lambat keberadaanku
akan tercium oleh prajurit-prajurit Kediri. Aku tidak mau ada korban tidak
berdosa yang jatuh akibat keberadaanku di
tempat itu._ (jawab Ken Arok dengan
ekspresi wajah sedih sementara ujung jari tangannya digerak-gerakkan di
permukaan meja.).
_Aku mengerti kegelisahanmu._ (Pendekar tua itu berhenti berbicara sejenak
sepertinya sedang memikirkan sesuatu).
Ken Arok pun masih diam termenung sepertinya sedang memikirkan nasibnya sebagai
seorang buronan. Hati kecilnya berkata: “jadi buronan, hidup liar tak
menentu, berkandang langit berselimut mega, tanpa masa depan yang jelas.
Berpindah dari tempat satu ke tempat lain”.
Beberapa saat lamanya, orang tua itu wajahnya tampak cerah sambil
tersenyum, berkata:
_Aku
sebenarnya dapat saja menitipkanmu ke padepokan Panawijen ataupun Lohgawe, tetapi bagaimana kamu belajar dengan
tenang, hatimu masih dihinggapi kekhawatiran.
Menurutku, masalahmu sekarang ini bukan kemana kamu harus melangkah
tetapi bagaimana kau dapat membebaskan dirimu dari kekhawatiran yang menghantui
langkahmu itu!_ (kata Ki Sampar angin dengan bijak).
_Benar........yang paman katakan. Hal itu
yang membuatku belum memiliki kemantapan. Ibarat bangau terbang belum tahu ke
mana harus menapak. Menurut paman,
bagaimana aku mendapatkan kemantapan hati untuk melangkah?_ (tanya Ken Arok mencurahkan kekalutannya).
_Kekhawatiran dan kegalauan itu
disebabkan kamu terbawa hanyut oleh angan-anganmu sendiri. Kamu tampaknya
perlu mengerti makna dari apa yang telah
kau lakukan selama ini. Buanglah jauh-jauh
perasaan bahwa dirimu tidak berharga menjadi seorang buronan. Semasa muda aku juga pernah mengalami menjadi
buronan, ketika itu aku diburu oleh prajurit-prajurit Kediri dan pendekar
bayaran karena aku menolak bekerjasama dengan pihak kerajaan. Ketahuilah! Menjadi buronan atau raja adalah
permainan nasib. Dapat saja hari ini seorang menjadi buronan besok menjadi
raja. Sebaliknya seseorang masih menjadi raja binatara menghiasi singgasana
keprabon hari ini, tetapi besok berganti
menjadi buronan. Bukankah kau pernah mendengar riwayat baginda maharaja Airlangga
ketika sebelum menjadi raja pernah dikejar-kejar sebagai buronan selama tiga
tahun oleh prajurit Wura-wari?_ (kata
pendekar tua itu sambil mengungkap cuplikan riwayat penderitaan mendiang
baginda prabu Airlangga).
_ Iya.....aku pernah mendengar cerita itu.
Tetapi apa maksud, Paman ? _ (tanya Ken Arok menegaskan ).
_Buanglah jauh-jauh beban pikiran yang
menghambat langkahmu selama ini, sebaliknya bangkitkan rasa bangga karena kau
telah berani berbuat sesuatu yaitu membela orang-orang yang lemah dan
teraniaya. Apa kau selama ini tidak menyadari betapa orang-orang yang kau
tolong itu sangat bangga dan berterima kasih padamu ? Itu artinya orang lain menghargaimu, walau
kamu tidak mengetahuinya. Keberadaanmu sebagai buronan jangan kau jadikan
alasan tidak bisa berbuat sesuatu apalagi menjadikanmu putus asa, tetapi terimalah dengan hati lapang. Ibarat orang menanam kebaikan, akan menuai
buahnya, siapa tahu apa yang kau alami
saat ini adalah bagian dari serpihan perjalanan hidupmu yang akan
mengantarkan ke arah
cita-citamu._ (ungkap pendekar
tua itu dengan kata-kata arif).
Mendengar penuturan gurunya, Ken Arok
terdiam sesaat tetapi dari wajahnya perlahan mulai tampak cerah, kemudian
berkata:
_Iya.......paman. Kini aku sadar dan tidak ragu lagi untuk melangkah. Kini
terbukalah tabir yang menyelumuti diriku.
Terima kasih yang tidak terhingga, paman telah menyadarkanku dari
kekhilafan selama ini. Kalau sebelumnya aku hanya dapat termenung seperti
gunung, kini aku akan bergerak seperti
ombak, berlari seperti badai, bangkit melejit laksana tatit. Sekarang
ini, ibarat berlayar aku sudah tahu ke mana harus berlabuh, paman._
(jawab Ken Arok dengan wajah berbinar-binar setelah memperoleh kemantapan hati
untuk melangkah).
_
Bagus!, Kau masih muda, raihlah cita-citamu setinggi langit !. Besok pagi mengajakmu ke bukit di sebelah
barat itu._ (kata Ki Sampar angin sambil tangannya menunjuk ke arah bukit yang
dituju).
_
Iya......paman._
_
Aku akan mengajarkanmu dua elmu yang kujanjikan. Sekarang beristirahatlah!
Besok tenagamu sangat diperlukan untuk berlatih._ (kata Ki Sampar angin sambil
bangkit dari duduknya kemudian bergegas menunju bilik peristirahatannya).
v
Hari berganti pekan.
Pekan berganti purnama, tanpa terasa hampir dua purnama Ken Arok menekuni
latihan untuk mengusai elmu kanuragan yang diberikan oleh Ki Sampar angin.
Perguruan ki Sampar angin di Kedung biru dirasakan sudah menjadi sasananya.
Pada suatu malam, Ki Samparangin berkata:
_
Arok!, Paman perhatikan kau telah berhasil menguasai kedua elmu yang kuberikan
dengan sempurna (kata pendekar tua itu)
_Itu semua berkat bimbingan paman._ (kata Ken Arok singkat).
_Tantanganmu ke depan tidak semakin
ringan, semoga kedua elmu yang kuberikan dapat berguna untuk jadi perisai
dirimu._
_ Terima kasih, paman. Tetapi ada satu
hal yang akan kutanyakan._
_ Katakanlah!_
_Beberapa waktu lalu, paman pernah mengatakan
bahwa yang terjadi di kutaraja bukan hanya mengendornya semangat di kalangan
punggawa dan prajurit, tetapi juga terjadi perubahan lain. _ (kata Ken Arok
memotong).
Mendengar
pertanyaan Ken Arok, seketika orang tua
itu wajahnya berubah agak menegang. Garis-garis keriput ketuaan di wajahnya
semakin jelas terlihat. Pendekar tua itu diam sejenak, kemudian berkata setelah
menarik napas panjang:
_Ketahuilah!
Di kutaraja juga sedang terjadi perselisihan antara raja dan para brahmana.
_ (kata Ki Samparangin terhenti
sepertinya mereka-reka ulang kejadian yang dialaminya beberapa purnama lalu
ketika menyaksikan peristiwa itu di kutaraja Kediri).
Ken
Arok dalam hati berkata: “lebih baik aku diam, menunggu paman berbicara, mungkin sedang
mengingat sesuatu kejadian yang kurang mengenakkan hatinya sewaktu berada di
kutaraja”
Suasana
diam itu berlangsung cukup lama, hawa dingin disertai angin malam mulai terasa
merayap menusuk tulang, sementara suara-suara binatang malam kutu-kutu walang
ataba bersahut-sahutan terdengar semakin jelas. Sinar rembulan terlihat
redup diselimuti mendhung yang menggelayut seredup suasana malam-malam yang
dilewatinya di kutaraja beberapa purnama lalu.
_Ketahuilah
Arok! Raja Dhandhang Gendis saat ini mulai melancarkan tuduhan-tuduhannya
terhadap kaum brahmana. Mereka dituduh hanya enak-enakan tidur nyenyak terlena
di atas karung hasil bumi yang
diterimanya dari kerajaan._
_
Apa sebab baginda menghina kaum brahmana seperti itu?_
_Kaum brahmana dinilai gagal dalam
menjalankan tugas sesuai dharmanya mendidik kawula yang saat ini banyak
yang berani melakukan pembangkangan dalam membayar pajak._
_Bagaimana sikap kaum brahmana
menghadapi tuduhan itu?_
Ki Samparangin diam sejenak, kemudian berkata:
_Tentu saja mereka sangat
prihatin. Tetapi mereka sepertinya tidak dapat berbuat apapun untuk mencegah
baginda yang terus-menerus memojokkannya._
_ Memojokkan bagaimana?_
_Iya........memojokkan kaum brahmana
dan resi untuk menyembahnya!_
_Menyembah! Gila!
Benar-benar sudah gila!_
_ Baginda mengaku sebagai titisan
batara._
_ Hem........benar-benar aneh, Paman.
Apa tujuan baginda seperti itu?_
_Aku sendiri tidak tahu pasti.
Tetapi.........paman dengar dari salah seorang brahmana di kutaraja bahwa saat
ini sang prabu sedang menghadapi krisis kepercayaan, wibawanya semakin melorot
tajam di mata kawula dan kaum brahmana. Oleh karenanya baginda berusaha
mengembalikan kewibawaannya dengan cara mengaku dan meneguhkan dirinya sebagai
titisan bathara._
Mendengar kata-kata gurunya, Ken Arok
tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
_ Ada apa kau tersenyum?_
_ Bagaimana tidak tersenyum, paman!
Seorang raja yang ingin memperoleh kembali dukungan dari rakyatnya dengan menggunakan cara mengaku sebagai
titisan batara. Itu tindakan seorang raja yang telah gagal. Bagaimana alasan
yang tidak masuk akal dan digaib-gaibkan itu dapat diterima!_
_ Gagal bagaimana maksudmu?_
_Iya...gagal dalam memahami kebutuhan
dan keinginan rakyatnya akhirnya gagal di tengah perjalanan. Mengibaratkan
dirinya sebagai titisan batara, ratu adil
dengan maksud kawula dan kaum brahmana kembali taat pada dirinya, itu
tindakan bodoh. Aku yakin rencana itu tidak akan membawa hasil malahan akan
menuai badai reaksi perlawanan dan pembangkangan secara luas._
_Kukira pendapatmu masuk di akal! Jadi
apa kesimpulanmu?_
_Baginda sebenarnya telah gagal membawa
Kediri ke arah kemakmuran! Di mata rakyat kini pihak kerajaan sudah dinilai
sebagai penjarah. Cara-cara menyamakan dirinya sebagai titisan dewa itu adalah
cara yang tidak dapat merubah pandangan kawula yang terlanjur tidak
percaya. Kawula alit hanya butuh
hidupnya kecukupan, tenteram jauh dari kerusuhan. _ (kata Ken Arok)
_ Mungkin ada sesuatu yang membuat
baginda tidak peka terhadap kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kawulanya._
(sahut Ki Samparangin).
_
Kukira begitu, tetapi sesuatu itu, Paman!_
_ Aku tidak tahu. Tetapi belum lama ini
aku menerima laporan dari telik sandi yang kukirim ke kutaraja, dikatakan
baginda berencana menarik pasukan yang ditugaskannya menumpas kejahatan tatayi
yang selama ini kau lakukan._
_ Menarik pasukan?_
_Iya...........menarik pasukan!_
_ Mengapa ditarik ke kutaraja?_
_ Karena mereka dinilai gagal
menangkapmu._
_ Lalu apa tindakan selanjutnya?_
_ Kudengar baginda memerintahkan kaum
brahmana dan resi untuk meredakan keresahan kawula, menghapus kejahatan tatayi
yang kau lakukan._
_ Gila! Brahmana dan resi ditugasi
memadamkan kerusuhan, bukankah itu hal itu tugas prajurit, paman?_
_Iya. Tetapi paman menangkap ada
rencana di balik penugasan yang tidak wajar
itu._
_ Mungkin juga, tetapi rencana apa,
paman?_
_ Kudengar baginda sengaja menyudutkan
kaum brahmana dan resi. Karena itu
diberi tugas yang tidak mungkin dilakukan oleh mereka._
_Gila! Masak brahmana diperintah
memandamkan kerusuhan. Itu kan tugas prajurit, bukan tugas brahmana!_
_Menurut kabar yang kudengar, baginda
kesal terhadap tugas para perwira-perwiranya
yang tidak kunjung berhasil membawa kepalamu. Kemudian tugas itu diserahkan kepada
brahmana. Saat ini Mpu Pamor dan Mpu Sidhara mewakili kaum brahmana dipaksa
baginda untuk menghentikan langkahmu. Apabila dalam waktu tiga purnama tidak
berhasil, maka seluruh brahmana dan resi
di kutaraja akan dibunuh termasuk mereka yang telah dipenjarakan!._
_
Dibunuh !_ (pekik Ken Arok diiringi wajah merah padam sambil tubuhnya tampak
terguncang).
_
Iya.....saat ini hidup kaum brahmana di bawah bayang-bayang ancaman maut yaitu
hukuman mati !._
_
Hukuman mati !_ (sahut Ken Arok dengan nada geram).
_Iya.
Baginda telah memporak-porandakan
tatanan sokoguru kehidupan semesta._
_ Sewaktu aku bertemu brahmana Mpu Lohgawe, hal itu juga sempat
kutanyakan ? Mpu Lohgawe juga tidak dapat menerima tindakan raja yang merusak
tatanan itu. Tidak itu saja seluruh brahmana dan pandita baik dari ring
Kasyaiwan, Kasogatan tetapi kaum berhaji
pun menolak mentah-mentah perintah itu. Mpu Lohgawe sempat mengatakan
setengah berbisik kepadaku bahwa tingkah laku baginda itu merupakan tanda._
_
Tanda apa, paman ?_
_
Tanda akan ada perubahan kekuasaan kutaraja!_
_
Maksud paman ?_
_Akan
adanya perubahan tahta di Kediri. Menurut kakang Lohgawe sudah saatnya berakhir, ibarat matahari sudah
tergelincir di ufuk barat dan tertutup kabut tebal, tinggal tunggu saat
tenggelamnya. Walau tidak dikatakan secara jelas kejadian apa yang menyebabkan
runtuhnya tahta kencana itu._ (jelas Ki
Samparangin sambil menggerak-gerakkan tangannya).
Ken
Arok diam sambil menunggu, apa yang akan dikatakan pamannya berikutnya, tampak
sesekali menarik napas panjang, seperti sedang merenungkan sesuatu.
_
Arok !. Ketahuilah, kejadian di kutaraja itu erat hubungannya dengan keberadaanmu._ (kata Ki Samparangin
dengan tatapan mata yang penuh arti ke arah wajah anak muda yang duduk bersila
di hadapannya itu).
_
Bukankah kemarin hal itu telah paman jelaskan?_ (tanya Ken Arok mengingatkan).
_
Bukan itu yang kumaksud._
Ken Arok semakin tidak mengerti apa yang
dikatakan pendekar tua itu. Tanpa sadar ia menoleh ke kanan dan kekiri perlahan
sambil matanya menatap wajah orang tua di hadapannya itu. Kemudian bertanya:
_ Apa maksud paman? Bukankah tidak
bermaksud mirong kampuh jingga melengserkan baginda. _ (ungkap Ken Arok
dengan nada agak kesal).
Ki Samparangin tersenyum mendengar
jawaban yang menunjukkan ketidak
mengertian Ken Arok, dalam hatinya berkata: “anak muda ini walaupun punya
keberanian dan kecerdikan luas biasa tetapi sebenarnya pikirannya masih polos”.
Perlahan orang tua itu mengangkat wajahnya sambil berkata:
_ Aku tahu, yang kamu lakukan hanya sekedar
membela kawula alit, bukan bermaksud memberontak menggulingkan baginda.
Tetapi.................. ._
_ Tetapi apa, paman?_
_ Maksud paman, perselisihan baginda dengan
kaum brahmana dan resi itu adalah peluang bagimu untuk memanfaatkan._
Ken Arok berpikir sejenak mendengar
kata-kata pamannya yang dirasa agak mengejutkan itu. Dalam benaknya masih belum
mengerti apa yang dimaksudkan pamannya.
_ Aku masih belum paham maksud, paman._
_Dalam situasi ini kamu memancing di air
keruh, tepatnya kamu dapat membangun dukungan dari kaum brahmana dan resi yang
jelas-jelas dipojokkan kedudukannya oleh baginda._
_ Iya....paman, aku baru mengerti
sekarang._ (jawab Ken Arok singkat terlihat mengangguk-angguk kecil membenarkan
alasan pamannya).
_Tetapi.......ada sedikit
kekhawatiranku._ (cetus Ki Sampar angin diiringi perubahan wajahnya menjadi
muram).
_ Kekhawatiran apa, paman?_
(sahut Ken Arok tidak sabar).
_Paman menduga, setelah baginda
menerima laporan dari tumenggung Mahisa
Walungan tentang pengejaranmu, maka dengan kembalinya pasukan ke kutaraja
selanjutnya raja akan memerintahkan akuwu Tumapel Tunggul Ametung sebagai orang yang berkuasa di pakuwon
Tumapel untuk melanjutkan pengejaran dan penangkapan terhadap dirimu, karena
tumenggung Mahisa Walungan dan
prajuritnya lebih diperlukan di
kutaraja daripada meronda di tlatah Tumapel. Kemungkinan kedua, raja
memerintahkan Akuwu Tumapel untuk meneruskan perintahnya memaksa para brahmana
di tlatah timur ini untuk menyembah raja di Kediri apabila terbukti tidak mampu
menghentikan langkahmu. Hal ini yang
membuat risau paman, Arok._ (kata Ki Samparangin).
_ Kalau Akuwu Tumapel akan melanjutkan
pengejarannya kepadaku, itu terserah
mereka. Aku tidak takut. Tetapi aku
tidak bermaksud membuat persoalan baru
dengan punggawa Tumapel, apalagi sampai bermusuhan dengan brahmana.
Tetapi menurut perkiraanku, kalau prajurit Kediri saja tidak dapat menangkapku,
apalagi prajurit pakuwon Tumapel. Jadi rasanya tidak mungkin baginda
memerintahkan akuwu untuk menangkapku !_
_Jadi apa yang paling mungkin
terjadi?_ (kata Ki Samparangin).
_Aku sendiri tidak tahu, paman! Mungkin para
brahmana dari kutaraja yang diperintah baginda itu mempunyai cara tersendiri
untuk menyelesaikan perkaraku._
_Hem.....kasihan kaum brahmana,
kedudukannya ibarat di ujung tanduk! Tidak berangkat akan menerima hukuman dari
baginda, tetapi kalau melawat ke Tumapel menyelesaikan urusan dengan kamu, hal
itu sebenarnya bukan tugasnya._
_Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu! _ (kata Ken Arok menimpal
kata-kata gurunya).
_ Apa yang akan kau perbuat untuk
mereka?_
_ Yang utama adalah menjaga
keselamatannya. Selain itu aku berusaha tidak membuat masalah dengan mereka,
niscaya mereka juga tidak akan membuat masalah terhadapku._
_Mengapa begitu? Apa alasanmu?_
_Mereka
dalam tekanan. Kaum brahmana menjalankan tugas dammanya di bawah bayang-bayang
ancaman hukuman. Jadi bagiku yang penting adalah menjaga keselamatannya agar
terbebas dari hukuman baginda._
Ki
Sampar angin mengangguk-angguk sambil tersenyum, sepertinya ia lega mendengar
jawaban muridnya.
_Iya,
aku setuju. Para brahmana itu harus ditolong agar terbebas dari jeratan
hukuman. Secepatnya kita akan menemui para brahmana di Tumapel untuk
membicarakan kedatangan brahmana dari kutaraja. Jangan sampai mereka jatuh
terperangkap dalam tugas ini!_
_Kukira
itu jalan yang terbaik, paman._ (sahut Ken Arok)
_
Tetapi Arok! .......Paman masih saja bertanya-tanya tentang dirimu._
_
Ada apa denganku, paman?_
_
Mengapa kau tidak memikirkan dirimu sendiri, malahan memikirkan kaum brahmana?_
Mendengar
pertanyaan gurunya, Ken Arok hanya tersenyum, sesaat kemudian berkata sambil
menatap gurunya:
_
Paman, sepintas kedudukan kaum brahmana dan aku tampaknya seperti saling
berhadap-hadapan bahkan bermusuhan tetapi sebenarnya tidak._
_
Tidak bagaimana?_
_
Antara aku dan kaum brahmana memiliki kesamaan nasib, yaitu sama-sama jadi
orang yang disudutkan oleh kekuasan kutaraja. Kutaraja ingin melenyapkan aku
dan memojokkan kedudukan kaum brahmana. Oleh karenanya aku tidak khawatir para
brahmana akan mencelakaiku. Tugas damma yang dilakukan tentu bukan melenyapkan
aku seperti prajurit, melainkan mendidikku sesuai dengan dammanya._
_
Karena itulah kau membantunya?_
_
Mengapa tidak paman! Menolong mereka
ibarat menanam kebaikan, aku yakin suatu
saat buahnya dapat memberi arti yang sedikit-banyak dapat merubah hidupku
kelak._
_Bagus! Paman bangga dengan
tekadmu._ Dalam hatinya memuji :
“Anak muda ini selain cerdas dan tanggap juga memilki jiwa membela kaum
tertindas, ia lebih mementingkan keberadaan orang lain daripada diri sendiri”.
Ki
Sampar angin menghela napas panjang, tanpa terasa waktu telah
menunjukkan tabuh dua dinihari. Ki Sampar angin berkata:
_
Istirahatlah, Arok. Besok pagi-pagi kita akan ke padepokan Lohgawe. (kata Ki
Samparangin sambil beranjak dari tempat duduknya bergegas pergi menuju bilik
peristirahatannya). Ken Arok menjawab dengan anggukan kepala, sementara dari
dari kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan menandakan tidak lama lagi
sudah memasuki rantak fajar. Anak muda
itu merebahkan diri di pembaringan dalam biliknya.
v
Keesokan
harinya, ketika matahari masih sepenggalah tingginya tampak seekor kuda melesat ke arah timur melintasi
jalan kecil di bawah bayang-bayang rerindangan pohon di pinggiran hutan. Sinar
mentari menerobos di sela-sela daun menerpa tubuh pemuda yang berada di atas
punggung kuda itu. Di antara suara derap
kaki kudanya tiba-tiba anak muda itu mendengar sayup-sayup suara gaduh.
Seketika tali kekang ditarik sontak, seketika kuda itu berhenti mendadak. Perlahan ia memasang telinga dan berkata
dalam hati:
“Aku mendengar adanya suara gaduh.
Sepertinya suara pertempuran tidak jauh dari sini. Akan kucoba untuk
mendekatinya”. (kata anak muda itu
sambil melompat turun dari punggung kuda kemudian berlari mengendap-endap
mendekati suara keributan).
Ketika
suara gaduh itu semakin jelas terdengar, anak muda itu berkata dalam hati:
“lebih
baik aku menyelinap di semak-semak itu untuk melihat dari dekat siapa orang
yang sedang bertempur ”.
_Hah....sebuah pertempuran yang tidak
seimbang ! Beberapa orang cantrik dikeroyok oleh sepuluh orang yang
kelihatannya bermaksud tidak baik. Di dalam kereta kuda itu terlihat seorang
tua berpakaian brahmana dan seorang gadis._
(pekik anak muda itu tertahan
ketika menyaksikan sebuah pertempuran dari balik rerimbunan semak-semak yang
tidak jauh dari tempat itu).
Tiba-tiba anak muda itu dikejutkan
suara mengaduh.
_ Aaahh...........! Gedebuk-krosak !_ (salah seorang cantrik itu berteriak
kesakitan sambil terhuyung jatuh berguling-guling ke tanah menerabas
semak-semak. Tendangan keras lawan rupanya tepat mengenai ulu hatinya). Melihat salah seorang
temannya jatuh terkapar, cantrik lainnya mencoba untuk bertahan dari gempuran
orang-orang yang berwajah seram itu.
Dalam beberapa jurus pertarungan itu kembali terlihat tidak seimbang,
tiga orang cantrik itu satu persatu
mulai terdesak mundur. Melihat lawannya semakin lemah, para begal itu tampak
semakin bernafsu untuk meningkatkan serangannya. Pada suatu kesempatan, ketika salah seorang
cantrik tangannya dapat menangkis tendangan lawannya, tanpa disangka salah
seorang begal menyerangnya dari belakang dengan tendangan keras mengarah tepat
pada tulang rusuk samping yang terbuka
itu , akibatnya:
_Duuaak !._ (sebuah tendangan begal itu
bersarang telak di tulung rusuknya)
_ Huukk..............!_ (terlihat cantrik itu mulutnya meringis
menahan rasa nyeri yang hebat,
langkahnya sempoyongan sementara salah satu tangannya mendekap tulang
iganya terasa remuk). Cantrik itu masih mencoba bertahan walau tampak limbung,
tiba-tiba salah seorang begal melompat sambil menyarangkan tendangan keras
tepat mengenai dadanya.
_Hiiyaat
......... duug!_
Cantrik itu terpental ke belakang jatuh
berguling-guling dan ambruk pingsan setelah sebelumnya terbatuk-batuk disertai
semburan darah segar yang keluar dari mulutnya).
Satu
persatu cantrik itu dengan mudah dibuat tidak berdaya, kini para begal merasa leluasa bertindak.
Sambil berkacak pinggang seorang begal tertawa terbahak-bahak menjijikkan. Mata
liar begal itu mulai tertarik pada seorang gadis yang masih berada di atas
kereta. Dua orang berjalan menghampiri kereta itu. Tangan-tangan kasar itu kini semakin berani
bergerak untuk menjamah gadis yang
berkulit kuning langsat yang duduk bersanding di atas kereta dengan seorang
brahmana. Gadis itu meronta, salah satu tangannya mencoba berpegangan tangan
orang tuanya yang juga berusaha menahannya dari rebutan tangan begal itu.
Ternyata cengkeraman tangan-tangan kasar itu lebih kuat. Ketika tangan gadis itu berhasil lepas dari
tangan orang tuanya, begal itu membethotnya secara paksa turun dari kereta,
mulut salah seorang begal itu tertawa
lebar terlihat giginya yang kotor dan menjijikkan, sementara air liurnya menetes ibarat menemukan
santapan lezat ketika sangat lapar, kemudian salah seorang berkata kepada kawannya:
_
Hee....lihatlah ! Kita akan bersenang-senang dengan gadis ini !_(kata salah
seorang begal yang tangannya memegang erat tangan gadis itu). Sementara salah
seorang kawannya menyahut:
_
Iya tentu........kita sudah lama kita tidak bersenang-senang ! Hayo cah ayu,
aku sudah tidak tahan melihat kecantikanmu!_ (kata salah seorang begal melarak
tangan gadis itu disertai hasrat birahi yang memuncak. Sementara gadis itu
meronta-ronta tetapi tidak dipedulikan).
Tanpa
diduga brahmana yang berada di atas kereta itu melompat turun untuk merebut
anaknya yang berada di tangan para begal itu. Ketika orang tua itu berusaha
meraih tangan anaknya, tiba-tiba tanpa diduga sebuah tendangan cukup keras
bersarang tepat pada dadanya. Orang tua itu jatuh terjengkang sambil menahan
rasa sakit, tangannya memegangi dadanya yang terasa pecah. Berbarengan dengan
kejadian itu, ia menjerit sambil meronta
sekuat tenaga melepaskan diri dari
cengkeraman tangan begal dan ia berhasil
lepas, seketika ia berlari menubruk orang tuanya yang jatuh terlentang
itu.
_
Bapa !. _ (teriaknya diiringi linangan
air mata haru tidak tega melihat orang tuanya jatuh terkapar lemah tidak
berdaya). Salah seorang begal mendekati brahmana itu, tangan-tangan kasar itu
segera meraih kain lembayung pakaian brahmana kemudian menarik dengan sontak
sambil berkata kasar:
_
Hei ....orang tua ! Sekalipun kau
brahmana..........aku tidak segan menebas
lehermu! Biarkan anak gadismu yang molek itu bersenang-senang denganku!
Kau kubiarkan hidup! .....Hoo...hua.....haaaaa!_ (kata salah seorang begal dibarengi tangan
kirinya menarik baju brahmana itu sampai tubuhnya hampir terangkat, sementara
tangan kanannya mendekatkan pedang di leher orang tua itu, kemudian melepaskannya
dengan mendorong ke belakang sambil tertawa keras). Tubuh orang tua itu jatuh
terbanting di tanah. Anak gadisnya segera menubruknya kembali disertai tangisan
memilukan.
_
Sudahlah nduk, percayalah Yang Maha
Kuasa akan menolong kita,!._ (kata brahmana tua itu dengan nada suara lemah
sambil terbatuk-batuk).
_Tetapi
keadaan bapa seperti ini !._ (ratap gadis itu menyaksikan keadaan orang tuanya yang semakin lemah).
Sesaat kemudian, ketika gadis itu membimbing orang tuanya duduk, tangan-tangan
kasar itu kembali menghampirinya dan tiba-tiba
menarik lengan gadis itu. Gadis itu kembali meronta berusaha melepaskan diri,
tetapi cengkeraman tangan-tangan kasar itu tampaknya lebih kuat. Tanpa disadari
di balik semak-semak tidak jauh dari tempat itu, sepasang mata tajam terus
mengikuti semua gerak gerik para begal yang semakin brutal tanpa mempedulikan
jerit-tangis korbannya yang
meronta-ronta hebat.
“Kejadian
ini tidak dapat dibiarkan sampai jatuh korban, aku harus segera bertindak!”
(geram anak muda itu saat menyaksikan tindak kekerasan dan rudapaksa
yang berlangsung).
Ketika tangan-tangan kasar itu semakin
berani menggerayangi tubuh molek, tiba-tiba
terjadi peristiwa di luar dugaan,
mereka berteriak kesakitan.
Tangan mereka seakan-akan terasa tulangnya patah terhantam benda keras
yang dilontarkan dengan tenaga yang sangat dahsyat.
_ Aaah !.......Aduuuh ! (suara teriakan panjang para begal itu tampak
kakinya terhuyung sambil berjalan surut
mundur ke belakang tangan kirinya memengang tangan kanannya yang terluka. ).
Di tengah kesakitan itu, tiba-tiba
tanpa mereka duga, sesosok bayangan berkelebat cepat dengan gerakan sulit
diikuti oleh pandangan mata, melesat
bagai anak panah menghantam wajah seram para begal itu.
_ Aduh !.......Aduuuh ! (erang kesakitan para begal ketika jatuh
terguling ke tanah).
Sementara
beberapa kawanan begal lainnya hanya dapat menyaksikan kejadian yang
berlangsung secepat kilat itu dengan wajah terbengong-bengong, salah seorang
berkata:
_
Heh......siapa kau! _ (bentak salah seorang begal yang tinggi besar, mukanya
ditumbuhi rambut lebat yang tampak kaget terguncang tubuh ketika tiba-tiba
melihat kemunculan anak muda yang berdiri
di hadapannya itu).
_ Itu tidak penting ! Hentikan perbuatan
kalian !_ (bentak anak muda disertai
tatapan mata berkilat seperti mata rajawali mengincar mangsa).
_
Haa....haaa..........haaa! Itu bukan
urusanmu, bertahun-tahun hutan ini di bawah kekuasaanku, apa pedulimu ikut
campur!, pergilah sebelum kepalamu pisah dengan tubuhmu! _ (ancam orang
bertubuh tinggi besar dan menyeramkan itu sambil mengacungkan sebilah pedang ke
arah anak muda itu).
_ Aku tidak akan ikut campur, jika kau tidak
menganggu urusan orang lain._ (kata anak muda itu dengan sikap gagah berani
disertai tatapan mata dengan sorot tajam berkilat ).
_
Haah.....bedebah! Banyak bacot, aku mau
berbuat apapun, itu sesukaku! Kau tidak
perlu melarangku, kamu toh hanya seorang diri mau apa! (gertak orang berewokan
sepertinya pimpinan para begal itu
sambil berjalan mendekati anak muda itu dengan
ujung pedang diacungkan ke wajah anak muda).
_ Aku akan menghentikan perbuatanmu !
_(gertak anak muda itu dengan kata-kata mantap tampak tidak gentar sedikitpun)
_
Huuwaa......haa....haa ! Sombong sekali
kau hanya anak ingusan, beraninya sesumbar ! Kau hanya seorang diri
mau menghadapi kami yang berjumlah lebih dari sepuluh orang! Apa yang kau
andalkan !_ (salah seorang begal tertawa dan
menggertak balik, tangannya bergerak
cepat menghunus pedangnya yang
putih berkilat memancarkan pantulan sinar menyilaukan. Pedang itu dimainkan dengan gerakan berputar-putar
turun-naik secara akrobatik untuk menakut-nakuti nyali anak muda yang masih
tampak berdiri mematung).
Anak
muda itu hanya tersenyum mendengar gertakan para begal itu sekalipun di bawah ancaman
pedang tajam dan terhunus. Ia tampak berdiri tegar tidak tampak gentar sedikit
pun, pandangan matanya menatap tajam dan waspada sepertinya tidak menggubris
gertakan lawannya.
_ Aku sebenarnya tidak sudi berurusan
dengan brandal tengik macam kalian!
Tetapi kalau kau memaksa, apa boleh
buat, terpaksa akan kuladeni!_ (tantang
anak muda itu sambil berjalan perlahan
menghampiri satu persatu begal itu sambil sesekali tangannya menuding ke arah wajah begal yang seram itu). Pimpinan
begal itu dalam hatinya berkata: “luar biasa nyali anak muda ini! dia sama
sekali tidak terpengaruh ancaman, tidak mempan gertakan, sebaliknya kini malahan ganti menggertak!
Siapa sebenarnya anak muda ini, dari gerak-geriknya kelihatan memiliki elmu
kanuragan yang bisa diandalkan”.
_
Hayo ....kita jajal nyali anak muda ini!_ (teriak salah seorang begal mengajak
kawanannya mengeroyok pemuda di hadapannya itu). Seketika begal-begal itu
melangkah maju serempak menyerang dengan kibasan pedang yang dimainkan cepat
dan liar, pemuda itu masih tampak tidak
bergeming sedikitpun, tidak memperlihatkan tanda-tanda menghindar. Ketika ujung
pedang itu tinggal sejengkal dari lehernya, tiba-tiba tubuh anak muda itu dalam
sekejap bergerak cepat melenting ke udara, kemudian berputar-putar seperti
kitiran kemudian menghilang tidak tampak dari pandangan mereka. Begal yang
menyerangnya itupun kaget, pandangan matanya celingukan mencari di mana
keberadaan lawannya. Seketika mereka
melangkah mundur sambil pandangan matanya mengamati sekeliling tempat
pertempuran itu. Salah seorang begal itu berkata:
_Kurang ajar! Ke mana anak itu? Ia bergerak seperti
angin,menyambar seperti halilintar dan
menghilang seperti hantu!_ (kata seorang begal sambil matanya masih saja
celingukan mencari anak muda yang telah menyerangnya).
_
Huh...biar elmunya tinggi aku tidak takut menghadapinya , hayo kita cari lagi
di sekeliling tempat ini! Hayo!_ (ajak
salah seorang yang bertubuh gempal itu yang disahut seorang temannya sambil berjalan mondar-mandir). Salah
seorang berkata dalam hati:
“elmu anak muda itu tampaknya tidak
sembarangan, dalam sekejap mata dapat menghilang tanpa jejak! Pantas dia begitu tenang, apa mungkin anak
muda itu hantu atau sebangsa peri? Hihh..mengerikan ! (kata seorang begal yang bertubuh kurus dan
berbadan tinggi itu sambil bergidik bulu romanya).
_Keparat!
Kita kehilangan jejak!._ (umpat salah seorang begal dengan nada kesal
setelah tidak menemukan ).
_ Kalau tidak kita temukan, lebih baik kita
bawa gadis itu !._
(sahut
salah seorang begal lainnya sambil tangannya menunjuk ke arah gadis yang
mendekap orang tuanya di samping kereta).
_Benar! Buat apa kita ngurusi anak setan itu !_
(sahut salah seorang begal yang bergegas menghampiri gadis itu sementara dari
mulutnya tampak air liurnya menetes menjijikan ketika menyaksikan betis kuning
mulus di balik kainnya panjangnya yang tersingkap).
_Hayo,
kita bawa gadis itu !. Tidak usah meladeni hantu!_ (teriak salah seorang yang
bertubuh jangkung tangannya menunjuk ke arah anak gadis itu).
_ Hayo, manis! Jangan menolak! Kau akan kuajak bersenang-senang menari-nari
di atas kenikmatan swargaloka._ (teriak salah seorang begal yang telah
membethot lengan gadis yang sedang meronta-ronta itu, sementara tangannya yang
satu memegang erat tangan orang tuanya agar tidak terlepas).
Ketika pegangan itu terlepas dari orang
tuanya, gadis ayu semampai itu kembali meronta sampai ikat rambutnya terlepas.
Ketika rambutnya yang panjang dan lebat itu terurai, tangan kanannya memukul berulang
kali wajah begal yang membopongnya secara paksa. Tetapi pukulan gadis itu tidak digubrisnya
sama sekali, malah begal itu tertawa:
_ Hwaa....haa......haaaa !. Kau tampak lebih
cantik dan menggairahkan kalau sedang meronta dengan rambut panjang terurai seperti ini cah ayu! Bibirmu yang selalu basah membuatku semakin
bergelora! (kata begal itu diiringi
tawa menjijikkan sementara sorot matanya menyiratkan hasrat yang tidak tertahankan).
_
Lepaskan..............aku ..... manusia rendah!_ (ronta gadis itu sementara
tangan-tangan kuat itu menarik tangannya yang ramping).
_ Aduuuhhhhh..................!_ (teriak panjang dua orang begal yang meruda paksa
gadis itu hampir berbarengan mengerang kesakitan, tubuhnya terpelanting tinggi
ke udara dan jatuh berguling-guling
beberapa kali di tanah). Sementara gadis yang dibopongnya
tiba-tiba sudah berpindah tangan di bopongan anak muda itu. Beberapa saat anak
muda itu menurunkan gadis itu, kembali pandangannya menatap para begal yang
masih mengerang kesakitan. Mereka berusaha bangkit berdiri tetapi rasa
kesakitan yang luar biasa itu tidak kunjung hilang, serasa tulang-tulangnya
remuk terhantam benda keras yang berat.
Sementara kawanan begal yang lain
hanya dapat terkesima dengan mulut ternganga
menyaksikan kejadian mengagetkan yang berlangsung secepat kilat
itu.
_Haa !
Hantu itu menyerang kita dengan cara licik! (kata salah seorang begal kepada yang lain
sambil pandangannya menatap anak muda yang menyerang kawannya).
_
Kurang ajar ! kita benar-benar
dipermainkan! Awas kau! Kalau tertangkap akan kucincang!_ (sesumbar salah
seorang begal sambil mengacungkan pedang
ke wajah anak muda itu).
_
Kau hanya dapat sesumbar! Tangkap aku
kalau bisa!_ (kata anak muda itu sambil melesat secepat kilat hilangnya dari hadapan para begal).
_
Hei setan keparat ! .......Hayo perlihatkan batang hidungmu! Keluar, jangan
sembunyi seperti pengecut !_
Beberapa
saat lamanya tidak ada jawaban..............suasana tempat pertempuran itu kini berubah
diliputi ketegangan. Kedua begal
yang terkapar di tanah itu kini telah
berdiri dengan tertatih-tatih seakan-akan otot bayunya terasa dilolosi,
wajahnya tampak memar hitam legam bekas
pukulan, kemudian mencoba berjalan dengan langkah kaki sempoyongan sementara
pandangan matanya berkunang-kunang seakan bumi yang dipijaknya akan terbalik,
tangannya memegang dadanya, dari mulutnya tampak mengeluarkan darah segar ketika
terbatuk-batuk. Suasana senyap itu tiba-tiba
berubah ketika dikagetkan datangnya hembusan angin badai yang sangat
dahsyat yang berputar mengelilingi para
begal, makin lama makin cepat. Para begal itu seperti tidak berdaya ketika
tubuhnya tersedot pusaran angin kencang itu. Tampak tubuh mereka berputar cepat
berterbangan seperti daun-daun kering, sesaat kemudian angin puyuh itu
melontarkan tubuh para begal itu
tinggi-tinggi ke udara dan akhirnya jatuh keras ke tanah setelah
menghantam pohon besar di sekitar tempat itu.
_Huaduuh........!
(erang beberapa orang begal itu ketika tubuhnya membentur keras pohon Kosambi
besar. Sebagian lagi terlempar menerabas semak-semak belukar sampai menimbulkan
suara gemrosak ).
_
Aduuhhh !._ (teriak sebagian yang lain
hampir berbarengan). Beberapa orang mencoba untuk berdiri tetapi serasa otot
bayunya dilolosi, kekuatannya seperti tersedot habis oleh pusaran angin,
tubuhnya penuh dengan luka-luka goresan ranting-ranting kering, sementara
napasnya seperti tersumbat dan
sesak di dadanya seakan mau meledak).
_ Bedebah!.....Kita dipermainkan
seperti kelinci oleh anak muda keparat
itu!_ (kata seorang begal sambil menahan sakit di dadanya dan dari mulutnya
tampak darah segar mengalir dari sudut bibirnya).
_Kali ini kita menghadapi musuh tidak
main-main. Tenaga dalamnya sempurna,
kecepatan geraknya seperti halilintar menyambar, pukulannya sekeras palu godam,
hempasan angin pengabarannya menjadikan tubuh kita seperti daun
kering! Bagaimana ini ? _ (kata salah
seorang kepada kawannya yang tampaknya mulai ragu-ragu mengetahui tingkat elmu
kanuragan lawannya jauh di atasnya)
_Huss........diam kau pengecut! Kita
pantang mundur menghadapi lawan setangguh apapun!_ (bentak pimpinan begal itu
dengan nada marah).
_ Bukan ...begitu! Kalau nekat sama
artinya dengan bunuh diri! Pulang hanya tinggal nama_(sahut kawan begal lainnya).
_ Iya .....kukira kita tidak perlu
mati konyol! Kita ini hanya orang suruhan! Buat apa kita menyabung nyawa! _
(sela seorang yang lain dengan nada ketus). Dalam situasi kegalauan itu
tiba-tiba kawanan begal itu dikejutkan oleh suara keras bergema seakan-akan
merayap memenuhi sudut penjuru hutan:
_ Kalian tadi sudah kuperingatkan tapi
rupanya tetap saja bandel! Jika tetap nekat dan tidak segera angkat kaki, kepala kalian sebentar akan menggelinding ke
tanah !._
Ancaman itu rupanya membuat beberapa orang kawanan begal
nyalinya semakin ciut, bulu kuduknya berdiri, wajahnya tampak pucat, kakinya
mulai gemetaran. Pimpinan begal itu melihat perubahan anak buahnya yang
ketakutan akhirnya menjadi ragu-ragu, sambil berjalan modar-mandir menghadapi situasi yang tidak menentu itu.
Akhirnya ia berkata kepada yang
lain:
_
Baik ...................kita bubar!
(teriaknya disertai wajahnya bersungut-sungut). Kawanan begal itu
akhirnya berhamburan pergi menyelusup di balik semak-semak belukar.
_ Lihatlah bapa! Orang-orang
jahat itu semua sudah kabur ! rupanya
mereka takut dengan ancaman pendekar tadi!_ Brahmana tua yang kini telah
berdiri di dekat kereta itu berkata:
_Iya.......nduk, do’a kita didengar
oleh Hyang Maha Agung. Bathara telah mengirim pendekar muda itu untuk menolong
kita._ (kata brahmana itu dengan nada tenang sambil terbatuk-batuk).
Ketiga
orang pengawal kereta yang tadi tergeletak lemah, kini mencoba bangun
tertatih-tatih sambil tangan kirinya memegang dadanya yang masih terasa sakit.
Sementara tangan kanannya berpegangan roda kereta, sambil mencoba berdiri. Ia
berjalan merambat perlahan walau langkah
kakinya masih tampak terseok terseok.
_ Bapa ...hayo kita tolong cantrik itu
!_ (ajak gadis itu sambil tangannya membimbing orang tuanya berjalan
menghampiri cantrik satu persatu ). Brahmana itu memeriksa luka-lukanya, sementara anak gadisnya ikut membantu.
Tiba-tiba pendekar muda yang mengusir para begal itu muncul menampakkan
diri, berjalan dengan tenang mendekati
ke tiga cantrik pengawal yang sedang cedera.
_Biarlah saya menanganinya, bapa !_ (kata anak muda itu sambil berjalan
menghampirinya kemudian berjongkok, tangannya dengan cekatan memeriksa
luka-luka memar di dada para cantrik pengawal sambil melakukan beberapa totokan
).
_ Untung lukanya tidak seberapa._ (kata anak
muda itu lirih, selanjutnya merapatkan
kedua telapak tangannya disatukan di depan dadanya, dalam sekejap
terpancar sinar warna putih keperak-perakan keluar dari sela-sela jarinya
perlahan telapak tangan itu disentuhkan ke dada para cantrik itu, terlihat
tubuhnya tampak menggeliat menahan rasa sakit beberapa saat akhirnya kembali
tenang. Satu persatu pengawal itu dialiri hawa murni yang sudah dilambari
tenaga dalam melalui telapak tangan pendekar muda itu. Terlihat anak muda itu mengeluarkan beberapa
butir ramuan yang diselipkan di balik bajunya diberikan kepada para cantrik
pengawal sambil berkata).
_
Minumlah ramuan ini, dalam beberapa hari lukamu akan segera pulih kembali._ (kata
anak muda itu sambil tangannya
menyerahkan butiran ramuan itu yang diambil dari balik bajunya). Tanpa
membuang waktu, ketiga pengawal itu menguntalnya. Tidak berselang lama badannya
terasa segar, tenaganya seperti pulih
kembali seperti sedia kala, rasa sakitnya kini sudah tidak terasa lagi. Mukanya sudah tampak memerah tidak lagi
pucat seperti sebelumnya.
_Terima kasih, tuan pendekar telah
menolong kami, akhirnya semua bisa selamat dari berandal itu._ (kata salah
seorang pengawal).
_Sudahlah, jangan dipikirkan._ (jawab anak
muda itu singkat).
_ Anak muda, kalau boleh tahu, siapa namamu ?_ (sapa
brahmana yang berjubah putih itu).
_Aku ini seorang pengembara, namaku Anggara,
berasal dari tlatah kulon._ (jawab Ken Arok menggunakan nama samarannya dengan santun).
_Aku berterima kasih padamu, kau telah menolong kami semua selamat dari
ancaman bahaya. Bagaimana jadinya kalau berandal itu tidak ada yang
menghentikan._ (kata brahmana itu sambil memandangi anak muda di hadapannya).
_ Sudahlah, bapa. Hal itu janganlah
dilebih-lebihkan. Sudah menjadi dharma bagi setiap orang menolong sesamanya
terutama yang sedang menghadapi kesulitan._ (kata Anggara dengan nada
merendah).
Kata-kata
yang meluncur dari anak muda itu dirasakan seperti embun pagi yang menyejukkan.
Dalam hati brahmana itu memuji:
“tutur
kata anak muda ini halus, sopan dan
menunjukkan kerendahan hati, walau elmu kesaktiannya pilih tanding tapi tidak
ada satu katapun dari mulutnya yang menunjukkan kesombongan. Dari elmu
pengabaran yang digunakan mengusir berandal itu sepertinya aku pernah
mengenalnya, tetapi ............siapa pemilik elmu itu ?”._
Sementara
itu diam-diam sepasang mata indah ibarat bawang sebungkal itu
sekali-kali mencuri pandang ke arah anak
muda yang sedang berbicara dengan orang tuanya itu. Dalam hatinya gadis itu
berkata: “Pemuda itu memiki jiwa ksatria, pemberani, suka menolong, sopan
dan rendah hati, siapa sebenarnya anak
muda yang menyebut dirinya Anggara ini ?”.
_ Kalau boleh tahu, bapa ini siapa ? _
(tanya Anggara dengan nada merendah).
_Orang-orang menyebutku Mpu Purwa dari
Panawijen._
_ Jadi bapa adalah brahmana Purwa dari
Panawijen?_ (sahut Anggara setengah kaget)
_Benar, kisanak. Akulah Mpu Purwa dari
padepokan Panawijen. Tetapi kenapa, kisanak seperti terkejut ?_
_Eee......tidak bapa. Aku hanya tidak
mengira bapa mengalami perlakuan kasar dari para begal tadi._ (kata Anggara
berbohong menutupi kata hatinya) Dalam hatinya berkata:
“Semula aku ingin berguru pada
brahmana Purwa yang kini berdiri di hadapanku ini. Tetapi keadaanku
sebagai buronan sepertinya tidak memungkinkan akan menetap belajar di padepokan
Panawijen”.
_ Kisanak! Perkenalkan ini anakku Ken
Dedes._ (kata brahmana itu mengakhiri lamunan Anggara).
_ Oh....iya, bapa._ (kata Anggara
setengah geragapan).
Pandangan mata gadis itu tanpa sengaja
bertemu pandang. Sekejap Anggara menatap mata indah itu. Seulas senyum tersungging dari bibirnya yang
merah dan tampak basah itu. Seketika
anak muda itu terkesiap darah mudanya, jantungnya berdebar, hatinya berdesir
seperti angin yang melahirkan sejuta rasa keindahan, gejolak mudanya bangkit menyebit-nyebit,
keringat dingin tanpa terasa mulai membasahi sekujur tubuhnya. Anak muda itu dalam hati berkata:
“Mengapa hatiku terguncang ketika bertemu
pandang? jantungku berdetak keras seakan hatiku terampas, darahku bergolak
seakan tak kuasa menolak ? Tidak kusangka putri bapa brahmana ini kecantikannya
luar biasa dan dari wajahnya memancarkan pesona dan prebawa gaib, tidak seperti gadis-gadis di kutaraja yang
kecantikannya hanya pulasan. Kecantikannya Dewi Supraba dari kahyangan
Surendrabawana pun tidak dapat mengimbangi kecantikan dan pesonanya”.
Ketika anak muda itu
masih dipenuhi sejuta lamunan,
tiba-tiba brahmana yang berdiri
di hadapannya itu berkata:
_Aku beserta para brahmana lain baru saja
kembali dari kutaraja Kediri._ (kata
brahmana Purwa).
_Oh...iya ......bapa._ (kata Ken Arok sambil kaget geragapan dari perhatiannya terhadap anak gadis
itu, sementara wajahnya terlihat agak
tersipu malu).
_ Maafkan bapa, aku dengar berita tambang
rawat-rawat kalau di kutaraja tengah terjadi perselisihan pendapat antara
baginda dengan para brahmana ?_
_ Jadi, kisanak sudah mengetahui hal itu ?._ (sahut brahmana Mpu Purwa setengah terkejut mendengar pertanyaan anak muda itu.
Dalam hatinya berkata: kalau anak
muda ini saja telah mengetahui peristiwa di kutaraja, itu artinya berita tentang kejadian itu telah
tersebar luas sampai di Tumapel).
_ Apakah kisanak juga dari kutaraja ?_
(tanya brahmana Mpu Purwa).
_ Tidak, bapa._ (kata Anggara sambil
menggelengkan kepala).
_ Lalu
darimana kisanak mengetahuinya ?_ (kata brahmana tua sambil pandangan matanya
menatap wajah anak muda itu).
_ Dari
Ki Samparangin, Bapa!_ (kata Anggara
singkat).
Terkejut brahmana Mpu Purwa mendengar
nama Ki Samparangin yang disebut-sebut
oleh anak muda itu. Ki Samparangin atau pendekar Cakar Rajawali adalah
sahabatnya sejak muda. Brahmana tua itu menghela napas panjang, kemudian
berkata:
_Jadi, nak Anggara kenal dengan
Ki Samparangin !._ (tanya brahmana sambil tangannya menepuk bahu anak muda
itu).
Anggara menganggukkan kepada, sambil berkata:
_ Iya ....., Bapa! Ki Samparangin adalah sahabat orang tuaku
Bango Samparan dan juga guruku._ (kata Anggara sambil matanya sesekali mencuri pandang terhadap
anak gadis brahmana itu. Hasratnya untuk
mencuri pandang gadis berkuning langsat itu sepertinya tak kuasa ditahannya. Merasa ditatap wajahnya gadis
itu tertunduk dan tersipu malu,
sementara jari jemarinya yang lentik tidak henti-hentinya sibuk memainkan kain ujung selendangnya. Gadis itu sedikit
gelisah kemudian berjalan menjauh dari orang tuanya ).
Brahmana Mpu Purwa mengangguk-angguk
kecil, kemudian berkata:
_ Gurumu adalah sahabatku sejak masih muda,
usiaku sedikit lebih tua dibanding gurumu, sehingga ia memanggilku “kakang”._
_Iya..bapa. Paman Samparangin pernah
menceritakan persahabatannya dengan bapa semenjak masih sama-sama muda. Kemarin
paman berkata kepadaku dalam waktu dekat ini akan menemui bapa brahmana._ (kata
Anggara dengan nada santun)
_ Pantas,
ketika kau mengusir para begal itu tadi aku merasa pernah mengenal elmu
kadigdayaan kau gunakan !_ (kata brahmana Mpu Purwa).
_ Iya.....bapa! Paman Samparangin menurunkan kedua elmu
kanuragan itu kepadaku._ (kata Anggara santun).
.Anggara beberapa kali mencuri pandang
tetapi gadis anak brahmana itu yang
berpura-pura tidak melihatnya.
_ Hem......hem.... (orang tua itu batuk-batuk kecil). Seketika Anggara tersadar dari lamunannya).
Sesaat setelah tenang, Anggara melanjutkan
berkata:
_ Menurutku para berandal yang menganggu perjalanan
bapa tadi adalah bukan berandal seperti biasanya, tetapi ada kaitannya dengan peristiwa di kutaraja ._ (kata Anggara datar).
Orang tua itu terdiam sepertinya
merenungkan perkataan anak muda itu, tetapi apa kira-kira alasannya (teka-teki
orang tua itu dalam hati).
_ Apa maksudmu? _ (tanya brahmana tua itu).
_Iya .....Bapa, kalau mereka perampok
sungguhan biasanya yang dijarah adalah para saudagar dan orang kaya. Sebejat
apapun kelakuan mereka umumnya masih segan dan menaruh hormat untuk tidak menganggu para brahmana, karena
hal itu merupakan pamali._
(tandas Ken Arok dengan nada mantap).
Brahmana
itu mengangguk-anggukan kepala membenarkan kata-kata yang dilontarkan anak muda
itu.
_Kelompok begal tadi tidak lain adalah orang
bayaran yang diupah untuk menganggu para brahmana yang saat ini sedang tidak
sejalan pendapatnya dengan baginda.
Untuk tidak kentara pihak kerajaan menggunakan orang-orang yang tidak
baik itu untuk membegal para brahmana._ (kata
Anggara).
Mpu Purwa
terdiam sesaat dalam hatinya
tidak mengira pihak kutaraja menggunakan cara-cara yang tidak terhormat seperti
yang baru saja dialaminya.
_Apa
Ki Samparangin sudah mengetahui hal itu?_ (tanya brahmana mpu Purwa). Anggara terdiam
beberapa saat, ketika akan menjawab tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang
yang gemanya memenuhi seluruh sudut penjuru hutan.
_Iya......kakang......aku sudah
mengetahuinya!_ (gema suara itu terdengar begitu nyaring terasa begitu
dekat, tidak beberapa lama Ki
Samparangin tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Mpu Purwa). Keduanya segera
berangkulan hangat seperti layaknya dua orang saudara yang telah lama tidak
berjumpa).
Brahmana Purwa itu berkata:
_Angin apa yang membawamu ke sini ?_ (kata
Mpu Purwa dengan wajah berbinar menatap sahabatnya itu dibarengi kedua
tangannya menggoncang-goncang bahu pendekar tua itu dengan hangatnya).
Ki Sampar angin sambil tersenyum menjawab
dengan seloroh:
_ Angin ribut ! Karena di sini dan di
kutaraja sama-sama terjadi keributan !_
Mpu Purwa tertawa berderai mendengar
sahabatnya yang piawai bercanda yang sudah menjadi kebiasaannya sejak masih muda.
_ Nduk Dedes, beri hormat pada pamanmu !_
Gadis ayu berkulit kuning langsat, tinggi
semampai itu memberi hormat sambil membungkukkan badan seraya menggerakkan
kedua telapak tangannya dirapatkan.
_Pamanmu ini adalah guru besar dunia
persilatan di tlatah Tumapel. Mendengar namanya saja, orang akan ciut nyalinya
dan lari tunggang langgang, seantero Tumapel ini tidak ada pendekar yang
memiliki elmu garuda muksa dan bayu bajra selain pamanmu
ini._ (kata Mpu Purwa kepada anaknya).
_Kakang ini bisa saja, memangnya kakang
tahu seluk beluk dunia persilatan?_ (seloroh ki Samparangin setengah meledek
sahabatnya).
_Dunia persilatan itu adalah duniamu sejak
muda, bukan duniaku._ (jawab Mpu Purwa
meneruskan candanya sambil ujung jarinya disodokkan di dada sahabatnya).
_Lantas selain brahmana, apa dunia
kakang? Bisa-bisanya tahu elmu kanuragan
segala. Kalau begitu, diam-diam kakang
juga seorang pendekar ?_ (canda Ki Sampar angin).
_ Pendekar........pendekar apa? Satu juruspun aku tidak tahu! _ (balas Mpu
Purwa dengan jenaka sambil membeber kedua telapak tangannya).
_Iya....setidak-tidaknya pendekar bersilat
lidah._ (kilah Ki Sampar angin meledek ). Kedua orang tua itu terlihat tertawa
berderai, lepas seakan melupakan segala peristiwa gawat yang akhir-akhir ini
dialaminya di kutaraja. Sewaktu kedua orang tua itu asyik berbicara, diam-diam
Anggara berjalan mendekati Ken Dedes yang berdiri beberapa puluh langkah dari
orang tuanya.
_ Lihat
kakang ! Bapa kalau sudah bertemu
dengan paman Sampar angin kebiasaannya
selalu bercanda seperti itu._ (kata Ken Dedes mengawali bicara).
_ Bapa Sampar angin pernah bercerita
padaku, bahwa bapa Mpu Purwa adalah sahabatnya sejak muda. Hanya saja bapa Mpu
Purwa sangat tekun belajar agama, sedangkan bapa Sampar angin juga sangat tekun
belajar ..........._ (kata Anggara tidak diteruskan).
Mendengar Anggara tidak melanjutkan
ceritanya, Ken Dedes menoleh dan
mendesak untuk meneruskan cerita itu.
_
Belajar apa, kakang?_
_Belajar berkelahi !_ (kata Anggara sambil membisikkan kata-kata itu di telinga Ken
Dedes). Seketika dua anak muda itu
tertawa berbarengan dengan suara agak ditahan agar tidak terdengar oleh kedua
orang tuanya. Tanpa sadar jari-jari
lentik itu mencubit lengan Anggara. Dengan gurauan dan tatapan mata yang kerap
beradu pandang itu tanpa disadari kedua insan anak muda terlihat semakin akrab
dan tidak canggung lagi.
_ Ah........kakang ini sama dengan paman
Samparangin, pinternya cuma bercanda melulu._ (canda Ken Dedes sambil tersenyum
disertai kerlingan mata yang terasa membelah dada).
Kerlingan
mata itu dirasakannya bagaikan pedang yang menghunjam ke dasar ulu hatinya.
Tetapi pedang itu terasa tidak menyakitkan melainkan menggugah citarasa
keindahan hidupnya yang selama ini terasa kering tandus. Kini dalam sekejap
seakan berubah menjadi serba indah
seindah bunga-bunga liar yang sedang mekar di semak-semak hutan
itu. Di tengah-tengah getaran pesona
citra putri brahmana itu, Anggara
berkata:
_
Apa menurut Dinda, mengusir berandal tadi juga bercanda?_ (ledek Anggara sambil
melirik gadis yang di telinganya tampak terselip sekuntum bunga locari putih
itu yang baru saja dipetiknya).
_
Kakang ini bisa saja, kalau bercanda saja para berandal sudah lari
tunggang-langgang, apa lagi kalau tidak bercanda ?_ (kata gadis itu membalas
ledekan dengan tangkas sambil melempar seulas senyuman dari bibir merah yang
menggetarkan).
Sambil berjalan beriring kedua mata anak muda
itu sesekali bertemu pandang, keduanya tersenyum untuk beberapa saat lamanya.
Anggara dalam hatinya berkata: “Kenapa jantungku berdebar tidak keruan
seperti ini “. Gadis itu sambil berjalan beriringan di tangannya ada
setangkai mawar merah yang dimainkan oleh jari-jari lentik yang sesekali
diciumnya. Kini tampak tidak lagi canggung lagi seperti sebelumnya. Dalam
hatinya gadis itu berkata: “kenapa
setelah bertemu kakang Anggara hatiku merasakan getaran halus merayap menguasai
seluruh tubuhku serasa dibuai oleh sejuta pesona keindahan”. Kedua anak
muda itu sambil terdiam beberapa saat sepertinya sedang hanyut terbawa
suasana dan perasaannya
sendiri-sendiri. Keindahan yang
dirasakan saat itu ibaratnya sejuta
untaian kata tidak mampu melukiskan suasana hati kedua insan manusia
yang saling terpesona itu.
Sementara Mpu Purwa dan Ki Samparangin
terlihat berbicara semakin serius:
_Aku dan muridku sebenarnya akan pergi ke
Lohgawe dan terus ke padepokan kakang di Panawijen._ (kata Ki Sampar angin).
_Aku sudah hapal, kemunculanmu pasti ada
hubungannya dengan peristiwa di kutaraja ?_ (kata Mpu Purwa menebak)
_Benar! Saat ini kutaraja menggunakan
berbagai cara tidak terhormat untuk
memojokkan kaum brahmana. Para
berandal tadi tidak lain adalah orang-orang bayaran yang disuruh mengacau atau
mungkin menculik para brahmana._ (kata Ki Samparangin).
_ Iya....tadi sempat kudengar dari salah
seorang begal secara tidak sadar terlontar kata-kata bahwa mereka hanya orang
suruhan yang dibayar._ (lanjut Mpu Purwa menuturkan kejadiannya).
_ Penyerangan berandal tadi baru sebuah
permulaan._ (kata Ki Sampar angin).
_ Apa maksudmu ?_
_ Aku menduga pihak kerajaan akan
meningkatkan tekanannya dengan cara lain._
_Iya.......tetapi moga-moga kejadian ini
tidak sampai berlarut-larut._ (kata
brahmana Purwa sambil mengangguk-anggukan kepala).
_Aku mengerti cara pandang kakang sebagai
seorang brahmana, tetapi perkara kekerasan seperti ini tidak semestinya
terjadi! (kata Ki Samparangin dengan nada tekanan suara)
_ Apa maksudmu ?_ (tanya brahmana Purwa).
_Kutaraja jelas-jelas akan meningkatkan
tekanannya kepada kaum brahmana! Tetapi kakang masih saja tidak mempedulikan!_
_ Darimana kau tahu ?_
_ Dari laporan telik sandi yang aku tanam
di sana! Kini baginda menyerahkan
masalah kemanan para pemungut pajak kepada kaum brahmana!_
_ Apa aku tidak salah dengar?_ (kata Mpu
Purwa setengah tidak percaya atas penuturan ki Samparangin)
_ Tidak kakang, tidak salah dengar! Kalau para brahmana tidak mampu menyirep
daharu yang ditimbulkan oleh Ken Arok atau Anggara muridku itu, mereka akan
dihukum gantung di alun-alun manguntur kutaraja dibuat pengewan-ewan !_
(kata Ki Samparangin dengan nada suara mantap sambil tangannya menunjuk pada
Anggara).
_Hem.....masalah ini semakin gawat!_ (kata
Mpu Purwa dengan nada termangu, di wajahnya menyiratkan suasana kesedihan).
_ Sebentar lagi wakil brahmana utusan dari
kutaraja akan datang ke Tumapel ini untuk melaksanakan tugas baginda!_
Mpu Purwa diam termangu seperti sedang
memikirkan masalah berat seperti terbayang di pelupuk matanya yang teduh.
Kemudian berkata:
_ Kalau sudah begitu, bagaimana
pendapatmu?_ (sahut Mpu Purwa)
_Sebaiknya,
kaum brahmana perlu menyusun rencana untuk menghadapi berbagai tekanan yang
semakin menyudutkan itu!._ (ungkap Ki Samparangin).
_
Iya...tetapi tidak dengan cara kekerasan!_
_Siapa
yang menyuruh kakang untuk menempuh cara kekerasan?_
_Bukan
begitu maksudku! Tetapi ...........(kata Mpu Purwa tidak diteruskan)
_
Tetapi apa ?_
_Tetapi, sejak dahulu kaulah yang menangani urusan kekerasan!_ (cetus Mpu Purwa
setengah meledek sahabatnya disertai gerakan meninju kepalan tangannya di perut
sahabatnya).
_ Memang kuakui, aku memang badung dan
tukang ribut. Tapi urusan kali ini lain, kakang._ (cetus Ki Sampar angin dengan
wajah serius)
_ Apanya yang lain _ ? (tanya mpu Purwa)
_ Karena menyangkut keselamatan orang-orang
seperti kakang yang sama sekali tidak pernah berani berkelahi. Jangankan
membunuh seorang lawan membunuh seekor
nyamukpun merasa takut dosa dan tak tega._
(ledek Ki Sampar angin ).
_ Kau ini tetap saja suka bercanda seperti
dulu, ternyata kau tidak hanya pendekar dunia persilatan tetapi juga pendekar
yang pandai berkelakar!_ (kata Mpu Purwa meledek sahabatnya diiringi derai tawa
lepas).
Sementara dua insan yang tampak semakin
akrab itu sekilas melihat kedua orang tuanya ketika mendengar suara tawa
kelakarnya. Ken Dedes berkata, setelah memungut bunga puspanyidra berwarna
merah yang tumbuh di dekat semak-semak.
_ Lihat kakang! Bapa dan paman itu!_ (kata Ken Dedes sambil
memainkan kuncup bunga ditangannya).
_ Apa yang dilihat! Mungkin sudah adatnya
begitu sejak muda._ (jawab Anggara sambil menggeleng-gelengkan kepala).
_Tidak perduli membicarakan masalah gawat
sekalipun, bapa dan paman selalu bergurau, tidak pernah kehilangan rasa
jenaka._ (kata Ken Dedes nada agak gemas).
Mpu Purwa dan Ki Samparangin terdiam sejenak
sepertinya sedang memikirkan masalah yang dihadapinya. Kemudian berkata:
_ Aku punya usul ?_ (kata Ki Sampar angin).
_ Usul apa?_
_ Untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang
akan terjadi. Para brahmana, pendeta,
resi di seluruh Tumapel perlu segera menyatukan diri dalam satu kata dan
tindakan dalam menghadapi ancaman kutaraja. Hal
ini penting agar tidak mudah dipecah belah. Bukankah kakang tahu, di
kutaraja kini kaum brahmana terbagi dua kelompok, yang satu berdiri di pihak
baginda, sementara yang lain tetap menolak bekerjasama._
_ Iya.....aku tahu itu._ (kata Mpu Purwa
sambil berpikir).
_Tetapi yang kupikirkan sekarang adalah
menyikapi tugas brahmana kutaraja yang membawa perintah baginda._
_ Kita tunggu perkembangannya, kakang. Tetapi
aku akan mengumpulkan para pendekar untuk sama-sama menyatukan diri menjaga
keselamatan para brahmana. Ini penting kulakukan untuk mencegah pengaruh
kekuasaan kutaraja mempengaruhi para pendekar agar tidak diadu domba, baik sesama pendekar atau diperalat untuk
mengganggu para brahmana seperti kejadian yang baru saja terjadi. Sebab kalau
kemungkinan ini terjadi, akan lebih mengeruhkan suasana._ (ungkap Ki Samparangin tentang rencananya).
_Aku setuju! Kau memang ahlinya kalau urusan
begini ini, asalkan................_ (kata Mpu Purwa sambil tangannya menekan
perut sahabatnya ).
_Asalkan apa ?_
_Asalkan tidak menyuruhku berkelai!_ (kata
Mpu Purwa dengan jenaka).
_Ya....tentu tidak, tetapi kuminta, kakang menggunakan pengaruh kakang
untuk menghimpun mereka. Kakang, jangan enak-enak duduk di padepokan seperti
yang dituduhkan baginda terhadap kaum brahmana._ (jawab Ki sampar angin sambil meledek
sahabatnya).
_ Apa kau kira pulang- pergi Kediri
–Tumapel sampai dibegal di tengah hutan seperti ini kau anggap enak-enak duduk
di padepokan?_
_ Bukan begitu, kakang._ (kata Ki
Samparangin dengan nada merendah)
_ Baik. Kita segera membicarakannya
dengan kakang Lohgawe, aku akan segera
menghubungi para brahmana dan resi yang lain !._
_ Ya, harus begitu kakang. Ken Arok akan kutugasi sebagai kurir rahasia
sekaligus penghubung antara kakang dengan kakang Lohgawe. Karena aku juga
segera bertindak menghimpun para pendekar di tlatah Tumapel._ (jelas Ki Sampar angin sambil
menggerak-gerakan tangannya).
_
Lihat kakang ! Bapa dan paman kelihatannya selesai bicara, kini bersiap-siap
pergi !_ (kata Kendedes).
_ Hayolah cah ayu ....kita pulang ! Biarkan pamanmu tinggal di hutan ini. Kau tahu kan? Rumah pamanmu ini adalah kandhang
langit -selimut mega._ (ajak Mpu
Purwa diiringi isyarat tangan sambil tidak lupa melontarkan sindiran kepada
sahabatnya mengiringi langkah kakinya menaiki kereta).
Ki Samparangin terlihat hanya
tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika disindir oleh sahabat
karibnya yang sudah sangat kenal watak dan
tabiatnya semenjak sama-sama masih muda.
Ketika derit suara roda kereta itu terdengar, tampak kereta itu bergerak perlahan meninggalkan tempat
itu, pandangan mata Ken Arok masih
terpaku pada gadis di atas kereta itu seakan tanpa kedip. Mengetahui
dirinya diperhatikan, gadis itu sebentar-sebentar menoleh ke
belakang, tangannya digerakkan perlahan seperti memberi isyarat untuk bertemu
lagi, seulas senyum dibarengi tatapan matanya dirasakan Anggara mampu mencairkan
kebekuan hatinya yang selama ini bagaikan gurun tandus yang tidak pernah
tersiram air. Pesona citra putri brahmana itu dirasakan melebihi dahsyatnya
anak panah yang menancap di ulu hatinya.
Anak muda itu kini ibarat terkena senjata pamungkas tetapi senjata itu tidak mematikan sebaliknya
menggugah rasa manusiawinya melahirkan serpihan-serpihan pesona keindahan yang
menggairahkan. Tanpa sadar ia
membalasnya itu dengan lambaian panjang seakan gayung bersambut sampai kereta itu tidak tampak dari
pandangannya menyelusup di balik semak-semak menyusuri jalan kecil ke arah
timur menuju desa Panawijen.
_Arok kita berangkat ke Lohgawe!_ (ajak Ki Sampar angin menyadarkan lamunan Ken
Arok).
_Iya, bapa._ (jawabnya Ken Arok sambil
bergerak cepat melompat ke punggung
kudanya, tangannya dengan cekatan menarik tali kekang kudanya dan segera
menggebrak lari kudanya. Walau kini sedang berada di punggung kuda, ternyata
citra putri brahmana itu masih terbayang-bayang di pelupuk matanya.
Pertemuannya dengan putri brahmana Panawijen memberi kenangan sejuta pesona
keindahan yang tak terlupakan, seakan terpatri kuat di dasar kalbunya).
v
Pohon pinang yang tumbuh berjajar di halaman
padepokan Lohgawe itu dari kejauhan tampak daunnya bergerak-gerak tertiup angin, pantulan sinar mentari sore
itu menerpa ujung-ujung daunnya. Tampak indah dipandang seperti sedang
melambai-lambai menyambut kedatangan dua orang berkuda yang kini memasuki regol
halaman. Aroma bunga cepaka yang sedang mekar di halaman depan itu seakan ikut
mempersilahkan ke dua orang berkuda itu yang kini sedang menambatkan kudanya di
pohon Nagasari yang tumbuh di sudut halaman. Kesibukan murid-murid padepokan
itu seketika terhenti ketika melihat kedatangan dua orang tamu yang kini
berjalan menuju balai pendapa. Salah seorang murid berjalan dengan langkah
terburu-buru menemui kedua orang itu sambil membungkuk memberi hormat.
_Silahkan
Ki, bapa brahmana sedang berada di sasana pustaka._ (kata salah seorang murid
padepokan agaknya sudah mengenal salah
seorang di antara kedua tamu itu. Ki
Samparangin mengangguk sambil berjalan
menaiki undakan pendapa padepokan diikuti Anggara).
_Ki, silahkan menunggu, aku akan memberitahu bapa
guru!_ (kata murid padepokan itu sambil bergegas pergi memberitahukan
kedatangan kedua tamu itu kepada gurunya brahamana Lohgawe).
_Padepokan
Lohgawe ini padepokan besar, muridnya berjumlah ratusan, berbeda dengan
padepokan Panawijen yang hanya memiliki beberapa murid saja. Kakang Lohgawe
adalah seorang brahmana kaloka dari Jambudwipa yang sengaja datang ke
Jawadwipa dengan tujuan khusus._
_Tujuan
khusus ? _ (tanya Ken Arok singkat).
_
Iya._
_
Tujuan khusus apa, Paman?_
_Aku
tidak tahu. Kakang Lohgawe pernah mengatakan padaku._
Ken
Arok menganggukkan kepala sambil pandangannya melihat sekitar pendapa padepokan
yang tampak asri. Ketika murid itu memasuki ruang sasana pustaka, Mpu Lohgawe sedang membaca parita nada suara
pelan. Mendengar ada langkah kaki mendekati sasananya, brahmana Lohgawe
menghentikan bacaannya dan mendongakkan pandangannya ke arah pintu.
_
Maafkan, Bapa guru! Ada tamu Ki Samparangin dan seorang pemuda,
kini sedang menunggu di balai pendapa._
(ungkap murid padepokan itu sambil agak membungkuk).
_
Ki Samparangin !._
_
Iya.......guru._
_Mereka
tamu istimewaku !. Siapkan hidangan malam. Katakan aku akan segera menemuinya!_
(katanya kepada murid padepokan yang kini bergegas pergi).
Tidak
berapa lama brahmana Lohgawe sudah berada di depan pintu bilik dalam yang
menghubungkan pendapa dengan ruang dalam.
Ki Sampar angin berkata spontan:
_Kakang
Lohgawe..........! (sapa tamu itu sambil
mengulurkan kedua tangannya saling berangkulan hangat).
_Kedatangan
pendekar besar sepertimu pasti mengejutkan! _(kata brahmana itu menatap
sahabatnya setelah melepaskan rangkulannya),
Kedua orang itu wajahnya tampak berbinar sambil melepas kerinduan).
_Ah
bisa saja kakang ini, bukankah keterkejutan kita sudah habis! _ (kata Ki Samparangin bercanda).
_
Lho........habis bagaimana?_
_Karena
sudah diambil alih oleh kutaraja. Kekuasaan kutarajalah yang kini membuat kita
semua terkejut-kejut._ (canda Ki Samparangin diiringi gelak tawa berderai).
_
Hayo.........silahkan duduk!_ (kata brahmana mpu Lohgawe mempersilahkan).
_
Terima kasih, kakang._
_Pantas, semenjak pagi burung prenjak ngganter
bersahut-sahutan di pagar depan padepokan,
tidak tahunya ada pendekar besar yang datang._ (kata Mpu Lohgawe
berbasa-basi).
_ Ah.......kakang ini tetap saja suka
menyanjung. Kakanglah seorang brahmana besar yang kaloka seantero Nuswantara
dan Jambudwipa!_
_Kau ini selalu merendah padahal orang
mendengar namamu saja sudah mengkeret lari tunggang-langgang. Kedatangan
pendekar besar sepertimu pasti membawa berita besar._
_Tidak
juga kakang, yang besar bukan
pendekarnya tetapi masalahnya._ (balas ki Samparangin disambut tawa berderai).
_
Bagaimana kabar dari kutaraja?_
_Aku
mendengar berita tambang rawat-rawat, baginda memerintahkan para
brahmana kutaraja untuk menyirep daharu di Tumapel._
Brahmana tua itu terdiam sejenak seperti
sedang memikirkan sesuatu, kemudian berkata:
_ Dari mana adi Samparangin
mengetahuinya?_
_Dari kakang Mpu Purwa yang baru saja
pulang dari kutaraja. Sepulang dari kutaraja secara tidak sengaja bertemu
denganku di tengah perjalanan ketika diganggu oleh para begal._
_ Dicegat oleh begal?_
_ Iya...kakang. Rupanya begal itu hanya
orang-orang upahan._
_ Lalu, bagaimana keadaan adi Purwa saat
ini ?_ (lanjut Mpu Lohgawe bertanya).
_ Kakang Mpu Purwa selamat tidak
kurang satu apapun, Hyang Agung masih melindunginya. Muridku ini yang mengusir begal itu._ (kata Ki Sampar angin sambil menoleh ke arah
anak muridnya untuk diperkenalkan Mpu Lohgawe).
Mpu Lohgawe terdiam sesaat, kemudian
mengangguk-anggukan kepala dan berkata:
_ Ketahuilah! Sepulang dari kutaraja,
aku juga diganggu oleh sekawanan orang tidak dikenal di hutan Panitikan. Mereka
tiba-tiba menyerangku. Untungnya aku dikawal oleh murid-murid padepokan._ (kata
Mpu Lohgawe menceriterakan kejadian yang dialaminya).
_ Haah.........jadi kakang Lohgawe
juga mengalami kejadian serupa !._
(tanya ki Sampar angin terkejut). Mpu Lohgawe menganggukkan kepala.
_ Kalau begitu aku semakin yakin
orang-orang tak dikenal itu adalah orang suruhan untuk menekan para brahmana.
Kukira ini baru gangguan awal!. _ (tandas Ki Sampar angin dengan wajah yang
sedang menyimpan kejengkelan).
_Syukurlah aku dan adi Purwa masih
diberi pengayoman oleh Bathara. Sebagai seorang brahmana, aku hanya berharap
hubungan antara baginda dan para brahmana pulih kembali seperti sediakala.
Baginda tidak lagi memaksakan kehendaknya, memojokkan kaum brahmana. Kuharap berbagai bentuk tekanan kutaraja
dapat segera reda dan berakhir._ (kata
Mpu Lohgawe dengan wajah teduh tetapi penuh harap).
_Untuk mengakhiri gara-gara seperti
saat ini tidak cukup dengan harapan seperti itu, kakang!._ (kata Ki Sampar
angin setengah bercanda).
_ Maksudmu apa ?_ (tanya Mpu
Lohgawe setengah meminta penjelasan)
_Kalau aku tidak begitu! Setiap bentuk
kekerasan, ancaman dan gangguan harus dibalas dengan kekuatan yang dapat
menghentikan tekanan itu, biar mereka memperhitungkan kekuatan kita!._ (kata ki
Sampar angin tegas).
_ Iya aku dapat memahami pendapatmu
sebagai seorang pendekar! Tetapi para brahmana tentunya mempunyai kebijaksanaan
tersendiri untuk menyelesaikan masalah ketengangan dengan kutaraja. Bukan
brahmana disuruh bertarung seperti pendekar !._
(kilah Mpu Lohgawe sambil berkelakar).
_ Iya .....tentu saja tidak. Masak ada
brahmana menyabung nyawa bertarung seperti pendekar, paling hanya ........(Ki
Sampar angin sambil tersenyum menirukan sikap layaknya brahmana dengan
merapatkan ke dua telapak tangannya di depan dada).
_ Kau ini sejak dahulu tidak
pernah sepi dari bercanda. Hei anak muda! Gurumu ini duhulu pengin jadi
brahmana, tetapi karena terlalu berbakat ribut akhirnya menjadi pendekar._ (kelakar Mpu Lohgawe sambil pandangannya
tertuju pada Ken Arok).
_Iya
...tapi kalau dihitung jatuhnya sama saja!_ (sahut Ki Sampar angin)
_
Sama saja bagaimana?_
_
Iya! Walau aku bukan brahmana tetapi
membantu brahmana. Jadi cukup jadi pendekar saja, tidak perlu lagi jadi
brahmana! Toh sama saja. Coba kalau tidak ada pendekar sepertiku, siapa lagi
yang akan membela para brahmana!_ (balas Ki Sampar angin dengan kelit yang tidak kalah tangkas).
_Kau
ini memang mahir dalam bersilat lidah!_ (kata Mpu Lohgawe diiringi derai tawa
panjang, janggutnya yang ditumbuhi rambut
putih itu bergerak-gerak).
Ken
Arok hanya tersenyum-senyum mengetahui kedua orang tua itu yang menyelingi
pembicaraannya dengan canda-tawa segar. Dalam hatinya berkata: “Bapa
brahmana Lohgawe yang namanya terkenal seantero Tumapel dan Kediri ternyata
orangnya bisa kocak, suka bercanda
seperti orang kebanyakan, tidak seperti
kugambarkan sebelumnya”.
_Kakang, muridku ini adalah anak kakang Bango
Samparan. Namanya Ken Arok, tetapi berhubung dikejar-kejar oleh prajurit Kediri
menggunakan nama samaran Anggara. Nama itu
yang dipakai sebagai nama pengembaraannya selama ini._ (jelas Ki Sampar
angin).
_Haah....! Apa aku tidak salah dengar?_(sahut Mpu
Lohgawe terkejut).
_Tidak kakang! Dialah Ken Arok yang
sepak-terjangnya menggegerkan singgasana kutaraja._
Brahmana tua itu menatap tajam wajah
Ken Arok, diamati satu persatu anggota badannya. Kemudian berkata:
_ Berdirilah, anak muda!_
Ken Arok terlihat bingung tidak
mengerti apa yang dimaksud Mpu Lohgawe, tetapi ia tetap mencoba berdiri seperti
yang diminta. Brahmana tua itu pandangan matanya tidak berkedip mengamati
sekujur tubuh mulai ujung kaki sampai ujung rambutnya. Sesaat kemudian brahmana
itu tampak kepalanya mengangguk-angguk kecil yang maksudnya tidak dimengerti
oleh Ken Arok dan Ki Samparangin. Kemudian berkata meminta sesuatu.
_Boleh aku melihat telapak tanganmu ?
_ (pinta Mpu Lohgawe).
Ken Arok tampak tertegun mendengar
permintaan brahmana itu. Ia masih diam terpaku,
tidak segera mengulurkan kedua telepak tangannya karena
dalam benaknya diliputi keragu-raguan. Pandangannya diarahkan kepada Ki
Samparangin seperti meminta pendapatnya. Ki Sampar angin menganggukkan
kepalanya sebagai bahasa isyarat setuju
menuruti apa yang diminta brahmana tua itu. Kemudian Ken Arok perlahan
mengulurkan kedua telapak tangan.
_ Heemm ...............tidak salah
lagi !._ (kata Mpu Lohgawe disertai wajah yang berbinar-binar, kepalanya yang
ditumbuhi rambut pendek hampir pelonthos itu tampak bergerak manggut-manggut
sambil tersenyum).
_ Apa maksud, kakang ?_ (tanya Ki
Sampar angin dengan nada tidak mengerti ).
_Rajah Kalacakra dan tutup kerang!_
(kata Mpu Lohgawe lirih).
_ Apa maksudnya?_ (kata Ki Samparangin
sambil menatap sahabatnya dengan pikiran menduga-duga).
_
Aku belum dapat mengatakannya sekarang, tetapi aku yakin sesuatu bakal
terjadi!._ (kata Mpu Lohgawe menyakinkan).
_ Iya........aku lupa kalau kakang tidak
hanya seorang brahmana tetapi juga ahli nujum!
Apa yang kakang ketahui tentang muridku ini ?_ (kata Ki Sampar angin dengan nada agak
mendesak).
Brahmana
tua itu diam sesaat sepertinya sambil berpikir memilih kata-kata yang tepat
untuk tidak membuka rahasia semesta yang masih kineker gaib. Kemudian berkata:
_Iya........roda sejarah akan berputar
sesuai kehendaknya sendiri ! Tidak akan ada yang bisa mengelak! Hanya itu yang bisa kukatakan!_
_Lalu apa hubungannya dengan Ken Arok
?_
Brahmana tua itu kembali termenung sepertinya sangat hati-hati
dalam mengungkap sesuatu rahasia yang masih tertutup tabir misteri itu.
Kemudian berkata dengan bahasa kiasan:
_ Muridmu adalah bagian dari sejarah,
ia akan memutar roda sejarah itu._
Pendekar tua itu tampak terdiam
seperti sedang berpikir untuk menangkap makna di balik kata-kata bersayap yang
diucapkan sahabatnya itu.
_ Kenapa Ken Arok yang harus memutar
?_
_ Sudah kukatakan tadi, tidak ada orang
yang bisa mengelak dari tugas ini. Karena hanya dia yang berani melakukan dan
roda itu memang sudah saatnya berputar._
_ Apakah ada banten yang tergilas
roda itu ?_
_ Aku tidak bisa mengatakannya._
_ Apakah orang yang memutar dapat
mengendalikan arah jalannya?_
_ Aku tidak tahu._ (katanya sambil
menggelengkan kepala)
Ki Samparangin sesaat terlihat manarik
napas panjang sepertinya mulai mengerti maksud di balik kata-kata perlambang
yang diungkapkan brahmana itu.
_ Kakang dan aku ada di mana ?_
_Kita hanya saksi sejarah, bukan pelaku
yang menorehkan tinta sejarah._
Kini pendekar tua itu tampak
manggut-manggut. Kemudian berkata:
_Tetapi Ken Arok kini buronan nomor
satu!_ (kata Ki Samparangin memancing).
_Tidak selamanya begitu, waktu dan berputarnya
roda sejarah akan mengubahnya._
_ Mengubah jadi apa ?_
_ Duta adil._
_ Duta adil ?_
_Ya duta adil yang akan menghentikan
keangkara-murkaan._
_ Apakah akan berhasil ?_
_ Aku tidak dapat mengatakan sekarang. _
(kata brahmana Lohgawe sambil menggelengkan kepala)
_ Mengapa ?_
_ Itu bukan kekuasaanku._
_ Siapa yang dapat mengatakan ?_
_Tidak perlu dikatakan, nanti semua orang
akan tahu dengan sendirinya._ (brahmana
itu menghentikan kata-katanya sejenak)
Ketika pembicaraan terhenti sejenak,
tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang murid padepokan berjalan memasuki balai
pendapa. Setelah menghadap gurunya ia berkata:
_ Maafkan kami menghadap tanpa
dipanggil, bapa._ (kata salah seorang murid itu sambil badannya membungkuk memberi
hormat kepada Mpu Lohgawe).
_ Ada apa lagi?._ (kata Mpu Lohgawe sambil menatap murid yang
datang).
_Ada tamu dari kutaraja ingin bertemu,
bapa ._
_ Siapa ?_
_ Mereka mengaku brahmana dari kutaraja._
_ Persilahkan masuk !._
Mpu Lohgawe dan Ki Samparangin bersiap
menyambut ketiga orang brahmana dari Kediri, Brahmana Mpu Pamor, Mpu Sridhara
dan Mpu Kuturan.
_Silahkan.......silahkan!_
(kata Mpu Lohgawe menyambut tamunya).
Setelah sejenak berbincang hal-hal ringan,
brahmana Mpu Pamor mulai membuka pembicaraan:
_Kami datang jauh-jauh dari kutaraja mau
mengadukan persoalan kepada kakang._
_ Persoalan apa ?_ (tanya Mpu Lohgawe).
_Saat ini seluruh pasukan di Tumapel
ditarik pulang ke kutaraja._
Ki Samparangin pandangan matanya menatap
Ken Arok sebaliknya Ken Arok juga
menatap gurunya, karena sebelumnya sudah mendengar berita itu dari telik sandi
yang dikirimnya.
_ Apa hubungannya dengan kita ?_ (lanjut
Mpu Lohgawe bertanya)
_Ada
kakang ! Tugas prajurit itu kini digantikan oleh para brahmana ! Saat ini aku,
adi Sridhara dan kakang Kuturan dibebani tugas oleh baginda untuk memadamkan
kerusuhan yang dilakukan oleh Ken Arok. Sebenarnya ini bukan tugas kami tetapi
apa boleh buat. Apabila dalam waktu tiga
bulan ini kami tidak dapat menyelesaikan tugas ini, maka seluruh brahmana di
Kediri dan Tumapel akan dipaksa menyembah baginda atau dihukum pancung di
alun-alun kutaraja jika menolaknya!_
_Jadi berita tambang rawat-rawat yang kudengar beberapa hari terakhir
ini benar?_
_ Iya, benar kakang._ (sahut Mpu Kuturan)
_Kurasa itu bukan tugas tetapi sebuah perangkap!_(sergah Mpu Lohgawe
dengan wajah kesal).
_
Perangkap!_ (tanya Mpu Sridhara).
_Iya, perangkap yang sengaja dipasang
untuk menjebak kita! Ditariknya pasukan mundur dari laladan Tumapel itu
hanya suatu siasat. Kemudian baginda bermaksud memojokkan brahmana dengan diserahi tugas ini. (kata Mpu Lohgawe).
Seketika brahmana dari kutaraja itu wajahnya tampak
terperangah mendengar kata-kata itu, mereka saling berpandangan satu sama lain,
sepertinya bingung dan tidak menduga sebelumnya. Suasana tegang menyelimuti
balai pendapa padepokan Lohgawe malam itu. Beberapa saat para brahmana itu diam
termangu sepertinya larut dalam pikirannya sendiri-sendiri. Mpu Lohgawe menarik
napas tampak sedang memikirkan sesuatu. Sedangkan Ki Samparangin memberi
isyarat pada Ken Arok dengan kerdipan mata, keduanya tampak tenang di wajahnya
tidak terkesan gugup ataupun tegang.
_Sepertinya baginda sudah tidak memberi pilihan pada
kita! Memberi perintah yang bukan tugas
kita!_ (kata Mpu Sridhara).
_Benar,
kakang! Kita tidak punya pilihan lain. Kita dipojokkan. Kutaraja sebenarnya
hanya menginginkan Ken Arok menghentikan perlawanannya terhadap punggawa Kediri
terutama para penarik pajak. Baginda tidak mau kehilangan muka dan sumber
pendapatan kerajaan dari pajak yang akhir-akhir ditolak oleh para kawula._
(timpal Mpu Kuturan).
_Bagaimana
pendapat kakang Lohgawe?_ (kata Mpu Sridhaya).
Mpu Lohgawe menarik napas sambil
mengangkat wajahnya, terdiam sesaat sepertinya sedang berpikir, kemudian
perlahan berkata:
_Brahmana
harus tetap menjadi brahmana yang berjalan di atas dammanya, bukan seperti
prajurit._
_
Maksud kakang?_
_Kita
harus menafsirkan tugas ini bukan dengan cara memerangi Ken Arok seperti
prajurit, melainkan mendidiknya. Kalau
cara ini kukira masih sesuai damma. Tetapi tetap harus diingat, tugas ini hanya
sebuah perangkap yang bertujuan memperdayai kita!_ (kata Mpu Lohgawe dengan
suara agak menekan).
Ketiga
brahmana kutaraja itu mengangguk-anggukan kepala hampir berbarengan tanda
sepakat pendapat Mpu Lohgawe.
_Lantas
kita harus berbuat apa, kakang?_ (kata Mpu Pamor bertanya setengah mendesak
kepada Mpu Lohgawe).
_Itulah
yang perlu kita bicarakan saat ini!_ (kata Mpu Lohgawe).
Brahmana
dari Jambudwipa itu diam sejenak, terlihat jari-jari tangannnya bergerak-gerak
seakan mengikuti pikirannya yang sedang bergulat, kemudian berkata:
_Kukira untuk menghentikan perlawanan Ken
Arok terhadap punggawa Kediri itu tidak mudah, sekalipun kaum brahmana yang melakukan._ (kata Mpu
Lohgawe).
Para
brahmana kutaraja itu berusaha memahami maksud di balik kata-kata Mpu Lohgawe.
Mpu Lohgawe melanjutkan:
_ Bagaimana adi Samparangin, kau adalah
gurunya ?_
_Terserah kebijaksanaan kakang saja,
asalkan muridku jangan dipojokkan._ (kata Ki Sampar angin dengan nada ringan).
_Ketahuilah! Anak muda yang duduk bersama
Ki Sampar angin ini adalah Ken Arok._ (kata Mpu Lohgawe)
_Ken Arok!_ (sahut ketiga brahmana
kutaraja itu hampir berbarengan)
_ Iya......dialah Ken Arok!_
Ketiga brahmana kutaraja itu seketika
kaget dan tercengang, melihat Mpu Lohgawe menyebut nama anak muda yang duduk
tidak jauh dari tempatnya ternyata adalah Ken Arok yang selama ini menggegerkan
kutaraja Kediri. Ketiga brahmana itu
sekilas memandang wajah Ken Arok dengan pandangan mata tidak senang. Mpu Pamor dalam hatinya
berkata: “anak muda ini yang membuat kaum brahmana terkena sasaran fitnah
dari baginda”. Kemudian ia berkata:
_Jadi
anak muda ini yang bernama Ken Arok !._ (kata Mpu Pamor sambil menatap wajah
Ken Arok)
_ Iya.......... ada apa bapa ?_
(sahut anak muda itu).
_ Sungguh aku tak menyangka bertemu denganmu di sini.
Ketahuilah........namamu telah menggoyahkan sokoguru balai agung kedaton
Kediri! Akibat ulahmu kaum brahmana terkena fitnah dan samun sakal
perkara seperti ini! (kata Mpu Sridhara
setengah menuduh).
_Sebentar, kakang Sridhara! Kau sepertinya
menyalahkan muridku yang tidak pernah bersangkut paut perkara dengan brahmana._
(sahut Ki Sampar angin)
_Tetapi kenyataannya, akibat sepak-terjang
muridmu, kami semua ikut terlibat!_ (kata Mpu Sidhara dengan nada jengkel)
_ Kau dapat saja menuduh Ken Arok bahkan
siapapun, tetapi ingatlah! Di balik tuduhanmu itu, kau tidak pernah tahu
sendiri, bagaimana kekejaman dan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh prajurit dan anak buah demang penarik
pajak terhadap kawula alit? Kalau Ken Arok membela mereka, apakah itu salah?
Coba pikirkan! Apa yang telah kakang
perbuat selama ini terhadap kawula alit yang hidupnya tanpa bergantung pada
siapa pun ?
Suasana pembicaraan di balai padepokan itu
terasa tegang dan memanas,sepertinya kata-kata Ki Sampar angin dirasakan
seperti tamparan keras oleh brahmana kutaraja yang kebiasaannya gampang
menyalahkan orang lain, tetapi sama sekali tidak menyadari bahwa hidupnya bergantung pad pemberian baginda.
Mpu Sidhara dalam hati merasa tersulut api bahwa hidupnya selama ini dianggap
bergantung pada belas kasihan baginda, tampak wajahnya merah padam menahan
gejolak amarah.
_Cukup! Kita tidak perlu bertengkar.
Penyelesaian perkara ini tidak akan selesai kalau hanya jadi bahan
pertengkaran._ (kata Mpu Lohgawe meredakan pertengkaran)
Ketiga brahmana kutaraja itu diam sambil
mukanya tertunduk ketika ditegur Mpu Lohgawe. Suasana lengang itu berlangsung
cukup lama. Dua orang pelayan masuk balai pendapa membawa minuman dan sejumlah
jajanan yang kini ditaruh di dekat para tamu masing-masing.
_ Hayo ....diminum dulu!_ (kata Mpu Lohgawe
mempersilahkan tamunya)
_ Terima kasih, kakang._ (kata Ki
Samparangin).
_Adi Pamor, sebaiknya kau berbicara
sendiri dengan Ken Arok. Bukannya tadi sudah kukatakan bahwa cara yang kau
tempuh harus disetujui terlebih dahulu oleh Ken Arok._
_Kakang Lohgawe, kalau tadi kedatangan
kami hanya mengadukan perkara tugas, kini kuminta kakang bisa menengahi perkara
ini._ (kata Mpu Sridhara)
Mpu Lohgawe hanya diam termenung mendengar
bahwa dirinya diminta untuk menengahi perkara brahmana dengan Ken Arok.
_ Mengapa tidak kau lakukan sendiri?_
_Kami tidak banyak tahu tentang
kemungkinan cara yang terbaik yang dapat ditawarkan kepada Ken Arok._
_ Baiklah, tetapi aku minta syarat._
_ Apa syaratnya, kakang?_
_ Kita harus bersatu dalam perbedaan._
_ Maksud kakang, apa ?_
_ Ketahuilah! Tugas kalian tidak akan
berhasil tanpa kerjasama dengan Ken Arok. Jadi seandainya ada perbedaan
pendapat antara kalian dan Ken Arok nanti, maka yang diperlukan adalah semangat
untuk menemukan titik temu itu, bukan saling berlawanan atau memaksakan
kehendak._
_ Mengapa begitu, kakang?_
_Ketahuilah!, pihak brahmana dan Ken Arok
sebenarnya memiliki kesamaan. Ken Arok diburu oleh kutaraja sedangkan kalian
juga dipojokkan. Jadi bagi kita yang penting menyadari kedudukan masing-masing.
Apapun yang dilakukan oleh brahmana tidak akan sia-sia jika ditolak Ken Arok.
Begitu pula sebaliknya, apa yang diinginkan Ken Arok tidak akan berhasil jika
tidak disetujui brahmana._
_
Baik, kakang. Kami menyerahkan perkara ini kepada kakang. (kata Mpu Pamor).
_Sekarang kita santap malam dahulu.
Sehabis itu kita beristirahatlah, besok
pagi kita lanjutkan pembicaraan kita._
v
Keesokan harinya ketika mentari
sepenggalah tingginya, tampak ketiga brahmana kutaraja sudah duduk di balai
pendapa padepokan, sementara Mpu Lohgawe berjalan dari ruang butulan menuju
balai pendapa diiringi Ki Samparangin dan Ken Arok. Setelah beberapa saat
bercengkerama, Mpu Lohgawe berkata:
_ Adi Pamor, Sridhara dan Kuturan. Semalam
aku berpikir untuk mencoba menemukan jalan tengah terbaik yang bisa kita
lakukan untuk mengakhiri kemelut ini. Membolak-balik cara satu ke cara lain
ternyata kutemukan jalan tengah yang kurasa tepat._
_ Katakan, kakang!_ (kata Mpu Kuturun
tidak sabar).
_ Untuk mengakhiri kemelut perkara ini,
kurasa memerlukan bantuan dari Akuwu. Akuwu adalah wakil baginda di Tumapel.
Keterlibatan akuwu dalam penyelesaian kemelut ini kurasa tepat, karena akan
menjadi saksi kesungguhan para brahmana menyelesaikan perkara ini._
_ Bagaimana jelasnya, kakang?_ (kata Mpu
Pamor)
_ Kita akan menghadap akuwu untuk sudi
menerima Ken Arok sebagai pasukan pengawal dengan syarat Ken Arok bersedia
menghentikan segala perlawananannya kepada kutaraja. Selama itu kita akan
membimbingnya secara mental sesuai damma para brahmana._
Ketiga brahmana kutaraja itu terdiam
sejenak, sepertinya sedang menimbang pendapat yang diutarakan Mpu Lohgawe.
Sesaat kemudian Mpu Lohgawe berkata:
_ Apakah kalian setuju dengan pendapatku?_
_Kurasa pendapat kakang Lohgawe cukup masuk
akal. Hemm ..........kami setuju kakang._ (kata Mpu pamor).
_Bagaimana
Arok ?_ (kata Mpu Lohgawe sambil menatap anak muda itu)
_
Maaf bapa, kalau disuruh menjadi pengawal Akuwu, aku tidak mau!_
_
Mengapa kau menolak?_ (kata Mpu Lohgawe, sementara ketiga brahmana lainnya
tanpak terkejut dengan jawaban itu)
_ Aku lebih baik hidup bebas seperti ini,
kecuali kalau ada imbalannya! Kalau aku
mau, apa imbalannya?_(kata ken Arok
dengan tenang).
_
Tentu! Pasukan kutaraja tidak akan mengganggumu lagi._
_ Itu bukan imbalan, bapa! Aku tidak pernah takut pada pasukan
kutaraja._
_ Tetapi bukankah mereka jadi persoalan
bagimu selama ini ?_
_ Tidak bapa, karena saya bisa mengurusnya sendiri !._
_
Kau tidak perlu pusing-pusing lagi kalau setuju menjadi pengawal Akuwu._
_
Maaf bapa, bagi saya imbalannya bukan itu, karena apa yang dilakukan prajurit
itu sama sekali tidak memusingkan saya. Malah sebaliknya mereka kubuat pusing
dengan tindakan yang kulakukan selama ini!._
_
Kalau begitu, maksudmu apa ?. Katakan!_
_
Saya minta imbalan lain !._
_
Hayo katakan saja !._ (desak Mpu Lohgawe).
_
Pertama, yang diangkat sebagai pengawal bukan hanya saya tetapi dengan seluruh
anak buah saya yang sampai saat ini masih tersebar belum sempat saya himpun kembali. Atau saya diberi hak untuk memilih siapa yang
akan menjadi regu pengawal. Kedua, pihak kutaraja tidak lagi menganggu
kegiatanku di Tumapel.
_Seandainya syaratmu disetujui, apakah
kau tidak akan membuat keributan dengan
punggawa Kediri ?_
_
Itu tidak akan terjadi lagi, asalkan mereka tidak memulai!_ (kata Ken Arok
dengan tegas).
_Baiklah,
aku akan segera menghadap Akuwu Tumapel membicarakan perkara ini. Kalau Akuwu
setuju, maka belenggu yang merantai para brahmana akan dilepaskan dan kau secara
tidak langsung akan menyelamatkan kewibawaan dan hidup ratusan brahmana, Arok._
_
Bagaimana kalau Akuwu tidak setuju ?_ (berkata Ki Sampar angin memotong).
_ Kita coba ! Hari ini kita pakuwon
Tumapel!_ (kata Mpu Lohgawe yang beranjak pergi).
_
Kakang, ijinkan kami bertiga ke Panawijen._ (kata Mpu pamor terlihat
tergesa-gesa berpamitan, agaknya mereka
kesal mendengar pembicaraan Ken Arok).
_Kenapa kalian tidak ikut ke Pakuwon._
(tanya Mpu Lohgawe balik)
_Kami
percaya pada kebijaksanaan kakang. Biarkan kami menenteramkan diri di Panawijen
untuk sementara waktu._
_
Baiklah! Sampaikan salamku pada adi Purwa._
_
Kakang aku dan Ken Arok tidak ikut serta ke Pakuwon, pembicaraan kakang dengan
akuwu biar tidak terganggu, toh masih pembicaraan tingkat penjajakan._ (kata Ki Sampar angin)
Brahmana
Lohgawe mengangguk dan berkata:
_
Baik._
Sementara
Ki Sampar angin memberi isyarat mata pada Ken Arok untuk beranjak dari tempat
itu menuju ke arah bukit di sebelah barat tidak jauh dari padepokan.
_Kemarin kau baru saja mengatakan akan
membantu para brahmana, tetapi mengapa kau masih meminta syarat atau imbalan
segala ?_ (kata Ki Sampar angin setengah memancing).
_Kukira itu harga yang wajar paman. Bukankah suatu bendamen
kedudukannya harus seimbang? Toh saya tidak meminta imbalan apapun dari para
brahmana. Kalau hanya menerima tanpa
syarat, berarti saya masuk perangkap. Kunci perkara ini adalah Akuwu, dialah
yang akan memenuhi syarat yang kuajukan, bukan para brahmana yang wajahnya masam
itu._
_
Bagus, kalau begitu aku mengerti alasanmu._
_Dengan
syarat itu saya tetap dapat bebas
bergerak leluasa tanpa ada yang menghalangi._
_ Kau memang cerdik, anakku._
_Pamanlah
yang mengajariku bersiasat, bukan bunuh diri !._
_Ketiga
brahmana kutaraja itu tampaknya tidak senang dengan kita! (kata Ki Samparangin)
_Biarkan
saja paman! Mereka itu brahmana yang belum bisa berlapang dada karena terkena
perangkap baginda! Jadi pantas kalau tidak senang denganku!_ (kata Ken Arok
dengan tenang)
_Paman,
lihat bapa Lohgawe dan mereka kini bersiap berangkat ke pakuwon Tumapel._
_
Kurasa ada baiknya kau mengawal mereka ke Panawijen. Bagaimana pun mereka
adalah tamu Tumapel, jadi kalau terjadi apa-apa di sini, Mpu Lohgawe dan kita
lah yang bertanggung jawab._
_
Tetapi sepertinya mereka tidak mau dikawal, paman._
_
Jadi kau tidak mau mengawalnya?_
_
Bukan begitu paman._
_Kalau
kau tidak mau mengawalnya, iya.....sudah
biarkan saja mereka pergi sendiri.
Tetapi .........ada seorang gadis Panawijen yang merindukan
kedatanganmu._
_
Ah.........paman ini._ (kata Ken Arok tersenyum dengan wajah tersipu malu). Ken
Arok seperti digugah rasa rindunya karena sudah hampir satu setengah candra
tidak bertemu dengan gadis yang menghiasi jantung hatinya. Sejenak kemudian,
anak muda itu menganggukkan kepala.
v
Menjelang sore seekor kuda memasuki regol
gapura depan padepokan Panawijen diiringi sebuah kereta kuda. Brahmana Mpu Purwa sedang duduk
bercengkerama dengan putrinya Ken Dedes di balai padepokan. Mengetahui ada tamu datang, segera berdiri
beranjak dari duduknya berjalan menyambutnya.
_ Kakang Purwa !_ (sapa Mpu Pamor
kemudian satu persatu brahmana itu merangkul Mpu Purwa yang dianggap lebih
tua). Kemudian Mpu Purwa berkata kepada Ken Arok. Kemudian pandangan Mpu Purwa diarahkan Ken
Arok sambil berkata:
_Terima kasih, anakku! kau telah banyak membantu brahmana.
Beristirahatlah sejenak._
Ken Arok menganggukkan kepala sambil
berjalan meninggalkan balai padepokan menuju ke bilik samping pepungkuran.
Sementara Mpu Purwa dalam pembicaraannya
dengan ketiga brahmana dari kutaraja sekali-kali terdengar suaranya dari
pepungkuran. Mpu Kuturan menceriterakan pertemuannya dengan Mpu Lohgawe, sementara
Mpu Purwa mendengarkannya dengan seksama, tampak brahmana tua itu sekali-kali
menarik napas panjang, kemudian berkata:
_
Hem..........masalahnya benar-benar pelik. Aku tidak mengira kedudukan kaum
brahmana seburuk saat ini. Kalau Ken
Arok diterima sebagai pimpinan pengawal Akuwu, perkara kutaraja dan kaum
brahmana akan selesai. Tetapi ada hal yang belum dipertimbangkan!_ (kata Mpu
Purwa sepertinya mengajak berpikir).
_ Apa itu, kakang ?_
_
Bagaimana kawula alit ? Mungkin kalian tidak begitu paham keadaan kawula alit
saat ini di Tumapel._
_Ada
apa dengan kawula alit?_
_
Beban hidup mereka benar-benar berat, jangankan membayar pajak untuk makan pun
mereka tidak sanggup lagi. Tanaman mereka ludes dimakan hama. Bukankah kalian sendiri menyaksikan di
sepanjang perjalanan dari Lohgawe ke Panawijen. Tanaman padi di sawah dibiarkan
rusak tidak terurus karena terserang hama penyakit._ (kata Mpu Purwa)
_ Benar, aku menyaksikan sendiri._ (kata
Mpu Kuturan).
_
Kalau pemerintah kutaraja tidak memberi kelonggoran atau penundaan pembayaran pajak
dan bersikeras memaksa mereka, apa jadinya? Selama ini mereka dipaksa dengan
pelbagai kekerasan oleh punggawa penarik pajak, lalu siapa yang akan membela
mereka?_ (kata Mpu Purwa setengah mengajak berpikir kepada tiga orang brahmana
dari kutaraja).
_Apa hubungan Ken Arok dengan mereka?_
(kata Mpu Sridhara bertanya).
_Ki Samparangin dan Ken Arok lah yang selama ini membela mereka._ (kata Mpu
Purwa).
Mendengar
perkataan Mpu Purwa, Mpu Pamor, Mpu Sridhara dan Mpu Kuturan tampak setengah
membuang muka tidak mengacuhkan, raut wajahnya menyiratkan rasa tidak senang
terhadap pembicaraan Mpu Purwa yang dirasakan mulai menyanjung Ken Arok. Dalam hatinya berkata: “Kakang Purwa ini
setali tiga uang dengan kakang Lohgawe, terlalu menyanjung-nyanjung Ken Arok si
penjahat kerajaan itu”.
_Tetapi anak itu telah berani melakukan kejahatan pembunuhan atau tatayi
terhadap punggawa kerajaan?_ (kata Mpu Kuturan).
_
Ia sekedar membalas apa yang telah dilakukan lebih dahulu oleh punggawa
terhadap penduduk desa._ (kata Mpu Purwa dengan nada tenang).
_Tetapi bagimanapun anak itu tetap
bersalah!_ (kata Mpu Sridhara dengan nada suara agak meninggi).
_
Itu terserah cara pandangmu! Bukankah setiap orang cara pandangnya
sendiri-sendiri. Pihak kerajaan menilai Ken Arok adalah perusuh yang telah
melakukan kejahatan tatayi sebagai salah satu astadosa. Tetapi di
mata rakyat Tumapel Ken Arok adalah pembela dan pelindung mereka! Ken Arok
adalah pahlawan mereka._ (kata Mpu Purwa
dengan nada suara dengan tekanan).
_
Menurut kakang Purwa, mana yang benar?_
_
Yang berpihak pada citarasa keadilan orang banyak!_ (tegas Mpu Purwa).
_Kalau
demikian, kakang Purwa membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan anak
itu!_
_Aku
tidak membelanya. Tetapi pihak kerajaan seharusnya juga tidak boleh
sewenang-wenang menganiaya kawula. Ketahuilah! Setiap kesewenang-wenangan cepat
atau lambat pasti akan melahirkan perlawanan. Ken Arok hanyalah salah seorang
yang berani melawan ketidak-adilan itu. Lihatlah sebabnya, mengapa Ken Arok berani
melawan punggawa? Jangan hanya melihat
akibatnya!_ (tegas Mpu Purwa).
_
Tetapi kami tetap tidak membenarkan tindakan Ken Arok !_ (kata Mpu Sridhara
ngotot mempertahankan pendapatnya)
_
Sama halnya denganku yang tidak dapat membenarkan tindakan punggawa pajak !_
(kilah Mpu Purwa).
_Pihak
kerajaan mempunyai hak dan kekuasaan atas pajak, tetapi Ken Arok tidak
mempunyai hak untuk membunuh punggawa pajak!_ (kata Mpu Pamor mengemukakan
alasannya).
_
Kita ini seorang brahmana, tentu cara berpikirnya tidak seperti punggawa
kerajaan saja. Ada pepatah yang mengatakan “hutang nyawa dibayar nyawa,
hutang budi dibawa mati”. Ken Arok
hanya membalaskan hutang nyawa punggawa kerajaan atas kawula yang mati akibat
kekerasan mereka. Sedangkan kecondonganmu seperti itu karena kalian tidak
ubahnya seperti orang yang berhutang budi pada baginda! Pantas baginda
mengumpat-umpat kaum brahmana, sampai martabat kita jatuh tidak ada harganya!_
(kata Mpu Purwa tegas disertai tatapan mata tajam tidak berkedip).
_Maafkan
kakang, kami sepertinya dipojokkan seakan menjadi penyebab semua ini._ (kata
Mpu Sridhara).
_Aku
tidak memojokkanmu, tetapi hanya mengingatkan kalian! Sadarilah bahwa tugas utama seorang brahmana adalah mendidik
sesuai damma, bukan ikut campur di dalam
kekuasaan. Dengan cara itulah martabat
brahmana tetap terjaga. Hidup seorang brahmana lebih utama berada menyatu
dengan kawula, agar bisa merasakan penderitaannya, mendengar keluh-kesahnya,
paham denyut nadi kehidupannya dan
mengerti tetesan air mata mereka, bukan di tengah kemewahan istana! Fitnah
besar yang melanda kaum brahmana saat ini adalah hasil karmanya sendiri karena
terlalu dekat dengan kekuasaan, dimanjakan oleh hadian dan pemberian, akibatnya
kemulian kaum brahmana runtuh terbeli dengan itu semua._ (tegas Mpu Purwa).
Ketiga
brahmana kutaraja itu diam termenung mendengar kata-kata Mpu Purwa yang seakan
menohoknya, dari wajahnya tersirat suatu
penyesalan karena terlanjur terlibat dalam kekuasaan baginda. Mpu Pamor
kemudian berkata:
_Terima
kasih, kakang telah mengingatkan keterlanjuran kami semua. Tetapi maksud
kedatangan kami ke Tumapel ini adalah mengemban tugas untuk membimbing Ken
Arok._
_
Apa lagi tugas seperti yang kalian laksanakan saat ini! Tidak mungkin dapat
diselesaikan tanpa kerjasama dengan Ken
Arok? Kalau pandangan kalian terhadap
anak muda itu dilandasi sikap permusuhan, aku yakin tugas itu akan gagal di
tengah jalan tidak membuahkan hasil apa-apa. Bukan kah kalian tahu apa
akibatnya jika gagal?_
_
Selama ini kami beranggapan kalau tersudutnya kaum brahmana oleh baginda itu
akibat ulah anak muda yang bernama Ken Arok itu. Jadi terus terang saja kami sulit rasanya
kalau harus bekerjasama dengan anak itu._ (kata Mpu Pamor).
_
Kalau begitu terserah kalian saja! Hanya gara-gara kalian disalahkan oleh
baginda, lalu kalian melampiaskan kekesalan pada Ken Arok. Sekarang coba
pikirkan, bagaimana cara kalian menghentikan tindakan Ken Arok!_
_Masalah
ini telah kuserahkan kepada kakang Lohgawe. Kini kakang Lohgawe mencoba mendekati
akuwu untuk menjajaki jalan penyelesaian kemelut ini._
Ketiga
brahmana dari kutaraja itu kini diam wajahnya tertunduk lesu, tidak sepatah
katapun terucap dari mulutnya. Kata-kata Mpu Purwa tadi dirasakannya seperti
menyebit-nyebit hatinya seakan kepergiannya ke Panawijen seperti pencucian
jiwanya yang selama ini kusut kehilangan jatidiri akibat masalah yang
membelitnya di kutaraja.
v
Sementara Ken Arok sedang berjalan beriring
dengan Ken Dedes di sekitar padepokan.
_ Suasana padepokan di sini begitu
indah dan asri ._ (kata Ken Arok sambil
mengamati bunga-bunga yang sedang mekar tertata rapi berjajar di depan
altar depan padepokan).
_ Ah.... tidak juga, kakang. Di padepokan Lohgawe tentunya lebih asri dari
Panawijen._ (kata Ken Dedes disertai lirikan mata yang bermaksud menyindir
karena di padepokan Lohgawe juga ada
bunga yang sedang mekar, putri brahmana Lohgawe, Ken Umang ).
_ Ada bedanya ?._ (kata Ken Arok
sambil melirik gadis yang berada di sampingnya itu).
_ Kakanglah yang lebih tahu !
Bukannya kakang setiap hari memandangi bunga di padepokan Lohgawe!_ (sahut Ken
Dedes setengah menyindir).
_Iya tetap ada bedanya. Bunga-bunga di sini sedang
mekar-mekarnya dan siap dipetik._ (kata
Ken Arok dengan nada menyindir).
_ Ah.....kakang ! _ (sahut Ken
Dedes merasa disindir tanpa sadar
jari-jarinya yang lentik itu mencubit lengan Ken Arok).
_ Aduh...........cubitanmu ini
sakit sekali !_ (kata Ken Arok sambil
berpura-pura meringis kesakitan).
_Ah.......kakang ini, di Kagenengan
saja menghalau sepuluh orang begal saja dapat dilakukan dengan mudah. Masak
dicubit begini saja kesakitan._ (sahut Ken Dedes sambil tertawa agak tertahan).
_ Yang sakit bukan lenganku, tapi
yang di dalam._ (kata Ken Arok sambil mengarahkan gerakan tangannya ke arah
dadanya).
_Di Lohgawe kan ada yang mengobati
!._ (ledek Ken Dedes sambil jari-jemarinya yang lentik itu memainkan sekuntum
bunga soka putih yang dipetiknya).
_ Hanya di Panawijen ini sakitku
bisa sembuh._
_ Sakit apa ?_ (kata Ken Dedes
lirih)
_ Sakit yang obatnya bertemu
seperti ini._ (kata Ken Arok sambil
tangannya menyubit dagu putri brahmana yang ibaratnya seperti lebah bergantung
itu).
_ Ah.........kakang ini nakal!_ (kata Ken
Dedes sambil memperlihatkan wajahnya yang agak kemerah-merahan tersipu malu).
_Iya ......kan kakang? Di padepokan Lohgawe
bunganya kan lebih indah, segar dan
harum mangambar daripada di sini ?_ (kejar Ken Dedes).
_Sudah
kukatakan, bunga di sini sudah siap dipetik, sedangkan di Lohgawe baru bersemi_
(sahut Ken Arok dengan tenang sambil tidak lepas memandang solah bawa
gadis yang telah menggoyahkan hatinya selama ini).
_Kukira..........lebih
baik menunggu bunga yang masih bersemi daripada yang sudah siap dipetik !_
(sahut Ken Dedes sambil mengerlingkan matanya yang indah ke arah Ken Arok).
_
Ah.......tidak, kumbang manapun akan menyukai bunga yang sedang mekar dan siap
petik._ (kilah Ken Arok dengan tangkas).
_
Mengapa kumbang-kumbang nakal itu
lebih suka menghisap madu dari
bunga-bunga yang sedang mekar ?_ (kata
Ken Dedes setengah memancing).
_
Itu sudah menjadi kodrat alam. Kalau bunga itu tidak dihisap madunya, bunga itu
tidak membawa manfaat bagi dirinya maupun alam semesta ini. _ (kata Ken Arok berkilah).
_
Kakang ini pandai bermain kata seperti pujangga saja._
(
canda Ken Dedes memancing).
_Pujangga
apa?_ (kata Ken Arok pura-pura tidak mengerti).
_Pujangga
yang pandai bersandiwara !._ (jawab Ken Dedes yang diikuti senyuman).
Kedua insan manusia yang hatinya bak bunga yang sedang mekar itu, langkahnya berhenti ketika sampai
di dekat sendang yang airnya jernih.
Pandangannya mengamati ikan-ikan
yang sedang bersuka cita berkejaran di balik daun teratai yang sedang berbunga
merah.
_ Kakang, aku punya teka-teki yang belum terpecahkan. Dapatkah kakang menebak teka-teki itu._
(pancing Ken Dedes sambil melemparkan kuncup bunga soka putih ke sendang)
_
Tadi kakang mengatakan bunga di sini lebih indah dari bunga manapun. Sekarang
aku bertanya, apa sebenarnya yang paling indah di arcapada ini, kakang
?_ (tanya Ken Dedes dengan nada tenang
).
_
Wah ......untuk dapat memetik bunga saja,
ternyata ujiannya sangat sulit seperti ini._ (canda Ken Arok jenaka
dengan gadis yang membangkitkan pesona hatinya itu).
_Ah...kakang
ini bercanda melulu, aku sungguh-sungguh lho, kakang!_ (kata Ken Dedes sambil sedikit merajuk).
_ Ibaratnya sebuah sayembara
!............apa bebananya kalau aku
dapat memecahkan rahasia di balik teka-teki itu ? (jawab Ken Arok
berkata dengan nada setengah menantang).
_Iya
....kakang boleh memetik bunga di padepokan Panawijen ini._ (kata Ken Dedes sambil melempar senyum dari
bibirnya yang indah dan kerlingan mata menggoda).
_
Apa bisa kupercaya perkataanmu ?_
_
Mengapa tidak kakang._ (kata Ken Dedes dengan mantap)
_Baiklah
..........kakang akan mencobanya. Sesuatu yang paling indah bagi seseorang
adalah terletak pada rasa sejatinya._
_ Maksud kakang apa ?_
_
Rasa keindahan sejati itu baru dirasakan seseorang kalau orang itu cita-cita
dalam hidupnya terwujud. Kehidupan akan terasa sangat indah, sejuta
kata-katapun tidak akan mampu melukiskan keindahan yang dirasakannya. _ (kata
Ken Arok sambil menoleh wajah ayu yang
duduk di sampingnya itu).
Ken
Dedes terdiam sesaat merenungkan jawaban itu, kemudian matanya yang bening itu
berbinar, wajahnya baik bulan purnama tampak berkenan hatinya, kemudian berkata:
_ Apakah rasa keindahan itu dapat
bangkit karena melihat panorama keindahan alam ?_
_ Dapat saja begitu, tetapi tidak
selalu._
_ Maksudnya bagaimana ?_
_Yang menilai keindahan panorama
kadang hanya pikiran, buktinya kalau
pikiran sedang kalut, panorama seindah apa pun akan terlihat tidak indah.
Sebaliknya seseorang dapat saja merasakan keindahan yang sejati ketika cita-cita
hidupnya tercapai._
Mendengar kata-kata itu, Ken Dedes
merasa berkenan hatinya tanpa sadar mengangguk-angguk kecil, tampak dari bibirnya yang nyigar
kepundhung itu tersungging senyuman yang
melahirkan sejuta arti bagi Ken Arok.
Pada
saat itu tampak inang pengasuh yang sudah tua itu berjalan agak membungkuk
menghampiri kedua insan yang sedang
memadu kasih itu dan berkata:
_Den,
putri. Bapa brahmana mengutus den putri
untuk mengajak tamunya ke sasana bojana._ (kata inang pengasuh tua itu).
Ken
Dedes menganggukkan kepala, perlahan
melangkah sambil menarik tangan Ken Arok seraya berkata:
_Hayolah
kakang ! Nanti makanannya keburu dingin._ (ajak Ken Dedes).
Ketika
berjalan Ken Arok pandangannya seperti mencari sesuatu:
_
Apa yang kakang cari ?_ (tanya Ken Dedes),
_
Mahisa Aghni._ (tanya Ken Arok tentang
sahabatnya).
_
Kakang Mahisa Aghni disuruh bapa ke Lumajang ._
Keesokan
harinya ketika mahatari baru muncul di ufuk timur, setelah berpamitan Mpu
Purwa, anak muda itu menuntut kudanya diiringi putri brahmana itu.
_Dinda
! kakang akan segera melamarmu setelah urusanku selesai !_ (kata ken Arok
dengan nada serius).
_
Benar...............kakang ?_
Ken
Arok menganggukkan kepala, Ken Dedes berjalan mendekat setelah memetik
bunga cepaka mulya putih yang kini dimainkan oleh jari-jari lentiknya. Sekumtum
bunga itu diciumnya sebelum diserahkan kepada anak muda yang berdiri di
hadapannya.
_
Terimalah bunga ini , kakang !._
Tangan
anak muda itu meraih bunga itu kemudian menyelipkan di telinga. Pandangannya
menatap wajah ayu itu seakan tidak mau melepaskan barang sekejap pun. Ken Dedes
pun membalas dengan tatapan penuh arti. Anak muda itu melangkah perlahan ke
arah kuda sebelum melompat ke punggungnya. Ken Dedes masih saja menatap
tambatan hatinya ketika langkah kaki kuda itu perlahan meninggalkan regol luar
padepokan, putri brahmana itu berkata:
_
Hati-hatilah kakang !._ (kata Ken Dedes
menguatkan hatinya walau terasa berat melepas kepergiannya, tanpa terasa air
bening menetes dari sudut matanya yang indah yang diusapnya dengan ujung
selendang cindenya yang tersampir di
pundaknya). Langkah kuda itu bergerak semakin jauh meninggalkannya, tetapi
sepasang mata indah itu terus mengikutinya. Ketika langkah kuda itu akan
menyidat jalan, anak muda itu menoleh sambil melambaikan tangannya sesaat
kemudian tidak tampak lagi. Kembang
desa Panawijen itu hatinya berkata:
“.Aku
telah berhutang budi padanya, ketika aku dan bapa di rampok di hutan
Kagenengan. Ia telah menyelamatkan kehormatanku. Hal itulah yang menjadikanku
luluh seakan benteng pertahanan hatiku roboh. Apakah aku harus menebus hutang
budi dengan menyerahkan diriku ?
Sebenarnya kakang Anggara tidak pernah mengungkit-ungkit jasanya sama
sekali dan tidak pernah meminta imbalan apapun.
Tetapi hal itu yang membuatku sangat terkesan dengan pribadinya. Dia
seorang pemuda yang pemberani, gagah,
tidak sombong, cukup sopan dan menghormati orang tua. Tetapi ia lebih
banyak tinggal di padepokan Lohgawe. Tentu setiap hari bertemu dengan Ken Umang
putri brahmana Lohgawe yang kenes itu.
Dari pengakuannya tampaknya kakang Anggara
lebih menyukaiku daripada Ken Umang yang masih sangat belia dan
kekanak-kanakan. Aku berharap apa yang dikatakan kakang Anggara itu menjadi
kenyataan”.
v
Keesokan harinya di wisma
palereman padepokan Panawijen, ketiga brahmana dari kutaraja sedang berwawansabda:
_ Kuamati sejak kemarin, kau termenung
seperti orang bingung ! (kata Mpu Sridhara kepada Mpu Pamor).
_ Aku merasa ada yang salah._ (kata Mpu Pamor
singkat).
_ Apa yang kau anggap salah ?_ (kata
Mpu Sridhara).
_ Apa yang kita lakukan !_ (kata Mpu Pamor)
_ Maksudmu apa ?_ (kata Mpu Sridhara).
_
Kita terburu-buru menyerahkan perkara yang ditugaskan baginda kepada Mpu
Lohgawe !_ (kata Mpu Pamor dengan wajah yang menyiratkan rasa sesal).
_ Kenapa dengan kakang Lohgawe ?_
_Kakang Lohgawe berunding dengan
penjahat, musuh besar kerajaan tanpa sepengetahuan baginda._ (kata Mpu Pamor
dengan nada kecewa).
_Kesalahan baginda kurasa lebih besar,
meminta kaum brahmana menyembahnya adalah suatu kemurtadan. Kau ingat yang
dikatakan kakang Lohgawe, baginda bermaksud memusnahkan kaum brahmana kalau
tidak secara jasmaniah ya menghancurkan wibawanya !._ (kata Mpu Sridhara).
_
Mungkin yang kau katakan benar, tetapi merangkul penjahat yang terang-terangan
mengibarkan bendera permusuhan dengan kutaraja adalah sama sekali tidak benar._
(kata Mpu Pamor menyanggah).
_
Kau jangan salah menilai! Kakang Lohgawe memasang jebakan !_ (kata Mpu
Sridhara).
_
Apa kau yakin ?_ (kata Mpu Kuturan yang mulai ikut berbicara).
_
Iya! Kakang Lohgawe tidak merangkul tetapi memasang perangkap !._ (kata Mpu
Sridhara mantap).
_ Perangkap apa ?_ (sahut Mpu Pamor)
_
Perangkap untuk memperoleh kesempatan mendidik dan mengubahnya, bukannya ia
menjahati punggawa kerajaan karena bodoh ?_ (kilah Mpu Sridhara).
_
Aku tidak percaya kepada kakang Lohgawe untuk melakukan dharmanya terhadap anak
muda itu._ (sahut Mpu Kuturan).
_ Mengapa ?_ (kata Mpu Sridhara).
_
Karena anak muda itu sama sekali tidak bodoh ! Kakang Lohgawe meremehkan anak
itu, menganggapnya bodoh._ (kata Mpu
Pamor dengan nada kesal).
Beberapa
saat ketiga brahmana itu berhenti berbicara, sepertinya belum memperoleh
jawaban atas teka-teki dari langkah yang ditempuhnya.
_Bukan
kah kita tidak menyadari kalau anak itu
adalah murid Ki Sampar angin, pendekar kaloka yang sangat cerdik dan licin itu !_ (kata Mpu pamor meyakinkan).
_Bagaimana
kalau baginda mendengar anak muda itu jadi kepala pengawal Akuwu karena kita ?_
(kata Mpu Kuturan)
_Baginda
akan menuduh kita berkianat, tetapi mungkin masih bisa memaafkan kita karena
pemasukan uang pajak terus mengalir ke istana akibat punggawa penarik pajak
tidak lagi diganggu oleh anak muda itu. Bukankah hal itu yang diharapkan ?
(kilah Mpu Sridhara).
_Bagaimana kalau Mpu Lohgawe gagal ?_ (kata Mpu Kuturan).
_Kenapa
gagal ?_ (sahut Mpu Sridhara)
_Karena salah menilai siapa sebenarnya Ken
Arok._ (kata Mpu Kuturan).
_ Kakang Lohgawe tentu tidak bodoh, ia
tentunya punya cara tersendiri untuk menjinakkan seekor harimau atau ular._
(kilah Mpu Sridhara).
_Kakang
Lohgawe memang tidak bodoh, tetapi perkaranya tidak begitu!. Binatang itu dapat
hidup dengan hukum-hukumnya sendiri. Mereka akan binasa kalau hidup dengan
hukum kehidupan lain apalagi kehidupan brahmana. Jadi mungkin binatang itu
kelihatan jinak di depan pawangnya tetapi ia tetap menolak hidup dengan hukum
lain yang diterapkan pawangnya, karena ia memiliki naluri sendiri. Ia dapat saja
membunuh di luar dugaan pawangnya. Mengubah pikiran mungkin mudah tetapi naluri
tidak mungkin dirubah! _ (kata Mpu Kuturan dengan nada kesal).
_ Aku
tidak percaya !._ (kata Mpu Sridhara).
_
Lihat saja nanti ! _ (kata Mpu Kuturan).
_Iya
tunggu saja harimau itu menerkam korban-korbannya satu persatu!_ (timpal Mpu
Pamor dengan nada jengkel).
Ketiga
brahmana itu terdiam berhenti berbicara beberapa saat, ketika mendengar langkah
kaki menuju sasananya.
_Aku
mendengar kalian bersilang pendapat !._ (kata Mpu Purwa sambil melangkah
mendekati ketiga brahmana itu).
Ketiga brahmana itu sepertinya tampak malu
atas teguran mpu Purwa, kemudian salah seorang memberanikan berkata:
_ Tidak kakang._ (kata Mpu Pamor singkat).
_ Ingat, kita adalah brahmana ! Jangan
terlalu dekat dengan kekuasaan, apalagi memiliki pamrih-pamrih tertentu !
Fitnah besar yang terjadi saat ini akibat kita terlalu dekat dengan baginda.
Kita harus dapat memegang sifat satya dan legawa. Dengan sifat
itu brahmana dapat menyelesaikan perkara
ini. (kata Mpu Purwa setengah mengingatkan).
_Iya kakang._ (kata ketiga brahmana itu
dengan suara yang hampir berbarengan).
_Aku berniat akan bertapa di ardi Indrakila
besok._ (kata Mpu Purwa ).
_ Kami akan ikut, kakang !_ (kata Mpu
Sridhara).
Keesokan harinya ketika fajar menyingsing di
ufuk timur, ke empat brahmana itu berjalan menyusuri jalan kecil menelasak
hutan menuju kaki Indrakila. Embun pagi menerpa wajah para brahmana itu
sepertinya tidak lagi dirasakan. Tampak mentari rantak-rantak tampak
menyembul dari permukaan cakrawala timur, perlahan mulai naik, bias sinarnya semakin terang menembus
sela-sela rerimbunan daun pepohonan. Tampak embun di ujung dedaunan itu
terlihat jatuh ke wajah brahmana ketika
tersentuh wajahnya sewaktu berjalan menyelusup di sela-sela pepohonan itu.
Ketika bayangan sinar mentari sepenggalah, para brahmana itu sampai di
pertapaan yang dituju. Keringatnya mulai terlihat keluar dari pelipisnya.
Sementara napasnya terasa berkejaran, dadanya tampak naik-turun. Keringat itu
disekanya dengan ujung kain jubahnya yang berwarna kuning lembayung ketika
mereka sedang beristirahat sebelum memulai tapak samadinya.
v
Suasana
di balai agung pakuwon Tumapel malam itu tampak sepi. Akuwu terlihat berjalan
dari satu sudut ke sudut balai dengan wajah menunjukkan kegelisahan hatinya.
Keboijo sebagai kepala pengawal duduk di salah satu sudut balai dengan muka
tertunduk sepertinya mengerti tentang kegelisahan yang melanda hati
tuannya. Ketika Akuwu berjalan mendekat
kemudian berdiri di sampingnya, Keboijo tetap diam menunggu apa yang akan
dititahkan junjunganya. Sesaat kemudian bertanya:
_ Bagaimana keluargamu ?_
_Baik gusti, hamba bersyukur memiliki isteri
yang penuh pengertian dan anak-anak yang baik._
_Aku senang melihatmu bahagia._ (kata Akuwu
datar seperti sedang menimbang keadaan dirinya).
_ Apa yang dapat hamba kerjakan, gusti ?_
_ Tidak Keboijo, kau adalah abdi kinasihku,
kau selalu mengerti apa yang menjadi kegelisahanku._
_ Iya....gusti. Tetapi hamba tidak berani
mendahuluinya sebelum gusti berkenan mengatakannya terlebih dahulu._
Akuwu terdiam sesaat, wajahnya tampak menatap
lurus ke depan dengan tatapan kosong disertai raut wajah menyiratkan
kegelisahan sepertinya menatap tanpa ujung dan muara penyelesaian. Sejenak kemudian berkata:
_Aku prihatin baginda sedang berselisih
dengan para brahmana._
_ Kasinggihan gusti._
_ Mengapa hal itu kini berlarut-larut ? Tugas
menangkap durjana adalah tugas prajurit, bukan brahmana._
_Baginda kini telah memerintahkan para
brahmana untuk menyelesaikan perkara Ken Arok yang menggegerkan itu._
_ Iya....tentunya cara brahmana tidak sama
dengan cara prajurit._
_ Hamba juga tidak tahu cara apa yang akan
digunakan para brahmana._
_ Keboijo! Kau tahu, dalam pisowanan lalu baginda menegurku
dengan nada murka tentang masalah keamanan dan pajak dari Tumapel. Kini
bertambah lagi soal Ken Arok dan para brahmana. Kurasakan tugas di
pundakku ini makin lama makin
menghimpitku._
_Memang beberapa kali rajapati atas punggawa Kediri terjadi di tlatah
Tumapel. Selain itu kini semakin banyak kawula membangkang membayar pajak,
gusti._
_Itulah yang menyebabkan aku kena murka. Lalu
apa yang dapat kuperbuat untuk Tumapel dan Kediri ? Aku rela berbuat apa saja
asalkan perkara yang membebani kutaraja selama ini dapat diselesaikan._
_Menurut hamba beban paduka sebenarnya bukan
hanya karena tugas ._
_ Kalau bukan tugas, karena apa ?_ (sahut
akuwu menatap wajah Keboijo).
_ Tetapi................_ (kata Keboijo
tertahan)
_ Tetapi apa ?_ (desak akuwu).
_Maafkan
kelancangan hamba gusti, sebenarnya gusti saat ini membutuhkan seorang
pendamping yang dapat diajak berbagi suka dan duka._
_ Maksudmu, seorang isteri ?_
_ Kasinggihan dhawuh._
_Dalam situasi gawat seperti ini, apakah
pantas bagi seorang akuwu mencari seorang perempuan sebagai isteri ?_
_ Hamba kira tidak ada salahnya, gusti. Hamba
tidak tega melihat gusti Akuwu sering termenung sendiri sepertinya tidak kuasa menyapih
duka sepeninggal gusti putri Pambayun berpulang ke swargaloka_
_Memang kuakui ..........sudah cukup lama aku
hidup menduda. Aku sepertinya larut dalam kabut duka, setiap malam kesepian
datang merayap menggerogoti semangat hidupku. _
_Keberadaan seorang isteri akan dapat
mengobati kesedihan, meringankan beban
ketika menghadapi situasi genting seperti saat ini, gusti._
Akuwu tampak mengangguk-angguk kecil, seperti
membenarkan kata-kata dari abdi kinasihnya. Sesaat kemudian berkata:
_Dua perkara menghimpitku sekaligus. Pertama,
tugasku sebagai akuwu yang akhir-akhir ini banyak dicela baginda. Kedua,
masalah kehidupanku sendiri yang kian rapuh._
_ Sebaiknya, gusti mengunjungi brahmana
Limparan._
_ Brahmana Limparan?_
_Kasinggihan gusti, bukan kah sudah lama
gusti tidak mengunjunginya?_
Akuwu yang bertubuh tinggi tetapi sepadan
tubuhnya itu, kini tampak manggut-manggut tanda setuju saran abdi kinasihnya.
Angan-angannya menerawang jauh mengingat brahmana Limparan guru dan
penasehatnya.
_Kukira pendapatmu itu baik Keboijo. Tetapi
saat-saat genting seperti ini aku tidak bisa meninggalkan pakuwon dalam keadaan
komplang._
_ Benar, gusti. Tetapi mengunjungi bapa Limparan adalah untuk memperoleh petunjuk dan
jalan terang ke arah penyelesaian perkara ini. Jadi menurut hamba, kepergian
gusti akuwu tidak bisa ditunda lagi._
_ Baik, tetapi kepergianku dengan sesideman, jangan sampai ada yang tahu!_
_ Sendika dhawuh, gusti._
Keesokan hari, brahmana Limparan yang usianya
sudah uzur itu menerima kedatangan akuwu.
_ Njanur gunung anak mas Akuwu
mengunjungi padepokan ini._ (kata brahmana tua itu perlahan dengan nada suara
datar)
_ Iya....bapa. Sembah bektiku kunjuk,
bapa._
_ Iya...... iya._
Akuwu menceriterakan perkara yang di hadapi
kutaraja mulai awal sampai dengan berita brahmana dibebani tugas baginda untuk
menyirep daharu perlawanan Ken Arok saat ini. Brahmana tua itu terdiam sambil
mendengarkan dengan seksama satu persatu perkara yang diutarakan akuwu.
Kemudian ia berkata:
_ Anak mas Akuwu, bapa sudah lama sekali
mundur dari dunia keramaian. Bagaimana bapa dapat memberi nasehat urusan
ketataprajan seperti yang anak mas minta?_
_Aduh......bapa, ibarat perahu berlayar
ananda seperti kehilangan kemudi tidak tahu lagi arah tujuan yang pasti,
sehingga beberapa kali pisowanan, baginda murka. Tega kah bapa melihat ananda
dalam keadaan seperti ini? _ (kata akuwu dengan nada memelas)
_Bapa sungguh tidak tega melihat keadaanmu
saat ini, tetapi baiklah bapa akan menyuplik jangka tentang kekuasaan Kediri
dan Tumapel. Mungkin ini dapat sedikit memberi arah bagi langkahmu ke depan,
nak mas._
_ Jangka Kediri dan Tumapel, bapa?_
_ Iya.........bapa memegang jangka itu
sebagai amanat dari mendiang Gusti prabu Hemabupati, cucu maharaja baginda
Airlangga yang menjadi raja di Jenggala._
_Ananda sama sekali tidak menduga, bapa masih
menyimpan jangka sejarah Kediri dan Tumapel yang keadaannya semakin tidak
menentu akhir-akhir ini._
_Bapa melihat dari sangkalan tahun,
sepertinya sudah titi-wancinya terjadi perubahan kekuasaan._
_ Perubahan kekuasaan kutaraja?_
_ Iya, moga-moga bapa tidak keliru._
_Apakah keadaan gara-gara saat ini
dapat dikatakan tanda-tanda perubahan seperti yang bapa maksud?_
_ Suratan takdir ibarat roda berputar, ada
yang kalah dan ada yang mengalahkan._
_ Kalah dan mengalahkan, bapa?_
_ Begitulah, anak mas._
_Siapa yang kalah dan siapa yang mengalahkan,
bapa?_
Brahmana tua itu diam sejenak, kemudian
melanjutkan bicaranya.
_Ketahuilah ananda, negeri Tumapel nanti akan
menjadi negeri yang besar, sedangkan Kediri akan tersaput lebu oleh
perubahan itu._
_ Apakah Tumapel akan mengalahkan Kediri,
bapa ?_
Brahmana Limparan perlahan menganggukkan
kepala.
_Bukan kah Tumapel hanya sebuah pakuwon?_
_Benar yang nak mas katakan. Tetapi perubahan
itu ibarat cakra manggilingan yang tidak bisa dicegah oleh siapa pun.
Jangka akan membuktikan nantinya Tumapel akan menjadi sebuah kutaraja dari negeri besar dan kaloka._
_Siapa yang akan menduduki tahta Tumapel
nanti, bapa?_ (desak akuwu disertai tatapan mata penuh harap)
_Bapa, tidak berani membuka tabir rahasia
ini, anakku. Hanya di situ digambarkan yang kuat menduduki tahta Tumapel adalah
seorang yang dapat memperisteri seorang putri,
cucu dari baginda prabu Hemabupati yang memiliki tanda nareswari pada
bagian bagaretnanya._
_Apakah bapa mengetahui, di mana putri
dimaksud ?_(desak Akuwu tidak sabar)
Brahmana tua itu berhenti berbicara sambil
menundukkan wajahnya yang sudah keriput itu, beberapa kedipan mata sepertinya
suatu tanda bahwa ia sedang mengingat peristiwa dua puluh tahun lalu. Kemudian
perlahan berkata:
_Maafkan bapa, terpaksa bapa tidak dapat
mengungkap rahasia ini. Itu sudah menjadi janji bapa pada baginda Hemabupati
sebelum mangkat. Kalau itu bapa langgar,
akan terkena walad._
Akuwu wajahnya terlihat kecewa mendengar
kata-kata gurunya. Ia hanya bisa tertunduk lesu, seakan kabut tebal yang
menyelimuti pikiran dan hatinya kian bertambah.
_ Baiklah, bapa. Ananda mohon diri pulang ke
Tumapel._
_Tunggu!_ (kata brahmana ketika melihat
muridnya pergi dengan hati kecewa)
_
Apakah nak mas dapat kupercaya?_ (kata Mpu Limparan sambil menatap wajah akuwu)
_ Dipercaya apa, bapa?_
_Bapa akan membuka rahasia ini tetapi dengan
satu syarat, ananda harus berjanji._
_ Syarat apa, bapa?_
_ Nak mas tidak boleh membuka rahasia ini
kepada siapa pun dan sewaktu meminang putri itu harus dengan cara baik-baik.
Apakah nak mas mau berjanji?_
_Tentu.....bapa! Ananda berjanji akan
memegang teguh janji itu, apabila sampai
melanggar ananda akan binasa._
_ Ketahuilah ananda, cucu baginda Hemabupati
itu adalah bernama niken Anjar Pawestri, kutitipkan pada sahabatku Mpu Purwa di
Panawijen._
Mendengar penuturan gurunya, akuwu hanya
mengangguk-anggukan kepala sambil tatapan wajahnya agak tertunduk.
_Terima kasih, bapa. Tetapi yang masih
menjadi teka-teki bagi ananda, mengapa cucu seorang raja binatara sampai
dititipkan ke padepokan Panawijen?_
_ Ceriteranya panjang, anakku!
Ketahuilah! Waktu itu terjadi
perselisihan antara Panjalu dan Jenggala. Baginda Jayabaya di Panjalu
bersengketa dengan kakaknya baginda Hemabupati di Jenggala. Perang saudara
tidak dapat dihindari lagi. Baginda Hemabupati kedapatan kalah perang, hampir
seluruh keluarganya terbunuh. Ketika itu
baginda yang terluka parah menitipkan pesan kepada bapa agar cucunya
diselamatkan. Akhirnya bapa berhasil lolos dari kobaran api kedaton yang dibumi
hanguskan pasukan Panjalu, kemudian menitipkannya kepada sahabat bapa, brahmana
Mpu Purwa di Panawijen._
_ Mengapa, bapa tidak mengasuhnya sendiri?_
_Bapa adalah brahmana wakil ring kasogatan di
negeri Jenggala, tentu akan mudah diketahui telik sandi Panjalu dan itu akan
mengancam keselamatan gusti putri Anjar Pawestri. Semenjak bayi itu kutitipkan
di Panawijen, bapa pun harus menghilangkan jejak meninggalkan negeri Jenggala
yang telah runtuh, selanjutnya madepok
di dusun Jugil lereng selatan ardi Welirang
yang jauh dari keramaian ini, nak mas._
Akuwu diam tertegun mendengar kisah pelarian
yang memilukan itu. Rupanya ia sedang hanyut terbawa kisah tragedi yang
dituturkan gurunya itu. Dalam hatinya berkata:
“Sebuah pelarian yang luar-biasa, ini
semua berhasil karena bapa guru Limparan setia dan teguh memegang janji kepada
baginda Hemabupati”.
Setelah beberapa lama, akuwu berkata:
_Bapa, ananda merasa sangat berterima kasih
atas nasehat dan arahan, bapa. Perkenankan ananda mohon diri pulang ke
Tumapel._
_ Hati-hatilah anakku! Jangan sekali-kali kau langgar janjimu!._
_ Bapa tidak perlu khawatir, ananda akan
selalu memegang janji itu, bapa._ (kata Akuwu sambil memberi hormat dan
beranjak pergi meninggalkan padepokan Jugil dengan wajah berseri-seri)
v
Keesokan
harinya, sepulangnya dari padepokan Jugil, Akuwu dihadap oleh Keboijo, pimpinan
pasukan pengawal di wisma paningrat.
_ Apa kau pernah pergi ke padepokan
Panawijen?_
Keboijo tampak kaget, tiba-tiba
tuannya melempar pertanyaan secara mendadak, tetapi ia kendalikan dirinya di
antara kebingungannya menebak arah pertanyaan itu, wajahnya kemudian diangkat sambil menarik
napas, lalu berkata:
_ Pernah, gusti._
_ Apa yang kau lihat?_
_ Kalau hamba tidak keliru ada seorang putri
brahmana yang cantik rupawan dan halus budi bahasanya._
_ Katakan siapa namanya ?_
_ Putri brahmana Purwa itu bernama Ken Dedes.
Konon kecantikan dan keagungannya tersohor seantero Tumapel._
_ Apakah dia putri satu-satunya di padepokan
itu?_
_ Iya....gusti. Tidak ada lagi putri brahmana
Purwa selain Ken Dedes._
Tampak Akuwu menarik napas panjang, wajahnya
berubah berbinar seakan telah menemukan titik-titik terang, pandangannya menatap ke depan sedang
membayangkan citra putri brahmana seperti yang diceritakan gurunya brahmana
Limparan. Akuwu masih tampak
berdiri mematung sambil kedua tangannya dilingkarkan dadanya.
Sebentar-sebentar ujung jarinya dimainkan di bibirnya. Tetapi masih ada
teka-teki yang masih membingungkan:
“Bapa guru Limparan mengatakan gadis itu
bernama Anjar Pawestri. Tetapi mengapa bernama Ken Dedes. Apakah mungkin bapa
brahmana Purwa sengaja mengubahnya agar tidak diketahui oleh penguasa
Panjalu?”. Aku akan membuktikannya
sendiri.
_ Baik, Keboijo. Antarkan aku besok ke
Panawijen!_
_Apakah tidak sebaiknya, mengirim utusan
terlebih dahulu, gusti ?_
_Tidak,
aku ingin melihatnya sendiri._
_Sendika dhawuh gusti._
Ketika pagi tiba, kereta kuda itu tampak
telah siap di depan bale agung pakuwon Tumapel. Keboijo dengan beberapa puluh prajurit
tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Panawijen yang jaraknya tidak jauh
dari pakuwon. Kini, akuwu tampak berjalan keluar bale agung menuruni undakan
menunju kereta sambil memberi isyarat berangkat. Tampak Keboijo dan Tumpak
Jalak dengan gagahnya duduk di punggung kuda di barisan paling depan memandu jalannya kereta. Langkah kaki kuda
itu bergerak perlahan keluar pintu gerbang utama Pakuwon diiringi sepuluh orang
prajurit pengawal. Ketika kereta iring-iringan itu melintas di jalan banyak
kawula alit menyaksikan iringan kereta itu sambil berdiri berjajar. Kawula alit itu bersorak sorai, ketika akuwu
melambaikan tangan ke arah mereka.
Ketika iring-iringan telah
memasuki regol luar padepokan Panawijen. Suasana padepokan itu tampak sepi,
seorang cantrik padepokan terlihat berlari tergopoh-gopoh mendekati Keboijo,
kepala pengawal.
_He......cantrik ! Sampaikan kepada gurumu,
gusti akuwu akan berkenan singgah di padepokan ini !._
_Ampunkan hamba, gusti. Bapa brahmana saat
ini tidak berada di padepokan._
_ Kemana ?_
_Sudah beberapa hari ini tidak tampak. Hamba
tidak mengetahui perginya._
_Baiklah.......bolehkah gusti Akuwu singgah
sebentar di padepokan ini ?_
_Oh............silahkan!._ (kata cantrik itu
tampak agak gugup mempersilahkan).
Akuwu sudah turun dari kereta, pandangannya
diarahkan untuk melihat-lihat keadaan padepokan yang tampak asri. Sesaat
kemudian akuwu melangkahkan kaki menuju sendang yang airnya jernih tidak jauh
dari pendapa. Tertegun melihat ikan-ikan yang sedang bercengkerama di balik
daun teratai merah yang bunganya menyembul di permukaan. Keboijo mengiringinya.
_ Aku tidak menduga suasana padepokan ini
begitu asri. Sejauh mata memandang ke arah barat tampak ardi Indrakila dan ardi
Panderman, ke arah timur ardi Bromo, ke arah tenggara tampak ardi Mahameru yang
di kepundannya selalu menyembulkan asap putih bergulung-gulung ke
angkasa._
_ Kasinggihan gusti._
_ Apakah putrinya tinggal di padepokan ini ?_
_ Iya, hamba sudah menyuruh menyampaikan
kedatangan gusti._ (kata Keboijo).
Akuwu tampak mengangguk-angguk, tidak lama
kemudian seorang anggota pengawal berjalan agak terburu-buru mendekat akuwu,
sambil berkata:
_ Gusti akuwu dipersilahkan ke bale pendapa._
Akuwu kini berjalan diiringi Keboijo menaiki
tangga trap-trapan pendapa, kemudian duduk di kursi rotan yang tertata
rapi di tengah ruangan. Tidak lama dari
pintu butulan gandok yang menghubungkan bale pendapa dengan ruang dalam
itu terdengar suara deritan pintu. Dari balik pintu itu muncul sesosok gadis
berwajah elok mempesona, berperawakan langsing tinggi semampai, di telinganya
terselip sekuntum locari putih. Gadis itu
memandang akuwu dengan seulas senyum. Akuwu terpana, pandangan matanya tanpa kedip seperti tersihir tak ubahnya menyaksikan dewi
Supraba turun dari kahyangan. Dalam hati akuwu berkata:
“Citra
kembang padepokan Panawijen ini ternyata tidak hanya cantik tetapi juga
memancarkan keanggunan melebihi putri kedaton sekali pun. Walau hidup di
padepokan sederhana, guratan dan trah kebangsawanannya masih kentara sekali”. Merasa
ditatap, gadis itu menundukkan wajahnya tampak
tersipu malu. Ia memberi hormat
dan mempersilahkan tamunya duduk. Tampaknya gadis itu akan bergegas pergi,
tetapi sebelum melangkah, akuwu menahannya dengan berkata :
_ Tunggu sebentar cah ayu ! Aku adalah akuwu
Tumapel ingin bertemu bapa brahmana._
_Bapa sedang tidak ada di padepokan._ (kata
Ken Dedes dengan suara manis sepet madu).
_ Lalu siapa andika ?_ (kata Akuwu)
_ Nama hamba Ken Dedes, putri bapa brahmana._
_Duduklah bersamaku, aku ingin berkenalan
denganmu._ (pinta Akuwu).
_ Maaf gusti, bukannya hamba menolak tetapi tidak sopan bagi seorang
gadis menemui tamu tanpa ada orangtua yang mendampinginya._
_ Ah.....tidak apa, aku datang bukan untuk
maksud buruk malahan sebaliknya aku ingin melamarmu !._
Mendengar kata akuwu seketika Ken Dedes
bagaikan tersambar halilintar di siang bolong, bumi padepokan yang selama ini
tenang seakan diguncang gempa bumi, air sendang yang berada di sudut
padepokan tampak mendidih. Ken Dedes tidak mengira seorang akuwu yang menjadi
panutan kawula seluruh Tumapel menyatakan maksud meminang dirinya dengan cara
serendah ini. Seketika Ken Dedes bergegas lari menuju pintu bilik dalam, tanpa
diduga di depan pintu itu sudah dijaga rapat oleh beberapa prajurit yang menghalanginya. Tangan-tangan kuat itu
menyahutnya. Tangan halus itu mencoba meronta, tetapi apa arti rontaan seorang
gadis dibanding tangan-tangan kuat para pengawal yang siap memberandat itu.
Ketika kedua tangan gadis itu tidak berdaya, dua orang pengawal segera
menariknya berjalan untuk di hadapkan pada akuwu.
_Ken Dedes sebenarnya aku tidak bermaksud
memperlakukanmu seperti ini! Tetapi mengapa kau menolakku?_ (kata Akuwu
diiringi senyuman).
_ Tidak ! Kau tidak beda dengan raja Daha!
Memperlakukan keluarga brahmana seperti pesakitan! Pantas kawula di Tumapel kini tidak
menghormatimu lagi!_ (kata Ken Dedes sambil meronta melepaskan kedua tangannya
tetapi rupanya sia-sia). Menerima umpatan itu sang akuwu seketika darahnya
terasa bergolak mendidih, harga dirinya seorang yang paling berkuasa di Tumapel
merasa terhina, wajahnya seketika berubah merah padam, matanya tampak merah
berkilat kocak ngondar-andir disertai dengus napas memburu. Di balik itu
hasrat birahinya memuncak ketika menyaksikan putri brahmana itu
meronta-ronta. Kemudian tan taha-taha
berkata dengan nada membentak:
_ Pengawal ! Bawa gadis ini ke kereta !_
Akuwu segera bergegas meninggalkan bale
pendapa itu menaiki kereta, gadis itu meronta ketika diseret akan dinaikkan
paksa ke dalam kereta.
_
Lepaskan aku ! Lepaskan ! Kau biadab ! _ (rontak gadis itu sejadi-jadinya
tetapi teriakan itu tidak dihiraukan). Tiba-tiba seorang pemuda berlari akan
menolong putri gurunya yang sedang meronta itu. Pemuda itu mendekati kedua
orang pengawal yang memegang kedua tangan Ken Dedes. Melihat gelagat pemuda itu akan memberi
perlawanan, kedua pengawal lainnya
meloncat dari punggung kuda dan segera menghadang. Sambil berkacak
pinggang kedua prajurit itu berkata:
_
Kau mau apa ?_ (kata salah seorang prajurit dengan angkuhnya).
_
Tentu saja aku akan menyelamatkan putri padepokan ini dari orang-orang jahat seperti kalian !._
_
Heh....tutup mulutmu ! Minggir !._ (bentak salah seorang prajurit lainnya).
_
Aku tidak mundur sebelum kau melepaskannya!_
_
Ho...hoo.......hhoooooo ! Sesumbarmu seperti jawara saja ! Lihat kau ini
tidak lebih dari anak desa yang konyol !_ (ejek prajurit).
Seketika
Wreksapati tidak dapat mengendalikan dirinya dan melabrak dua orang prajurit
itu. Serangan-serangan Wreksapati dapat
ditangkis dengan mudah oleh kedua prajurit itu. Pertarungan itu tampaknya
berjalan tidak seimbang dan kini berbalik kedua prajurit itu dengan cepat
menyerangnya. Pemuda itu sepertinya tidak kuasa menahan serangan prajurit pengawal yang tampaknya sudah
terlatih dalam pertarungan. Tidak berapa lama pukulan demi pukulan serta
tendangan bersarang menghajar babak belur ke arah tubuhnya. Ketika pemuda itu tampak melemah gerakannya
dengan kaki sempoyongan, salah seorang pengawal menghunus keris yang diselipkan
di pinggangnya dan dengan sekali gerakan cepat dan menghentak disarangkan ke
dada pemuda itu. Darah menyembur dari luka tusukan itu. Ujung keris tembus
sampai belikat, pemuda itu roboh bersimbah darah beberapa saat berkelojotan dengan mata
melotot sesaat lagi tubuhnya tidak
bergerak. Perempuan tua yang menyaksikan
kejadian singkat itu seketika menjerit-jerit sejadi-jadinya minta tolong pada
orang-orang di sekitar padepokan. Kemudian berlari menubruk tubuh anaknya kini
telah tidak bernyawa.
_
Wreksapati anakku ! Mengapa kau nekat
melawannya !. Akhirnya kau jadi korban, nak !._ (jerit perempuan tua itu
memilukan sambil menggoncang-goncang tubuh anaknya yang terkulai lemas itu disertai raungan tangis menyayat
hati). Ken Dedes melihat kejadian itu
dengan linangan air mata yang
terbendung, napasnya seakan sesak, kakinya seakan tidak berdaya untuk menyangga
tubuhnya. Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap, bumi terasa berputar-putar dan sesaat kemudian gadis ayu berkuning
langsat itu jatuh kantaka tidak sadarkan diri. Emban wanita tua yang melihat putri asuhannya jatuh pingsan segera berlari
menghampirinya, sambil menggoncang-goncang tubuhnya. Tanpa disadari kedua orang
prajurit sudah berdiri di belakangnya. Tangan prajurit itu menjambak rambut
wanita tua itu dan menariknya dengan sontak. Emban tua itu jatuh gelasaran di
tanah. Salah seorang prajurit itu membopong Ken Dedes. Ketika itu emban tua itu
berusaha bangkit untuk merebut putri asuhannya, tapi apa daya bagi seorang
wanita yang telah renta itu, dengan sekali kibasan tangan, emban tua itu jatuh
tersungkur di tanah sambil merangkak-rangkak bangun sementara tangannya
berusaha menggapai-gapai.
_
Den putri !.......Den ........! _ (pekik wanita tua itu sebelum menghembuskan
napas terakhirnya).
_
Biyung !............biyung !_ (teriak Ken Dedes ketika tersadar dari
pingsannya).
_
Lepaskan aku ! ......lepaskan aku ..!._
(ronta gadis itu ingin melepaskan dari cengkeraman tangan prajurit).
_He prajurit lepaskan !._
(perintah Akuwu, prajurit itu melepaskan cengkeraman tangannya). Ken
Dedes segera berlari ke arah biyung embannya yang terkulai lemah tak bernyawa
dalam keadaan memilukan itu.
_Biyung............biyung,
bangunlah biyung !._ (kata Ken Dedes sambil menggerak-gerakkan tubuh
wanita tua yang tampak pucat itu). Setelah beberapa saat menggoncang-goncangkan
tubuhnya, barulah Ken Dedes sadar bahwa inang pengasuhnya telah tidak bernyawa
lagi. Seketika itu gadis itu berteriak memilukan : Biyung. !...biyung !
_ Oh ...biyung...........jangan
tinggalkan aku biyung !_ (tangis Ken Dedes memilukan melihat inang pengasuhnya
meninggal di dalam dekapannya).
_
Kau memang pembunuh.!._ (Ken Dedes
dengan wajah geram sambil tangannya menuding salah seorang prajurit yang
menyebabkan kematian). Prajurit yang
dituduh itu hanya tertawa. Ken Dedes makin marah dengan sikap prajurit itu,
lalu bangkit dan berkata:
_
Kau memang bukan manusia ! tetapi binatang !_ (umpat Ken Dedes)
Di tengah-tengah suasana hiruk-pikuknya
keributan berlangsung, tiba-tiba seorang
pemuda datang sambil berlari ke tempat itu. Ken Dedes memanggilnya:
_ Kakang Wiraprana ! (Kedua insan itu berpelukan cukup lama)
_
Kakang lihatlah biyung dan Wreksapati telah tiada !_ (kata Ken Dedes sambil
menunjuk tubuh perempuan tua yang masih terlentang di tanah). Wiraprana lari
menghampiri biyung emban yang sudah
tidak bernyawa itu, sambil memeriksa keadaannya. Kemudian berlari menghampiri
saudaranya Wreksapati yang tergeletak bersimbah darah. Seketika darahnya
mendidih, matanya merah berkilat laksana mata elang, kemudian berkata dengan
nada geram.
_
He ....prajurit biadab ! Belum pernah
kusaksikan kebiadaban seperti yang kalian lakukan ini !._
_
Haa....haaaaaaa.........haaaaaaaaaa !.
(tawa Tumpak Jalak nyaring membalas umpatan pemuda itu).
_
Kau seorang diri, mau apa ?_ (tantang Tumpak Jalak sambil berlagak angkuh
berkacak pinggang berjalan mengelilingi pemuda itu dengan pandangan meremehkan)
_
Aku akan mempertahankan harga diriku sebagai murid padepokan._ (kata Wiraprana
tegas).
_
Ho....hoo...hooo ! Lebih baik kau ikut
kami menjadi prajurit Tumapel._
_ Apa ? Menjadi prajurit bejat seperti kalian!_ (kata
Wiraprana sambil tangannya menuding wajah Tumpak jalak).
_
Iya...daripada jadi murid padepokan berkepala gundul dengan kain warna
lembayung seperti itu !._ (sahut Tumpak Jalak mengejek).
_
Huh...kau benar-benar telah menghina padepokan ini! Rasakan ini !._ (kata
Wiraprana berteriak sambil menyerang Tumpak Jalak ketika tidak lagi dapat
menahan amarahnya). Tumpak Jalak dapat mengelak serangan yang datangnya cepat
dan bertubi-tubi itu. Sesaat kemudian
Tumpak Jalak melompat surut ke belakang dengan gerakan yang cukup gesit.
Kemudian berkata:
_
Hei .......Wiraprana ! Kuperingatkan kau untuk membiarkan kami pergi! Jangan
menambah korban akibat ketidak-sabaran kami!_ (bentak Tumpak Jalak sambil
tangannya menuding Wiraprana).
_
Bagiku mati lebih baik daripada membiarkan bedebah busuk seperti kalian mengotori padepokan ini._
(balas Wiraprana dengan gagah).
_
Akan kuladeni tantanganmu !._ (kata Tumpak Jalak sambil melompat ke depan
mendekati Wiraprana).
Kedua
orang itu campuh kembali ke arena
pertempuran dengan sengit mengadu kerasnya tulang, uletnya kulit. Keduanya
saling menyerang dengan segenap tenaga. Jurus demi jurus berlalu, tampaknya
pertarungan masih berjalan seimbang. Elmu kanuragan Wiraprana benar-benar tidak
dapat dipandang remeh. Bahkan ketika memperoleh kesempatan anak itu dapat
menyarangkan tendangannya secara telak ke rusuk lawannya. Tumpak Jalak
terhuyung surut ke belakang sambil batuk-batuk mengeluarkan darah segar dari
mulutnya. Sesaat kemudian Tumpak Jalak maju ke tengah arena setelah mengatur
pernafasannya. Kali ini serangannya lebih ganas disertai kibasan pedang yang
menjilat-jilat laksana lidah seekor naga.
Wiraprana melompat-lompat menghindari sabetan pedang itu. Ketika Tumpak
jalak mulai tampak mengendor serangannya dan terlihat semakin lamban, kini ganti Wiraprana mengambil kesempatan untuk
menepis tangan lawannya. Pedang terlepas dari genggaman meletik ke udara.
Tumpak Jalak kaget dan terngaga mulutnya. Belum sempat tersadar, Wiraprana
melompat sambil menyahut pedang itu dan dengan gerakan secepat kilat menyabetkan pedang itu ke leher
lawannya. Terdengar teriakan mengaduh keluar dari mulut lawannya yang meringis
menahan sakit. Tumpak Jalak
terhuyung-huyung akhirnya jatuh terjerembab ke tanah dengan darah bersimbah
dari lehernya. Tampak sesaat
berkelojotan sebelum tubuhnya terkulai lemas menghembuskan napasnya yang
terakhir.
_
Huh ......anak muda ini membunuh teman kita, hayo kita keroyok !._ (kata
Keboijo memerintahkan sepuluh anak buahnya mengeroyok anak muda itu). Wiraprana
berusaha meloncat ke sana-ke mari menghindar serangan dan kepungan sepuluh
orang lawannya. Waktu pertarungan terus berlalu, Wiraprana sama sekali tidak
dapat mengembangkan serangannya karena jumlah lawan yang dihadapinya tidak seimbang. Yang dapat dilakukan hanya menghindar dari
serangan senjata yang bertubi-tubi.
Bahkan makin lama gerakannya makin lamban. Ketika dalam suatu kesempatan
kelengahan itu dimanfaatkan oleh Keboijo melempar pedangnya. Secepat kilat
pedang itu melesat ke arah dada
Wiraprana sampai menimbulkan suara berdesing. Ketika mengetahui, melesatnya pedang itu sudah sangat dekat,
sepertinya sudah terlambat dan akhirnya
tidak kuasa lagi menghindar dan.........achh...........pedang itu
menembus dada Wiraprana.
Seketika itu anak muda kaget setengah
terbelalak, sambil berdiri mematung menahan rasa sakit, sebentar kemudian jatuh
terduduk dan roboh bergelimpangan di
tanah bersimbah darah.
_
Oh.....kakang !_ (pekik Ken Dedes ketika mengetahui Wiraprana jatuh tidak
berdaya. Sesaat kemudian gadis itu merasa pandanganya gelap dan ambruk kantaka tidak sadarkan diri seperti tak kuasa menahan beban batinnya
terobek-robek). Salah seorang prajurit dengan cekatan menyahut tubuh gadis itu
dan secepat kilat menaikkan ke dalam kereta disandingkan dengan akuwu. Seketika
kusir kereta itu seperti memperoleh aba-aba dari kepala pengawal segera
mencambukkan pecutnya dengan keras,
kuda itu kaget dan melonjak
sontak dengan kaki depannya terangkat. Sesaat kemudian kusir itu
menggebrak lari kereta itu secepat kilat meninggalkan padepokan disertai
kepulan debu berhamburan ke udara. Prajurit pengawal bergegas mengikutinya di
belakang. Salah seorang cantrik
padepokan berlari ke arah kenthongan di sudut pendapa. Tangannya meraih
kayu pemukul dan tidak berapa lama terdengar suara kenthongan titir sandi
rajapati. Seketika orang-orang desa ramai berdatangan, menyaksikan tiga
orang yang jatuh menjadi korban pembunuhan dengan rasa pilu dan bulu roma
bergidik.
v
Nyala
api obor di sudut padepokan Lohgawe itu tampak bergerak-gerak diterpa angin
yang malam itu bertiup cukup kencang.
Hujan turun tidak begitu deras tetapi disertai kilatan petir yang keras
menggelegar laksana membelah angkasa. Di
tengah keremangan malam itu seekor kuda berlari memasuki regol padepokan
Lohgawe. Penunggangnya tampak basah kuyup, segera meloncat dari punggung kuda.
Kuda itu dituntunnya perlahan memasuki istal yang letaknya di belakang
padepokan. Pemuda itu melangkah menuju biliknya di samping padepokan. Tidak lama kemudian terlihat api unggun
menyala di beranda depan bilik bambu itu. Pemuda itu tampak sedang membuat
perapian untuk menghangatkan tubuhnya yang hampir setengah hari diguyur hujan.
Setelah beberapa saat menghangatkan tubuhnya, tiba-tiba anak muda itu
dikagetkan oleh suara panggilan seorang gadis.
_ Kakang! Ini sekedar untuk penghangat._
(kata gadis itu menyuguhkan secangkir wedang panas dan jajanan hangat).
Anak muda itu menoleh dari arah datangnya
gadis yang memanggilnya itu, sesaat
kemudian gadis itu berjalan menghampirinya sambil meletakkan wedang hangat dan
beberapa potong jajanan.
_ Terima kasih, kau repot-repot saja._
(Kata Ken Arok sambil sekilas memandang gadis belia itu).
_ Apa bapa sudah pulang dari pakuwon ?_
_ Bapa
?_ (kata Ken Umang setengah keheranan).
_
Iya......bapa dan paman Sampar angin !_
_ Bapa dan paman sedang duduk di ruang
dalam, kakang._
Air hujan yang jatuh dari atap ijuk
itu terdengar gemericik, sebentar-sebentar kilatan cahaya petir menyibak gelapnya malam. Sekilas Ken Arok
melihat wajah gadis belia itu tampak cantik dengan dandanan yang mengundang
birahi. Wedang hangat itu segera
diseruput, kemudian Ken Arok bersiap akan menuju ruangan dalam yang letaknya
berseberangan dengan biliknya. Belum lagi melangkah, tangan halus itu
menahannya.
_ Kakang mau kemana ?_ (tanya gadis itu
dengan nada agak kecewa sambil wajahnya bersungut-sungut).
_ Menemui bapa dan paman !._
_Tunggu !_ (kata Ken Umang manja sambil
tangannya memegang erat lengan Ken Arok).
_Kakang membohongiku! Kemarin berjanji
akan mengantar ke bukit, nyatanya ditinggal pergi._ (kata Ken Umang merajuk).
_ Aku nekat pulang dengan basah kuyup
seperti ini agar besok pagi bisa mengantarkanmu ke bukit itu. Aku pergi karena
diutus bapa mengantarkan brahmana kutaraja
ke Panawijen._ (kata Ken Arok berkilah)
_ Jadi kakang tidak bohong ?_ (tanya
Ken Umang merajuk).
_ Siapa yang bohong ?_ (kata Ken Arok
meyakinkan).
_Terima
kasih, kakang !_ (kata Ken Umang secara spontan mendaratkan ciuman bibirnya
yang menggairahkan itu ke pipi Ken Arok, seketika Ken Arok kaget tanpa menduga sebelumnya, lebih-lebih ketika
merangkulnya dari belakang, terasa dua permata yang menonjol di dada gadis itu
menyentuh punggungnya, seketika itu wajahnya terkesiap, darah mudanya mengalir
deras seakan mendidih, desah napasnya memburu. Hawa dingin malam itu seakan
berubah panas sepanas bara api. Tetapi Ken Arok segera sadar dan dapat mengendalikan dirinya, kemudian
berkata:
_
Besok pagi kakang akan antarkan ke bukit itu._
_Sebenarnya
aku dapat saja pergi sendiri ke bukit itu, tetapi teman-temanku selalu
menakut-nakuti kalau di dalam gua terdapat seekor naga yang sangat menakutkan,
kakang._
_
Seekor naga ?_
_
Iya, salah seorang temanku pernah melihat naga itu ketika memakan kijang yang masih tersisa di
mulutnya. Bapa melarangku pergi sendirian tetapi kalau ada yang menemani baru
diijinkan._
_
Iya.....iya! Masuklah ke dalam, kini aku
akan menemui bapa dan paman._ (kata Ken Arok menyabarkan gadis belia yang manja
itu agar menuruti perintahnya, sesaat kemudian gadis belia meninggalkan tempat
itu dengan suka cita). Ken Arok hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat
sifat gadis yang periang itu. Dalam hatinya berkata:
“kalau
gadis asli Jawadwipa usia sebaya dengannya
sudah tahu malu tetapi gadis Jambudwipa seperti Ken Umang sama sekali
belum punya malu”. Ken Arok tanpa terasa sudah berada di depan
pintu ruangan dalam yang setengah terbuka.
_ Kau sudah datang, anakku ! (sapa Mpu
Lohgawe ketika Ken Arok muncul dari balik pintu).
_ Iya, bapa. Setelah dari Panawijen
aku segera berpamitan bapa Mpu Purwa._
_Terima kasih, kau telah banyak
membantu para brahmana._ (kata Mpu Lohgawe).
_ Duduklah !_ (kata Ki Samparangin
sambil sekilas melihat wajah muridnya).
_ Kau tentunya bertanya, mengapa aku
dan pamanmu belum pergi ke pakuwon ?_
_ Iya....bapa! Aku tadi mengetahuinya dari Ken Umang._
_ Aku dan pamanmu mendapat kabar bahwa
akuwu sedang tidak berada di tempat._
_ Tidak berada di pakuwon ?_
_ Beberapa prajurit pengawal yang
tinggal di pakuwon tidak mengetahui ke mana akuwu pergi._
Belum lama berbicara, tiba-tiba
dikejutkan suara derap kaki kuda memasuki halaman padepokan. Tidak lama
kemudian salah seorang murid padepokan memasuki ruangan, sambil berkata:
_ Maafkan bapa, ada utusan brahmana
dari kutaraja._
_ Antarkan kemari !_ (perintah Mpu
Lohgawe).
Utusan itu memasuki ruangan dalam di
antar murid padepokan. Setelah memberi hormat, utusan itupun duduk di atas
tikar menghadap Mpu Lohgawe, sambil berkata:
_ Maafkan bapa, kami diutus brahmana
Mpu Narayana. Beliau mengirimkan nawala ini untuk disampaikan bapa._ (kata
utusan itu sambil tangannya mengambil gulungan lontar yang diselipkan di balik
bajunya. Perlahan diserahkan kepada Mpu Lohgawe). Perlahan gulungan lontar itu dibuka, perlahan
kemudian dibacanya.
_Hem...........perkembangan di
kutaraja semakin tidak menentu!._ (kata Brahmana Jambudwipa itu setelah membaca
isi nawala).
_ Tidak menentu bagaimana ?_ (kata Ki
Sampar angin ingin tahu).
_ Baginda kini menyatakan dirinya
sebagai titisan bathara Syiwa yang akan menghukum para brahmana yang membelot
ke Tumapel. Dalam nawala itu baginda menegaskan jika Mpu Pamor, Mpu Sidhara dan
Mpu Kuturan apabila dalam jangka waktu tiga purnama tidak dapat menyelesaikan
tugasnya akan dipenggal lehernya di alun-alun manguntur kutaraja karena
dianggap pengkhianat._
_ Dianggap pengkhianat ? Bukannya ketiga brahmana itu mengemban tugas
dari baginda sendiri !._ (kata Ki Sampar angin setengah tidak mengerti).
_Jadi Mpu Narayana mengiriman nawala
ini agar brahmana kutaraja yang kini berada di Tumapel itu segera kembali tepat
pada waktunya agar baginda tidak
menjatuhkan hukuman ?._ (tanya Mpu Lohgawe memperjelas pada utusan).
_ Iya, bapa._
_ Ketahuilah saat ini, brahmana Mpu
Pamor, Sridhara dan Kuturan tidak berada di sini, melainkan di padepokan
Panawijen. Aku mengerti maksud baik barhmana Narayana, tetapi mereka telah
menyampaikan hasratnya untuk sementara waktu tidak akan pulang kembali ke
kutaraja, apapun yang terjadi sebelum tugas yang diembannya usai!. Sampaikan kepada gurumu brahmana Narayana,
persoalan Ken Arok sedang ditangani. Ketiga brahmana kutaraja bersamaku akan
menyelesaikan tugas yang diperintahkan baginda, semoga dalam waktu tidak
terlalu lama ?_
_Kasinggihan, bapa. Saya akan
sampaikan pesan ini kepada bapa brahmana Narayana._
_ Baik ! beristirahatlah, esok pagi
aku menitipkan nawala untuk disampaikan brahmana Narayana, gurumu!_ (kata Mpu
Lohgawe). Utusan itu undur diri diiringi murid padepokan untuk
beristirahat. Mpu Lohgawe terdiam
sesaat, kemudian berkata:
_ Baginda tampaknya terus menekan brahmana. Itu suatu bukti baginda
sengaja menyudutkan brahmana. Perubahan di tanah Jawadwipa ini sering didahului
oleh gara-gara seperti peristiwa saat ini. Tingkah laku baginda prabu
yang mengaku titisan batara guru menjadikan bumi Jawadwipa ini menjadi panas
laksana bara api, samudra laksana
mendidih, bumi berguncang laksana sungsang bawana balik. Kesewenang-wenangan
ini ibaratnya prahara bagi bumi Jawadwipa._ (ujar brahmana Lohgawe melukiskan
dengan kata-kata kiasan).
_
Iya, kini semakin jelas semuanya, kita tidak bisa lagi duduk termenung seperti gunung,
tetapi kita harus bergerak laksana ombak, berlari laksana api, bergelora laksana samudra ! Apa salahnya ketiga brahmana itu akan dihukum
pati?_ (timpal Ki Sampar angin dengan bahasa perumpamaan disertai sorot mata merah
berkilat yang menunjukkan jiwa kependekarannya bangkit).
_
Iya............aku tidak melihat kesalahan ketiga brahmana kutaraja itu apalagi
berkhianat. Tidak terbersit sedikitpun
dari wajahnya atau sepenggal katapun yang keluar dari Mpu Pamor, Mu Sidhara maupun Mpu Kuturan untuk berkhianat. Ketiganya
datang ke Tumapel atas titah baginda, kini baru sepekan melakukan tugas sudah
ada berita ancaman hukuman seberat itu. Sungguh baginda sudah kehilangan nurani
kebijaksanaan sebagai raja._ (kata Mpu Lohgawe sambil menatap wajah Ki Sampar
angin).
_Bagaimana
pendapatmu Arok ?_ (kata brahmana Jambudwipa itu tiba-tiba).
Ken
Arok terdiam sesaat seperti sedang memikirkan jawabannya. Kemudian berkata:
_Maaf
bapa, menurut dugaanku, baginda saat ini
telah hilang kepercayaan terhadap brahmana. Kemungkinan kedua, baginda sengaja
menjebak brahmana ke dalam perangkap yang dibuatnya._
_
Apa maksudmu ?_ (tanya Mpu Lohgawe)
_Baginda
berusaha menjatuhkan kewibawaan brahmana, menumpuk kesalahan demi kesalahan
yang dituduhkan, kemudian setelah cukup alasan, baginda akan menjatuhi
hukuman._ (kata Ken Arok dengan tangkas)
Mendengar penuturan Ken Arok, Mpu Lohgawe
diam-diam memuji kecerdikan anak muda itu dalam melihat secara jernih di
tengah-tengah kabut kemelut pertikaian yang terjadi saat ini.
_ Iya, aku juga punya dugaan seperti
itu. Mpu Pamor dan Mpu Sridhara pernah
mengatakan padaku beberapa waktu lalu. Jauh sebelum hubungannya dengan kaum
brahmana memburuk, baginda telah berusaha menggerogoti kewibawaan brahmana
dengan caranya sendiri._ (kata Mpu Lohgawe).
_ Apa maksudnya ? _ (kata Ki Sampar angin).
_Setiap malam pisowanan, baginda selalu
menggelar cerita Mahabarata dan Ramayana di balai agung istana._
_ Apa hubungan cerita itu dengan kaum
brahmana ?_ (kata Ki Sampar angin).
_ Ketahuilah ! Kedua wiracerita itu sangat
menyudutkan kedudukan dan kewibawaan kaum brahmana. Sebaliknya sangat
menjunjung tinggi kedudukan para ksatria._ (jelas Mpu Lohgawe).
_ Apa benar begitu, kakang ?_ (kata Ki Sampar
angin).
_ Iya...........itu namanya menggoroti secara
halus._ (kata Mpu Lohgawe).
_ Kalau sekarang, tidak lagi
menggerogoti, tetapi.............._
(kata Ki Sampar angin tidak diteruskan)
_ Tetapi apa ?_ (sahut Mpu Lohgawe)
_Menelan mentah-mentah!_ (canda Ki
Samparangin) . Mendengar canda Ki Samparangin, brahmana Lohgawe tertawa terpingkal-pingkal.
_Bisa saja kau bercanda._ (kata Mpu lohgawe
ketika tawanya hampir reda).
_ Semula memang dimulai dari perangkap halus,
setelah merasa dapat mengendalikan, baginda bertindak lebih berani dan
kasar. Tidak lagi kewibawaan brahmana yang dijatuhkan tetapi
mengancam keselamatannya._ (kata Ki Samparangin diiringi wajah serius).
_ Kini, sebagian kecil brahmana masih
mendukung baginda, mungkin karena takut tidak berdaya menghadapi tekanannya.
Tetapi sebagian besar telah membelot baik secara terang-terangan maupun
diam-diam !._ (kata Mpu Lohgawe).
_Biarkan saja, mana yang lebih dahulu !._
(kata Ki Samparangin)
_ Apa maksudmu ?_ (tanya Mpu Lohgawe
memperjelas).
_Sudah biasa setiap pihak dalam perseteruan,
masing-masing punya rencana dan tindakan sendiri. Baginda sudah memulainya,
kini tinggal rencana dan tindakanmu mewakili kaum brahmana!_
_Aku
mengerti, ibarat sebuah permainan, kita tinggal menunggu rencana dan tindakan
mana yang lebih unggul pada babak-babak akhir yang menentukan._ (kata Mpu Lohgawe
tangkas).
_
Lalu kau sendiri sebagai pendekar membuat
rencana dan tindakan apa ? ._ (kata Mpu Lohgawe memancing).
_
Aku ?_ (kata Ki Sampar angin seakan mungkir ).
_
Iya.....kau!._ (kata Mpu Lohgawe).
_
Aku tidak punya rencana muluk-muluk,_ (kata Ki Sampar angin).
_Apa
rencanamu ? Selama ini aku tidak pernah mendengar!._ (kata Mpu Lohgawe).
_
Bukankah setiap siasat tidak perlu diungkapkan!_
_Iya.....tetapi
kau sepertinya belum berbuat sesuatu._ (desak Mpu Lohgawe).
_
Kau tidak perlu tahu sekarang kakang, nanti suatu saat akan tahu dengan
sendirinya !_ (kata Ki Sampar angin menghindar).
_
Aku sempat mendengar isteri prameswari baginda, Ratu Amisani sakit keras._
(kata Ki Sampar angin mengalihkan pembicaraan).
_
Iya! Menurut Mpu Pamor hampir semua tabib dan Mpu pangusadan telah
dipanggil ke istana tetapi semuanya takluk menyerahkan lehernya kepada baginda
karena merasa tidak mampu menyembuhkan penyakitnya._ (kata Mpu Lohgawe
menceritakan seperti yang dikatakan Mpu Pamor).
_ Sakit macam apa itu?_ (kata Ki Samparangin
menyela).
_ Mpu Pamor setengah berbisik mengatakan
padaku bahwa permaisuri terkena racun?_ (kata Mpu Lohgawe menirukan kata Mpu
Pamor).
_ Hem...... tidak salah dugaanku, terkena racun !_ (kata Ki Samparangin
menduga).
_
Kapan kau menduga?_
_Iya.........dalam
bayanganku._ (kata Ki Samparangin singkat).
_Permaisuri
bukan terkena racun seperti biasanya, melainkan racun yang membuat hatinya
selalu dirundung kesedihan dan merana!_
_
Apa tanda-tandanya yang dikatakan Mpu pamor ?_
_ Badannya sering menggigil terasa sangat
panas, wajahnya memucat berubah biru
kehitam-hitaman, keadaan badannya semakin lemah dan rapuh._(kata Mpu Lohgawe menuturkan cerita Mpu
pamor).
_ Jelas !
itu terkena racun yang sangat berbahaya !._ (kata Ki Samparangin sambil
jari telunjuknya digerakkan untuk meyakinkan).
_ Racun apa itu ?_
_Kalau tidak keliru itu racun Kunjana
darubeksi._ (kata Ki Samparangin
menduga ).
_ Kau ternyata banyak tahu tentang
racun! Oh...iya aku ingat karena kau tidak
saja pendekar utama dunia persilatan tetapi juga guru besar ilmu racun dan
telik sandi._
_ Kau ini ada-ada saja! Bukankah racun di
Jambudwipa dan Kitanagari (negeri Cina) lebih hebat dari ilmu racun di
Jawadwipa ini!_ (kata Ki Samparangin membalas ledekan Mpu Lohgawe).
_Tidak! Racun itu lebih aneh daripada racun
di Jambudwipa maupun Kitanagari. Korban tidak mati seketika melainkan hanya
membuat orang menjadi hilang gairah hidupnya. Sedang racun dari Jambudwipa dan
Kitanagari hanya ganas mematikan saja._
_ Wah.............kalau begitu akan kubuat
racun yang bisa menjadikan merasa senang dan dapat melupakan semua
kesedihannya, kemudian kuberikan kepada kaum brahmana saat ini yang sedang
bersedih akibat tertekan dipojokkan oleh baginda._ (ledek Ki Samparangin).
_Kau ini ada-ada saja! Terus apa penangkal
racun yang menjangkiti permaisuri itu ?_
Ki
Sampar angin menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas panjang, kemudian
berkata:
_
Elmu racun itu sudah hilang hampir seratus tahun lalu, aku sendiri sebelumnya
menduga kalau elmu racun kunjana darubeksi itu sudah musnah, tetapi tanda-tanda
yang diderita permaisuri itu jelas terkena racun itu._ (kata Ki Sampar angin
dengan mimik dibuat-buat seperti orang keheranan).
_
Apa ada obat penangkalnya?_ (tanya Mpu Lohgawe)
_Sebenarnya
ada, tetapi ................_ (kata Ki
Samparangin tidak diteruskan)
_
Tetapi apa ?_ (kata Mpu Lohgawe setengah mendesak).
_Oh....tidak,
percuma kukatakan ! Akupun bukan tabib
atau ahli pangusadan yang dapat menyembuhkan! (kata Ki Sampar angin mengelak).
_Lalu
ahli apa ?_ (kata Mpu Lohgawe)
_Iya........ahli
yang tidak perlu dikatakan!_ (kata Ki Samparangin berkelit).
_
Seharusnya kau pergi melawat ke kutaraja mengajukan diri untuk mengobati sakit
permaisuri._ (kata Mpu Lohgawe).
_
Aku sendiri sudah tidak lagi punya isteri, mengapa harus repot-repot nyembuhkan
isteri orang lain? Lebih baik kau
sajalah yang pergi! Siapa tahu baginda akan berbaikan kembali dengan kaum
brahmana!.- (kata Ki Samparangin meledek sahabatnya).
_
Aku ?_
_
Iya. Kaulah orang yang tepat !._
_Kukira
belum sampai mengobati aku sudah digantung lebih dahulu, apalagi kalau baginda
mengetahui yang mengajukan Ken Arok sebagai pimpinan pasukan pengawal adalah aku.
_ (kata Mpu Lohgawe sambil tertawa diiringi Ki Samparangin, sementara Ken Arok
hanya tersenyum-senyum melihat kedua orang tua itu bercanda).
_ Kasihan, ada pihak yang sengaja meracun prameswari._ (kata Mpu
Lohgawe)
_
Apa kau tahu ?_ (sahut Ki Samparangin).
_
Mestinya begitu, karena seperti kau katakan ia terkena racun, berarti ada orang
yang meracuninya._
_
Sudahlah......aku mau istirahat. Hayo Arok kita pergi !._ (kata Ki Sampar angin
menyudahi pembicaraan malam itu dengan bergegas pergi menuju biliknya disertai
sikap menghindari pembicaraan tentang racun yang menjangkiti permaisuri).
v
Keesokan harinya tampak balai agung pakuwon
Tumapel tidak seperti biasanya. Para pengawal tampak sibuk mondar-mandir di
sekitar pakuwon, tidak jelas apa yang dikerjakan. Brahmana Mpu Lohgawe telah memasuki gerbang
pakuwon, belum lama melangkahkan kakinya di jalan menuju bale agung, tiba-tiba
seorang pengawal setengah berteriak:
_
Berhenti ! Ada keperluan apa bapa memasuki pakuwon ?_ (bentak salah seorang
pengawal dengan kasar disertai tatapan mata penuh selidik).
_ Aku akan menemui akuwu._ (kata brahmana
Lohgawe)
_ Akuwu tidak bisa diganggu !._ (kata pengawal setengah membentak).
_
Kalau akuwu tidak mau menemuiku tidak apa, tetapi kalau pakuwon ini hancur lebur, kaulah yang harus bertanggung jawab !_ (kata
brahmana Lohgawe dengan menggertak disertai nada kesal).
_ Kau mengancam ?_ (kata prajurit sambil
membentak).
_
Siapa yang mengancam ? Kau ini tidak tahu anak muda, akulah yang membawa
perintah baginda dari kutaraja!_ (kata Mpu Lohgawe berbohong).
Mendengar
utusan pembawa perintah baginda Kertajaya, seketika prajurit pengawal itu kaget
sambil mulutnya ternganga, kemudian memberi hormat sambil minta maaf atas
kelancangan dan kekasarannya. Prajurit pengawal itu mempersilahkan Mpu Lohgawe
memasuki balai agung. Setelah beberapa saat duduk, tiba-tiba akuwu muncul dari
balik pintu sekat bilik dalam.
_
Bapa mpu Lohgawe !._ (sapa Akuwu dengan ramah sambil mempersilahkan tamunya
duduk).
_
Tentu ada keperluan penting yang membawa bapa datang ke pakuwon ini._ (kata
akuwu membuka pembicaraan).
_
Benar yang ananda katakan, bapa mengemban perintah secara tidak langsung dari
baginda._ (kata Mpu Lohgawe kemudian menceritakan awal mulanya kedatangan tiga
brahmana dari kutaraja yang menyerahkan perkara yang ditugaskan baginda
kepadanya, sampai berniat untuk menyerahkan perkara ini kepada akuwu).
_
Aku mengerti bapa, betapa beratnya beban brahmana saat ini. Kami di Tumapel ini
juga terjepit. Di satu sisi kami memahami
beban kawula sudah cukup berat, tetapi di sisi lain sebagai akuwu kami adalah
abdi sang prabu yang harus menjalankan kebijaksanaannya. Berat bagi lidah ini untuk berterus terang
kepada beliau tentang keadaan kawula sebenarnya, apalagi kalau sedang murka. Padahal semua orang di Tumapel ini mengetahui
banyak kawula yang sudah tidak mampu lagi membayar pajak karena panen gagal dan
terlanda bencana alam tetapi mereka tetap dipaksa membayarnya. Akhirnya mereka memilih lari ke
hutan menjadi orang jahat._
_
Kalau demikian, perkaranya menjadi
jelas, bahwa ananda senasib dengan kami. Di satu pihak kami mengetahui perkara
yang sebenarnya, tetapi di pihak lain tidak dapat berterus-terang kepada sang
prabu._
_Saat
ini sang prabu menuntut kami untuk menyembah beliau kalau tidak dapat
menyelesaikan perkara Ken Arok yang dianggap sebagai musuh besar kerajaan._
_Oh........apakah
kami tidak salah dengar apa yang bapa katakan !._
_
Ananda tidak salah dengar, memang kenyataannya saat ini kami terjepit. Tidak dapat
menyelesaikan perkara Ken Arok, kami akan dipaksa menyembah dan dihukum. Tetapi kalau menyanggupi perintah itu kami
juga tidak dapat berbuat apa-apa._
_
Sungguh bapa terlalu tabah menghadapi ujian ini._
_Itu
masalah yang kami hadapi ananda, sebenarnya masalah itu kecil saja
dibanding dengan beratnya beban di bahu
kawula Kediri. Yang penting ialah bagaimana kita dapat meringankan beban rakyat
? Untuk itulah kami datang ke sini._
_Kami
merasa benar-benar mendapat kehormatan diajak berunding masalah ini._
_
Demi untuk kepentingan semua, kami sebenarnya mempunyai
gagasan......................._ (kata Mpu Lohgawe sengaja tidak diteruskan
untuk memancing reaksi akuwu).
_
Katakan bapa! Gagasan apa yang bapa
maksud !._
_
Bukannya akuwu tahu bahwa Ken Arok tidak dapat dibunuh. Sekian lama prajurit
kutaraja sampai senopati sekalipun turun-tangan, jangankan membunuhnya malah
yang terjadi sebaliknya. Para prajurit dan punggawa pajak mati terbunuh dengan
cara mengerikan untuk tontonan kawula._
_
Tolong bapa.....katakan saja secara jelas dan terperinci, apa maksudnya ?_
_
Begini, ananda !. Kalau Ken Arok tidak dapat dibunuh, mengapa tidak dijinakkan
saja !_
_
Dijinakkan ?_
_
Iya._
_
Bagaimana caranya ?_
_
Iya. Ibarat seekor ular Puspa kajang buas yang tidak dapat dicegah membunuh
ternak dan manusia, mengapa tidak kita sediakan saja kambing di depan gua
persembunyiannya secara teratur? Pasti
ular itu tidak akan menjarah ternak dan membunuh manusia lagi. Nah! Setelah
keadaan tenang, siapa tahu kita baru dapat membunuhnya._
_
Iya, kami dapat mengerti gagasan bapa, tetapi tolong dijelaskan lebih terurai
?_
_
Sebenarnya gagasan atau rencana ini sederhana saja. Kita memberikan sesuatu yang diinginkan tanpa
terlalu merugikan kita, tetapi dia kita tuntut untuk menghentikan kejahatannya
terhadap kerajaan._
Akuwu
terdiam beberapa saat lamanya, tampak dari wajahnya sedang berpikir untuk
memecahkan perkara yang dihadapkan kepadanya. Kini ia menarik napas panjang dan
berkata dengan nada arif.
_
Kami belum dapat mengatakan apa-apa tentang gagasan itu._
_Oh....tidak
apa. Ananda adalah pemimpin yang baik. Ananda sangat berhati-hati. Bapa sungguh
sangat hormat pada ananda. Darah raja-raja pasti mengalir di urat ananda.
Memang, ananda tidak perlu menentukan sikap sekarang. Yang penting kita sudah
ada saling pengertian dan ananda sudah bersiap-siap menghadapi perkembangan
masalah ini._
_Tetapi,
akibat perbuatan Ken Arok kedudukan bapa sebagai brahmana juga terancam
bahaya._
_Kami
berserah diri dan mempercayakan keselamatan brahmana pada Sang Bethara._
_
Setelah dirasa cukup, bapa minta diri, ananda._
_
Silahkan, bapa._
Setelah
beberapa pekan berlalu, Mpu Lohgawe kembali bertemu akuwu membicarakan
kelanjutan perkara yang telah disampaikan pada akuwu sebelumnya.
_
Setelah mempertimbangkan dan mengingat kepentingan kawula akhirnya kami dapat
memutuskan perkara ini. Tetapi Keboijo sebagai kepala pengawal perlu memahami masalah yang kita hadapi._
_Ananda
benar-benar seorang yang bijaksana dan pandai memelihara hati orang._
_
Pengawal! Panggil kepala pengawal
Keboijo ke mari!_ (perintah akuwu).
Tidak
lama kemudian Keboijo masuk sambil menyembah, kemudian berkata:
_Hamba,
siap menerima perintah akuwu._ (kata Keboijo memperlihatkan keluguannya).
_
Aku ingin merundingkan sesuatu._ (kata Akuwu datar)
_
Benar, perwira! Ada hal penting yang
menyangkut dirimu._ (timpal brahmana Lohgawe).
_Saya
siap menjalankan kebijaksanaan akuwu._ (sahut Keboijo)
_Begini
perwira. Dalam tawar-menawar kami dengan Ken Arok, telah disetujui bahwa
setengah saja dari anak buahnya yang dijadikan pengawal. Akan tetapi Ken Arok
menyetujui usul itu dengan syarat dia diangkat menjadi Kepala pengawal.
Maksudnya kau menjadi wakilnya._ (kata Mpu Lohgawe menjelaskan)
_
Saya tidak melihat masalah apapun dalam hal ini, bapa._ (sahut Keboijo).
_Kau
benar-benar perwira sejati yang mendahulukan kepentingan kerajaan daripada
dirimu sendiri._ (kata Mpu Lohgawe memuji)
_Apakah
kau mempunyai gagasan atau pertimbangan lain yang dapat kami pertimbangkan
untuk diusulkan kepada Ken Arok ?_ (kata Akuwu bertanya)
_
Maksud akuwu ?_(sahut Keboijo)
_
Maksudnya, kau tetap jadi kepala pengawal sedang Ken Arok mendapat penghargaan
dalam bentuk barang atau uang._ (kata Akuwu menawarkan)
_Saya
benar-benar tidak berkeberatan menjadi wakilnya, akuwu._ (kata Keboijo mantap).
_
Baiklah kalau begitu._ (kata Akuwu menegaskan)
_
Syukurlah perwira. Kau benar-benar ksatria yang setia pada dharma. Kami kaum
brahmana, harus berterima kasih padamu dan kepada gustimu, akuwu Tunggul
Ametung (kata brahmana Lohgawe memuji).
_Kamilah
yang harus berterima kasih. Kami diberi kesempatan membuat dua kebaikan
sekaligus. Pertama, menghentikan kegiatan Ken Arok, kedua ikut meredakan
ketegangan antara kaum brahmana dengan Sang prabu._ (kata Akuwu ).
_Anandalah
yang membuat perkara ini ibarat lolos dari lubang jarum. Kami akan segera
mengirim berita ini kepada Ken Arok._ (timpal Mpu Lohgawe).
_Baiklah
kalau tidak ada lagi yang dibicarakan, silahkan bapa istirahat. (kata Akuwu
mempersilahkan).
_
Bapa tidak dapat lama-lama di pakuwon, ananda. Ijinkan bapa minta pamit kembali
ke padepokan. _ (kata Mpu Lohgawe minta diri).
_
Silahkan, bapa_ (sahut Akuwu mempersilahkan).
v
Hari demi hari berganti, pekan demi pekan
berlalu, padepokan Panawijen tampak sepi dan suram setelah terjadi peristiwa
rajapati. Pedhut ampak-ampak menyelimuti padepokan itu sejak terjadi peristiwa
rajapati, dukapun masih belum mau beranjak dari tempat itu.
Seorang cantrik tua berjalan tertatih-tatih menyalakan lampu di pendapa. Tetapi
sorot sinarnya sepertinya tidak mampu
menghapus kesuraman padepokan itu.
Lebih-lebih murid-murid padepokan yang jumlahnya tidak seberapa itu telah pulang ke kampung halamannya semenjak
peristiwa itu terjadi. Ketika memasuki
senjakala suasana sepi itu semakin mencekam. Beberapa tetangga yang dekat dari
padepokan tidak lagi berani keluar rumah. Cantrik tua yang duduk di angkring
yang terletak di sudut luar pendapa itu sebentar-sebentar mengibaskan sapu
lidinya untuk mengusir nyamuk diiringi suara batuk-batuk. Padahal sebelum
peristiwa rajapati terjadi, pendapa itu hampir tidak pernah sepi dari
keramaian. Mpu Purwa setelah mengajar para muridnya, biasanya memberi
kesempatan kepada tamu-tamunya siapa saja untuk dapat bertemu, kadang sampai
larut malam. Kalau siang hari, putri brahmana itu mandi sambil bersuka cita
berbarengan teman-temannya di sendang dekat padepokan. Belum lagi tamu-tamu
penting yang kerap kali menginap di padepokan. Semuanya itu menjadikan
padepokan itu laksana bersinar penuh keramahan dan keteduhan.
Malam
itu ketika belum begitu larut, tanpa disangka
empat orang berpakaian brahmana memasuki halaman padepokan. Cantrik tua
yang tidur di angkring itu terbangun mendengar ada langkah mendekatinya.
Sejenak cantrik itu mengamati, tampaknya ia kaget setelah mengetahui siapa yang
datang, kemudian berkata:
_
Aduh, bapa brahmana! ampunkan saya!_ (kata cantrik itu setengah ketakutan).
_
Apa yang terjadi ?_
Cantrik
tua itu menceritakan awal mulanya kejadian rajapati dan pembrandatan putri Ken
Dedes dari padepokan ini.
_Putriku
diculik !. Katakan siapa yang
melakukannya ?_ (kata Mpu Purwa kaget).
Cantrik
tua itu tampak semakin gemetaran,
keringat dinginnya mengucur, mulutnya seperti terkunci tidak kuasa lagi
mengatakan pelaku penculikan dan rajapati
itu.
Para
tetangga ketika mendengar suara Mpu Purwa datang, mereka segera keluar dari
rumahnya menuju ke padepokan. Tidak lama kemudian hampir seluruh warga desa
beramai-ramai berkumpul di halaman padepokan.
_Siapa
yang menculik anakku ? _ (tanya Mpu Purwa setengah berteriak mengulang kepada
orang-orang desa Panawijen yang berdiri berkerumun di tempat itu).
_ Akuwu dan prajurit Tumapel, bapa Mpu
!._ (jawab salah seorang dari mereka)
_ Apa yang mereka cari di
padepokan ini ? (tanya Mpu Purwa)
_
Mereka sengaja membrandat den ayu Ken Dedes, bapa! (sahut salah seorang dari
mereka)
_
Benar, mereka tidak saja membrandat den ayu Ken Dedes, tetapi membunuh
Wreksapati dan biyungnya serta Wiraprana yang membela diri._ (kata orang desa lainnya).
Mendengar
jawaban itu, Mpu Purwa yang selama ini tidak pernah kelihatan marah, kali ini
wajahnya berubah merah padam, giginya berkerot-kerot, desahan napasnya terdengar kasar, darahnya
laksana mendidih, genggaman tangannya tanpa sadar mengepal-ngepal seperti ingin
meremuk wajah orang yang berbuat keji itu.
Kemudian berkata:
_Hei ....orang-orang Panawijen! Dengarkan aku akan menjatuhkan umpat !_
Mendengar perkataan brahmana Mpu Purwa akan menjatuhkan umpat sebagai
sabda brahmana, seketika orang-orang desa yang berkerumum di situ menjadi
terperangah, bulu kuduknya merinding, hatinya menjadi ciut, wajahnya tampak
ketakutan seakan sabda brahmana yang akan dijatuhkan itu menimbulkan prahara
yang menggetarkan hatinya. Tangan dan kaki mereka gemetaran, keringat dinginnya
mengalir deras bagaikan diperas. Keadaan menjadi tegang mencekam. Tanpa
dinyana-nyana langit yang sebelumnya terang tiba-tiba berubah mendung, tampak
gumpalan awan hitam berarak tampak menggelayuti angkasa di sekitar padepokan.
_
Hei Akuwu ! Kau........telah melumuri
tanganmu dengan darah di tempat yang aku sucikan ini! Kau telah membrandat anak gadisku secara paksa! Kau telah menodai
kehormatanmu sendiri sebagai manusia yang beradab ! Ingatlah ! Kau kelak akan mati terbunuh secara nistha dan
sia-sia!_ (kata brahmana Mpu Purwa dengan nada lantang sementara tangannya
bergerak menunjuk ke langit).
Usai
umpat dijatuhkan, seketika langit berubah menjadi gelap gulita, suara gemerosak
seperti hujan deras di antariksa.
Petir menyambar-nyambar laksana
membelah angkasa seakan melampiaskan amarahnya seperti ingin meluluh-lantakkan
bumi Tumapel. Hujan badai disertai angin
topan dahsyat yang membuat pepohonan di
sekitar padepokan itu tumbang bosah-baseh seakan murka terhadap orang
orang-orang yang berbuat keji di padepokan itu.
Orang-orang desa yang semula menyaksikan kejadian dahsyat itu kini lari
berhamburan dengan ketakutan luar biasa. Lututnya gemetaran seperti tidak kuasa
lagi menyangga berat badannya, akhirnya
di antara mereka banyak yang jatuh terjerembab di tanah berlumpur. Getaran perbawa gaib yang dahsyat
itu membuat hati orang-orang desa Panawijen menjadi miris dan takut.
v
Pada saat bersamaan jatuhnya umpat brahmana
Panawijen itu, di pakuwon Tumapel terjadi peristiwa ganjil yang
menghebohkan. Malam itu ketika Akuwu
bersenang-senang dengan segenap punggawa dan prajurit pengawal tiba-tiba
dikejutkan oleh sambaran petir yang
kilatannya sangat terang diikuti oleh suara gemlegar dahsyat. Sementara hujan
deras disertai angin lesus seakan
berusaha menjebol balai pakuwon.
Bangunan gerbang gapura Pakuwon yang tampak kokoh itu seketika hancur
berantakan tersambar petir diiringi kepulan asap berhamburan ke udara. Akuwu
yang larut dalam kasukan beksan beserta punggawa tinggi lainnya seketika
terkejut jatuh berguling-guling ke lantai terkena hantaman bias udara petir
yang sangat kuat. Soko guru dan atap balai agung yang kokoh itu berguncang
hebat seperti akan runtuh. Orang-orang yang berada di balai itu seketika lari
berhamburan keluar menyelamatkan diri. Malam hiburan itu berakhir dengan
perasaan takut dan miris. Salah seorang pengawal dalam hatinya berkata:
“Aneh!
Tidak ada mendhung tidak ada anginsebelumnya, tiba-tiba halilintar menyambar gapura pakuwon
menjadi hancur lebur rata dengan tanah. Apakah itu sebuah pertanda akan terjadi
sesuatu ataukah sekedar petir menyambar?”. Apakah kejadian ini suatu
pertanda akan terjadi sesuatu di pakuwon ini?
v
Beberapa
hari berikutnya, kepak suara kaki
kuda berlari dari kejauhan makin
terdengar jelas dari padepokan Panawijen. Penunggang kuda itu memacu kudanya
seperti memacu angin. Memasuki pelataran
padepokan pemuda itu segera meloncat dari punggung kuda, kemudian berlari
mencari bapa gurunya yang tergolek lemah di dipan di tunggui oleh Mpu Pamor,
Mpu Sridhara dan Mpu Kuturan.
_
Bapa ! ......bapa .........! Kenapa bapa
sakit seperti ini ? Oh....bapa ! (Mahisa
Aghni seketika mendekap bapa gurunya di pangkuannya disertai tangisan yang mengharukan). Keadaan
bapa gurunya tampak terkulai lemah. Mengetahui Mahisa Aghni datang memangkunya,
Mpu Purwa membuka mata dan berusaha untuk berkata dengan suara lirih terputus-putus:
_
Mahisa, adikmu Ken Dedes telah diambil paksa Akuwu ? Kau kutugaskan untuk mengawasi adikmu
itu, moga-moga dia kelak menemui kebahagiaan!_ (suara Mpu Purwa
makin lemah).
_
Tentu........bapa, tentu ! Aku akan menjaganya adik Ken Dedes sampai
kapanpun ! Tetapi bapa harus sembuh!_ (kata Mahisa Aghni sambil mendekap
gurunya sambil berlinang air mata).
Tiba-tiba dari kejauhan sayup terdengar suara
derap kaki kuda. Langkah kaki kuda itu semakin jelas ketika memasuki halaman padepokan. Anak muda
yang bertengger di punggung kuda itu
meloncat dengan gerakan sangat ringan tanpa memberhentikan hewan tunggangannya
sebelumnya. Anak muda itu segera berlari ke ruang dalam dan ........
_ Bapa!
Kenapa mesti terjadi seperti ini!_ (kata Ken Arok yang mendekap Mpu
Purwa). Cukup lama anak muda itu tidak melepaskan dekapannya, Mpu Purwa
berusaha mengatakan sesuatu:
_Anakku
Arok! Sewaktu aku menjatuhkan
umpat, hanya kamu yang tampak di mata bapa._ (kata Mpu Purwa lirih).
_ Iya........tapi bapa jangan banyak bicara
dulu. Keadaan bapa masih sangat lemah. (kata Ken Arok sambil tangannya
memeriksa badan Mpu Purwa yang sudah dianggap orang tuanya sendiri).
_ Bapamu jatuh sakit semenjak kepulangannya
beberapa hari lalu dari bertapa di Indrakila. Beliau kaget putrinya diculik
akuwu._ (kata Mpu Pamor setengah berbisik kepada Ken Arok).
_ Mengapa aku tidak tinggal di padepokan ini
ketika bapa pergi ke Indrakila! Mahisa !
Mengapa kau pergi ke Lumajang sekian
lama ? Akibatnya padepokan ini diinjak-injak
oleh orang yang tidak berbudi !_ (kata Ken Arok seperti tidak dapat
mengendalikan diri- menyalahkan dirinya sendiri).
_ Arok ! Jangan salah paham! Aku juga baru
datang dari Lumajang menunaikan tugas yang bapa guru berikan, aku sendiri tidak
mengetahui kejadiannya! (jawab Mahisa Aghni sambil menatap sahabatnya Ken
Arok). Mendengar jawaban Mahisa Aghni, amarah Ken Arok kelihatan agak reda. Ia
duduk kembali di dipan dekat bapa gurunya berbaring sambil menundukkan
wajahnya, kedua telapak tangannya ditutupkan diwajahnya seperti sedang menahan
kesedihan yang amat mendalam). Kemudian ia berkata:
_ Di mana Wiraprana !._ (tanya Ken Arok)
_ Ia tewas bersama Wreksapati mempertahankan kehormatan, ketika berusaha
merebut dinda Ken Dedes !._ (jawab
Mahisa Aghni lirih). Ken Arok menggeleng-gelengkan kepala sambil kedua telapak
tangannya masih ditutupkan di mukanya yang masih tertunduk lunglai). Kemudian tanpa sadar Ken Arok berdiri,
pandangannya ke arah pada Mpu Pamor, Mpu
Kuturan dan Mpu Sridhara dengan tatapan kemarahan yang memuncak. Matanya
berubah merah berkilat dan liar, dengus napasnya membekos, kemudian berkata
sambil tangannya menunjuk ke arah tiga orang brahmana dari kutaraja itu.
_ Lihatlah! Apa yang diperbuat punggawa
Kediri terhadap keluarga brahmana. Bagaimana kalau kejadian seperti ini menimpa
keluarga bapa sendiri ? Masihkah bapa
menyudutkan orang sepertiku yang selama ini membela kaum lemah dan teraniaya?
Orang-orang Kediri termasuk kaum brahmananya dengan gampang menuduhku sebagai
penjahat kerajaan, tetapi mereka
sendirilah yang sebenarnya penjahat!_ (kata Ken Arok agak melampiaskan
kekesalannya kepada tiga orang brahmana kutaraja yang sejak semula menampakkan
ketidak-senangannya pada dirinya).
_Sudahlah....Arok ! Kini aku semakin mengerti dirimu ! Maafkan
sikap kami selama ini padamu!_ (kata Mpu Kuturan merendah).
_ Mahisa Aghni ! aku tidak tega melihat
keadaan bapa seperti ini !_ (kata Ken Arok sambil berjalan menghampiri Mahisa
Aghni).
_ Maksudmu ?_ (kata Mahisa Aghni bertanya).
_Aku akan pergi mencari pangusadan._ (kata
Ken Arok singkat).
_Pergilah ! Aku dan bapa brahmana Pamor akan menunggu dan merawatnya._ (kata Mahisa
Aghni sambil menepuk bahu sahabatnya).
Ken Arok keluar dari ruangan dengan wajah
lesu, berjalan menyusuri lorong-lorong kecil di sekitar padepokan yang biasa
dilaluinya bersama kekasihnya Ken Dedes. Langkah anak muda itu terlihat sedikit
gontai itu terhenti di tepi sendang, seketika ingatannya terbayang pada wajah
kekasihnya yang pernah mengikat janji di tempat ini. Tempat ini seakan menjadi
saksi bisu janji-setiaku dengan dinda Ken Dedes
tetapi kini semuanya hancur berkeping-keping. Ken Arok tersadar dari
lamunannya ketika ia tidak boleh terlambat mencari sarana usada untuk
bapa kekasihnya. Ia segera belari ke arah kandang kuda, sesaat kemudian
menggebrak larinya meninggalkan padepokan Panawijen dengan hati hancur
berkeping-keping. Ingatannya kembali menerawang, kenangannya bersama Ken Dedes muncul satu persatu di pelupuk matanya. Tetapi ketika tersadar
kekasihnya tidak lagi berada di padepokan, seketika terbayang ronta-tangisnya
ketika para pengawal akuwu menyergapnya dengan kasar. Ketika bayangan kekerasan
itu begitu mengganggu perasaannya, seketika tangannya menarik ikat kendali kuda
dengan sontak. Hewan itu berhenti mendadak dengan kaki depan terangkat sambil
meringkik panjang. Ken Arok melompat dari punggung kuda itu kemudian wajahnya
dibenamkan pada sebuah pohon besar di pinggiran hutan sambil tangannya yang
dikepalkan itu dipukul-pukulkan. Ketika
perasaannya larut dalam kesedihan yang memuncak itu, tiba-tiba terdengar suara
bergema:
_Arok anakku! Berhentilah bersedih ! Kau
tetap dapat memilikinya !_
Mendengar suara yang sudah amat dikenalnya
itu, Ken Arok berbalik arah memandang sekeliling tempat itu. Tidak lama
kemudian, pamannya Ki Sampar angin telah berdiri di hadapannya.
_Tenangkanlah hatimu, anakku !_ (kata Ki
Samparangin seakan mengerti betapa hancur hati muridnya). Orang tua itu
kemudian berjalan berbalik meninggalkan Ken Arok sambil menghadap ke hamparan
sawah, tiba-tiba ia berteriak keras ibarat seorang pujangga yang membaca karya
sastranya.
“Siapa yang dapat memisahkan cinta
? Senjata apapun tak akan mampu !
Percayalah pada kekuatannya ! Masih ada
hari, masih ada harapan ! Janganlah berkecil
hati! Perjuangkanlah ! Karena cinta memerlukan bukti bukan janji apalagi tangis
keputus-asaan seperti ini!”_ (kata Ki Sampar angin keras menggema seakan
gemanya menembus seluruh penjuru hutan dan sudut persawahan). Mendengar
kata-kata yang diucapkan gurunya, Ken Arok seperti tersadar dari kepedihan dan
keputus-asaan yang dirasakannya.
_
Paman !._ (teriak Ken Arok sambil berlari mendekati pamannya kemudian ia
bersimpuh di lutut orang tua itu). Orang tua itu tanpa sadar tangannya mengelus
rambut muridnya, sambil berkata:
_Bangkitlah
anakku !_ (kata Ki Samparangin menyuruh Ken Arok berdiri).
_Terima
kasih, paman telah menyadarkanku!_
_
Aku maklum, kau masih muda. Tetapi janganlah kau larutkan dalam kebinasaan
cinta, karena cinta adalah kekuatan, bukan suatu kebinasaan. Semuanya masih
belum terlambat. Kau akan meraihnya,
anakku!_ (kata Ki Samparangin sambil
menepuk bahu muridnya).
Ken Arok merasa terhibur dengan kata-kata
gurunya yang dirasa dapat mengurangi kekusutan hatinya, membangkitkan gairah
hidupnya. Tampak anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala, wajahnya kembali
tenang menyambut hari-hari seperti dikatakan oleh gurunya.
_ Hayo kita segera ke padepokan! Srana pangusadan yang diperlukan bapamu sudah kubawa!_
TAMAT
BERSAMBUNG EPISODE KEDUA:
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar