BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan yang Allah menciptakan Muhammad adalah tidak lain untuk member rahmat bagi semesta alam, “Tidaklah kami mengutus kamu selain sebagai rahmat bagi semesta alam”(Al Anbiyaa’(21) : 107) dalam hal ini Allah menginginkan Muhammad untuk membenahi ahklak perilaku umat manusia yang sebelumnya jahiliyah menjadi insan yang berakhlakul karimah. Lebih dikhususkan lagi Muhammad bertugas memebenahi tata cara beribadah umat manusia dengan pemantapan keyakinan yang bulat bahwa tuhan hanya Allah yang satu. Ubudiyah mengandung pengertian ikhlas kepada Allah dalam niat, perkataan, perbuatan, tunduk dan patuh kepada ketentuan Allah serta mengikuti jalannya.
B. Fokus Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghemat waktu dan biaya, maka dalam penyusunan proposal tesis ini perlu penulis berikan batasan-batasan dalam penelitian yaitu: Sejarah Penyebaran Islam di Banyuwangi
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat di fokuskan sebagai berikut: “Sistem penyebaran Islam bagaimanakah yang di gunakan dalam mensiarkan agama pembawa rahmat bagi semesta alam ini di Banyuwangi”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sejarah awal penyebaran islam di timur pulau Jawa.
b. Menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan tentang penyebaran agama islam.
c. Mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penyebaran agama islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai sumbangsih pemikiran atau input yang dapat memperkaya informasi dalam rangka meningkatkan semangat keyakian islam dan hubungannya dengan pembentukan akhlakul karimah.
b. Secara praktis penelitian ini berguna sebagai paparan yang mendiskripsikan betapa besar dan kuatnya pengaruh islam terhadap pribadi masyarakat nusantara khususnya di Banyuwangi dan memberikan pemikiran tentang tekhnik penyebaran agama islam yang diterima oleh masyarakat luas.
c. Di harapkan dapat berguna bagi kepentingan umum baik di dalam penyebaran agama islam maupun dalam merealisasikan ahklaq mulia dalam kehidupan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kabupaten Banyuwangi
Banyuwangi adalah sebuah Kabupaten di wilayah Jawa Timur yang paling ujung timur. Banyuwangi dulu juga disebut dengan nama Tirta Arum, karean merujuk pada bukti sumur yang berbau harum/wangi. Lokasi sumur berbau harum itu berada di sebuah rumah persis di timur Pendopo Kabupaten Banyuwangi.
Menurut orang-orang tua, dahulu tempat itu merupakan sumber air yang sering sekali mengeluarkan bau wangi, sehingga orang-orang tidak berani menggunakannya untuk mandi. Pada kondisi-kondisi tertentu bau harum/ wangi ini akan muncul sebagaimana penulis pernah alami yakni pada tahun 2008. Pada waktu itu penulis sedang berkunjung ketempat lokasi sumur yang terkenal di Banyuwangi ini, pada mulanya penulis tidak mendapati hal-hal aneh yang sering di ceritakan oleh masyarakat Banyuwangi perihal cirri-ciri munculnya bau harum dari sumur itu. Tetapi disaat penulis ingin meninggalkan lokasi sumur tersebut, tiba-tiba keadaan air yang sebelumnya jerih dan tenang mendadak berbuih seperti buih di pesisir pantai dan seketika itu pula menyerbak bau harum seperti bau bunga mawar dan melati. Kemudian tidak berselang lama keadaan seperti itu berubah kembali lagi seperti semula dan bau wanginya menghilang.
Awal penemuan sumur itu adalah pada zaman pemerintahan Bupati Notodiningrat(1910-1920). Keberadaan sumur wangi itu sendiri di hubungkan dengan cerita rakyat Sri Tanjung. Nama Banyuwangi sendiri sebenarnya sudah ada pada tahun 1477 terbukti pada Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang(alih bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo, 1981) halaman,74 alenia ke-tiga disebutkan bahwa “ pada saat 12 waisaka 1399 saka/(27 April 1477), Adipati Blambangan Siung Laut saat itu menghadiri acara peresmian Masjid Demak dengan di dampingi oleh sahabat beliau bernama Ki Gede Banyuwangi..”.
Banyuwangi memiliki hari kebanggan yakni tanggal 18 Desember 1771 yaitu hari dimana rakyat Banyuwangi meraih kemenangan melawan belanda dan berhasil mengusirnya. Tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi kota Banyuwangi karena memiliki latar sejarah terhebat pada masa Hindia-Belanda.
Aktifitas ekonomi di Kota Banyuwangi dapat dilihat dengan berdirinya pasar-pasar tradisional seperti Pasar Banyuwangi yang terletak di Kepatihan di sebelah barat Taman Blambangan. Aktifitas di Pasar Banyuwangi meningkat pada dini hari hingga pukul tujuh pagi. Dimana pada jam-jam tersebut, aktifitas perdagangan melebar hingga menimbulkan kemacetan di Jalan Diponegoro bagian utara dan menutup sebagian badan Jalan Jagapati. Di Pasar Banyuwangi terdapat petak-petak los pedagang yang terletak dari pinggir Jalan Karel Satsuit Tubun hingga ke dalam. Namun pedagang kaki lima masih menggunakan badan jalan sebagai tempat berdagang sehingga menimbulkan kemacetan. Akan tetapi, mulai tahun 2012 ada usaha untuk menertibkan pedagang (masih ada akan tetapi dirapikan) sehingga kemacetan bisa diminimalisasi dan badan jalan yang dapat dilewati bisa lebih luas. Selain Pasar Banyuwangi, terdapat juga Pasar Blambangan yang keberadaannya berdampingan dengan terminal angkot Blambangan, Lateng (Jalan Basuki Rahmat), Pasar Sobo di Jalan S.Parman dan Pasar Pujasera yang berdampingan dengan kawasan pecinan (China Town) di Jalan Pierre Tendean.
Selain pasar tradisional, pusat perbelanjaan juga berdiri di Kota Banyuwangi seperti Giant di Jalan Basuki Rahmat, Ramayana di Jalan Adi Sucipto, Roxy di Jalan Ahmad Yani dan MOST (Mall of Sritanjung) yang masih diusahakan pengoperasiannya hingga kini. Selain pusat perbelanjaan besar, terdapat juga minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang tersebar di sudut kota. Komplek pertokoan banyak berdiri di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Pierre Tendean (China Town). Selain itu, banyak berdiri ruko-ruko di kawasan Jalan Ahmad Yani, Jalan Kepiting dan di Gardenia Estate (sebuah kawasan bisnis dan perumahan dengan akses masuk dari Jalan S.Parman).
Bank-bank nasional negeri dan swasta banyak yang berdiri di Kota Banyuwangi. Bank negeri yang berdiri di Kota Banyuwangi adalah Bank Mandiri (Jalan Wahidin Sudirohusodo), BNI 46 (Jalan Kepiting dan Jalan Banterang), BRI (Jalan Ahmad Yani) dan BTN (Simpang Lima). Bank nasional swasta yang berdiri di Kota Banyuwangi adalah BCA (Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman), Bank Permata (Jalan Sudirman), Bank Danamon (Jalan Ahmad Yani), Bank Mega (Jalan Ahmad Yani), BII (Jalan Ahmad Yani), Bank Sinarmas, Panin Bank (Jalan Ahmad Yani), UOB (Jalan Sudirman), CIMB Niaga (Jalan Sudirman) dan Commonwealth Bank (Jalan Sutoyo). Selain itu terdapat Bank Daerah Jatim (Jalan Basuki Rahmat). Selain bank umum juga terdapat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) seperti BPR Wilis, BPR Jatim, BPR ADY dan BPR Swadhanamas Pakto. Selain itu, di kota Banyuwangi berkembang berbagai industri kecil, seperti industri oleh-oleh khas Banyuwangi, industri pisau militer di Singotrunan, dan industri kerajinan lainnya.
Kecamatan Banyuwangi dihuni oleh berbagai suku bangsa. Penduduk mayoritas Kecamatan Banyuwangi adalah Suku Osing yang banyak tinggal di Kelurahan Pakis dan Kelurahan Sumber Rejo. Di kelurahan-kelurahan lain juga terdapat warga Suku Osing namun jumlahnya tidak terlalu dominan dan telah berbaur dengan para pendatang dari luar Banyuwangi.
Selain Suku Osing ada juga komunitas kecil Suku Madura yang tinggal di sekitar Kelurahan Kepatihan (terutama di dekat Pasar Banyuwangi). Mereka menggabungkan diri dalam paguyuban yang bernama Paguyuban Jokotole Banyuwangi. Selain itu beberapa keluarga Suku Bali tinggal di Lingkungan Kampung Bali, Kelurahan Penganjuran. Suku Arab tinggal di Lingkungan Kampung Arab, Kelurahan Lateng dan keturunan dari orang Melayu yang dipercaya membangun Kampung Melayu.
Penduduk Kecamatan Banyuwangi juga memiliki beragam profesi. Karena posisinya sebagai ibukota kabupaten, maka banyak penduduk yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, pedagang, pengusaha, dan sebagainya. Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan umumnya tinggal di kelurahan-kelurahan yang berbatasan langsung dengan laut seperti Pakis, Sobo, Kertosari, Karangrejo, Kepatihan, Kampung Mandar dan Lateng.
Penduduk Kecamatan Banyuwangi berkumpul saat karnaval perayaan hari kemerdekaan Indonesia atau saat perhelatan Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Pada saat itu para warga memadati jalan yang menjadi rute karnaval. Selain itu setiap Kamis malam diadakan pengajian hajat yang bertempat di Masjid Agung Baiturahman. Pengajian hajat ini sangat diminati warga Kecamatan Banyuwangi sehingga terkadang parkir kendaraan membludak hingga menutup Jalan Sudirman sehingga arus lalulintas dialihkan mengitari Taman Sritanjung.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Islam di Banyuwangi
Kepercayaan agama lama yang di anut oleh mayoritas masyarakat nusantara yakni setiap percaya bahwa manusia itu sesudah mati akan menjelma kembali ke dunia secara berulang-ulang. Reinkarnasi itu bersifat menurun atau meningkat, tergantung kepada perbuatan manusia di masa lampau atau biasa di sebut dengan karma (samsara). Kaum brahmana berusaha menghindarai keadaan seperti itu, merekan tidak ingin di lahirkan kembali, mereka ingin moksha yang artinya bebas dari penglahiran kembali. Untuk mencapai moksha orang harus melakukan yoga artinya hidup sederhana menjauhi kenikmatan dan kebahagiaan duniawi menghaluskan budi membulatkan fikiran dengan jalan semedi. Sedangkan pada ajaran islam tidak mengenal adanya reinkarnasi.
Islam merupakan agama yang relefan sepanjang jaman dan sangat mudah dalam praktek ibadahnya sehari-hari, dan mempunyai tujuan pokok. Tujuan pokok islam adalah menghadap dzat maha tunggal yang di sembah. Maka dengan kata lain islam ialah tunduk kepada Allah dengan ikhlas menghadap kepadanya, meletakkan diri sebagai hamba yang rendah dan kecil di hadapannya dengan mengingatkan jiwa agar selalu ingat kepada tanpa ada perbedaan kasta maupun golongan, karena umat islam di mata Allah adalah sama.
2. Jalur Penyebaran Islam
Di dalam buku sejarah nasional dan ujian umum jilid 1 untuk SLTP kelas 1, sesuai kurikulum pendidikan dasar 1994 GBPP SLTP halaman 152 di sebutkan bahwa jalur penyebaran agama islam melalui :
1. Perdagangan
2. Perkawinan dan Politik
3. Pendidikan dan Dakwah
4. Kesenian
5. Tasawuf
Perdagangan
Sejak abad ke-7, para pedagang islam dari arab, Persia dan india telah mengambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indoneia dengan para pedagang islam. Di samping berdagang, para pedagang islam juga mengajarkan agama dan budaya islam kepada masyarakat di Indonesia (menurut serat kanda ringgit purwa, abad 11 jayabaya adalah murid Syekh Ali Syamsu Zen). Para pedagang dan masyarakat pesisir di jalur perdagangan, kota-kota pelabuhan di Indonesia yang menganut agama islam.
Di halaman 148, 149 disebutkan adanya makam tua yang bertahun 1082 M di Leran Gresik, yakni makam Fatimah binti Maemun. Kesaksian Marcopolo di perlak, ia berjumpa dengan orang-orang islam. Abad 13 islam sudah masuk ke Sumatera. Perjalanan Ibnu Batutah, utusan Sultan Delhi(India);1345 M yang singgah di Samudera Pasai menyatakan bahwa Raja Samudera Pasai giat menyebarkan agama islam. Di Gresik Sayyid Malik Ibrahim adalah pedagang kasur dan bantal, sehingga sering di sebut mbah bantal(kakek bantal).
Proses islamisasi melalui perdagangan tentu saja melibatkan kaum atas dan kaum bawah. Perdagangan di Blambangan menjadi besar setelah perang pecinan 1740 yang di lakukan oleh Inggris dan Cina.
Perkawinan
Para pedagang Islam melakukan perdagangan waktu cukup lama. Mereka menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang amat lama karena kendala transportasi dan lingkungan. Kondisi seperti ini dan sifat/ahlaq para pedagang yang cenderung mudah bergaul serta mudah menerima siapapun membuat mereka memiliki hubungan erat dengan baik itu dari kaum bangsawan maupun pribumi. Hubungan ini kadang-kadang di pererat lagi melalui tali perkawinan.
Hasil perkawinan ini menghasilkan anak-anak yang beragama islam seperti contoh adalah perkawinan Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungten, Syekh Maulana Ishak dengan Dewi Sekardadu(putri Minak Jinggo, raja Blambangan), Kertawijaya(Raja Brawijaya) menikah dengan putri Campa. Apabila yang menjadi muslim adalah seorang raja, maka hal ini akan mempercepat perkembangan islam melalui politik kekuasaan. Ketika seorang raja memeluk agama islam, seperti kertawijaya itu maka rakyatnya akan mengikuti jejak keyakinan yang dianut oleh sang raja.
Pendidikan dan Dakwah
Pendidikan dan dakwah sepertinya tidak bisa di pisahkan, karena juru dakwah adalah juru didik yang di lakukan di suatu tempat umum, guru agama ataupun para kiai juga memiliki peranan penting dalam penyebaran agama dan budaya islam. Budaya adalah alat untuk membuat agar masyarakat senang dan mencintai agama. Para juru dakwah menyebarkan agama islam melalui bidang pendidikan dan mendirikan pondok-pondok pesantren. Mereka ini memberikan pelajaran kepada para santri, yang kemudian menyebarkan dan mengembangkan kepada masyarakat. Para santri inilah yang berupaya membanguhn tempat-tempat ibadah di lingkungannya masing-masing kelak.
Pesantren-pesantren di dirikan bertujuan untuk lebih mempermudah penyebaran dan pemahaman agama islam. Misalnya pesantren Sunan Ampel di Surabaya, sunan Giri di Giri. Di Banyuwangi sendiri, sampai abad 18 Masehi belum ada satu pondok pesantrenpun yang berdiri. Pondok pesantren selalu tidak terlepas dengan adanya musholla, kamar santri, gladak(tempat mengaji), dan tentunya rumah pengasuh pondok pesantren itu sendiri
Dalam pengembangan pendidikan dan dakwah ini ada beberapa sosok pemimpin yang merupakan tokoh-tokoh handal yang mampu mempengaruhi raja, politik dan kebijakan kerajaan. Sebagai contoh Syekh Syamsu Zen, Syekh Subakir, Syekh Jumadil Kubro, Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lain-lainnya.
Kesenian
Penyebaran islam melalui kesenian saat ini biasanya di lakukan dengan mengundang masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan seni misalnya gamelan, wayang, zapen, di banyuwangi sendiri biasanya mementaskan seni pukul rebana sahut-sahutan(tarung rebana) dengan sebutan Kunthulan.
Budaya islam telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Dalam perkembangannya, pola dasar kebudayaan setempat yang tradisional masih kuat, sehingga timbul bentuk perpaduan seni tradisional dengan budaya islam. Perpaduan dua kebudayaan itu di sebut akulturasi. Seperti contohnya :
1. Sunan kalijaga mengembangkan islam melalui wayang
2. Seni tari dan gamelan di gelar pada upacara maulid Nabi Muhammad SAW.
3. Seni hias dan ukir, misalnya pada masjid kuno yang mirip candi, hiasan ukiran mirip hindu sebagaimana terdapat pada pintu gerbang masjid Gresik dan pintu masuk ke makam Sunan Giri di Jawa Timur.
4. Seni bangunan, mesjid kuno sunan kudus yang mirip dengan bangunan hindu.
5. Seni lagu, misalnya ilir-ilir dan jamuran karya cipta Sunan Giri yang ernafasan islami.
6. Seni sastra, misalnya Kancil/Pelanduk(Falandhu). Adapula Hamzah Fansuri seorang sufi dari Barus Aceh dengan sarana seni sastra bertema islam, syair Melayu. Nurrudin Ar Raniri, ulama Gujarat yang terkenal dengan karya tulisnya “Bustanus Salatin”.
Di Banyuwangi sendiri ada juga kesenian sebagai alat penyampaian agama islam. Di catat dalam buku terjemahan karya TH Pigeaud ileh Pitoyo Boedi Setiawan. “Majalah untuk Ilmu Bahasa dan Bumi Indonesia serta Bangsa-Bangsa” di terbitkan oleh yayasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan Jakarta. Bab LXXII; 1932, TBG LXXII/1932; 215-313, Catatan-catatan mengenai sudut timur jawa hal 276-277:
“Pertunjukkan-pertunjukkan yang dengan nyanyian dan tarian yang di latar belakangi oleh kepercayaan Islam Banyuwangi, sampai sekarang masih berlangsung yaitu Adrah atau Ajrah, dimana music(gendering) di mainkan untuk mengiringi nyanyian-nyanyian arab dengan beberapa anak muda yang menari-nari.”
Tasawuf
Para sufi atau ahli tasawuf biasanya hidup dalam kesederhanaan, mereka berusaha menghayati kehidupan masyarakat dengan hidup di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Biasanya mempunyai keahlian yang berguna untuk perkembangan pemikiran dan kehidupan masyarakat, misalnya dengan doanya selalu di kabulkan tuhan. Mereka aktif menghayati agama islam dan senang mengajarkan kebaikan sesuai dengan ajaran islam yang di sesuaikan dengan kondisi, alam pikiran, dan kebudayaan masyarakat. Yang terkenal sebagai ahli sufi diantaranya Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Hamzah Fansuri, Mas Moehammad Sholeh di Banyuwangi.
3. Peranan Bali Dan Belanda dalam Penyebaran Agama Islam di Banyuwangi
Kalau kita perhatikan, betapa kuatnya peranan tokoh-tokoh dalam pegembangan islam baik kekuatan luar, yaitu melalui penaklukan maupun kekuatan para ruhaniawan seperti para wali. Namun demikian, dalam kurun waktu yang sangat lama sejak di mulainya Wikrama Wardhana bertahta(1389-1429 M), di lanjutkan oleh Kertawajiya (1447-1451) dan Adi Sura Prabhawa, selanjutkan Demak, Mataram. Islam tetap tidak mampu menembus Banyuwangi di buktikan masjid baru berdiri pada abad XVII.
Banyuwangi adalah Blambangan timur yang berdekatan dengan Bali. Bali lah uang selalu mempertahankan dan membantu Banyuwangi/Blambangan timur dari segala sesuatu yang benuansakan penjajahan dan penyebaran agama baru yakni dalam hal ini adalah islam. Dimana seperti kita ketahui bersama agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah Siwa Hindu Budha, namun faham Tri Mukti di jadikan dasar keagamaan. Di susunnya struktur masyarakat denga adanya kasta adalah salah satu contoh bentuk benteng pertahanan kepercayaan masyarakat Bali dan Banyuwangi, keadaan seperti ini terus di pelihara secara turun menurun.
Menurut ketua persatuan hindu di banyuwangi, bapak ketut Sidra dan juga juru kunci keratin Macan Putih bapak elik, pada zaman dahulu ada seorang empu bernama Markandi yang berada di desa canga’ lereng gunung Raung hidup pada tahun 800 M mengajarkan Subak yang sekarang terkenal dan di praktekan di Bali. Filsafat dasar ajarannya adalah menghormati dan menghargai tumbuh-tumbuhan dan air, berbicaralah dengan kelembutan, janganlah menyakiti hati orang lain. Pada tahun 1638 gunung Raung meletus, tetapi bukti bahwa di tempat tersebut pernah ada desa canga’ yakni pemukiman yang saat ini di temukan di daerah Genteng Selatan Kabupaten Banyuwangi.
Dari fakta sejarah itulah, islam memang cukup sulit untuk masuk menuju Banyuwangi, di sisi lain juga letak geografis banyuwangi sangat sukar untuk di lakukannya dakwah penyebaran islam, sebagai bukti :
Di sebelah barat kota Banyuwangi adalah Gunung Raung yang menjulang tinggi dan kota Bondowoso. Masyarakat di sebelah barat hidup dari persil (perkebunan)dan pencari belerang, jadi tidak banyak aktifitas yang bisa di lakukan. Kondisi ini akan membawa kepada kejenuhan sehingga muncul dorongan untuk mencari ketenangan, yakni melalui agama.
Dari sisi selatan Banyuwangi di tembus melalui perang, melalui masuknya penduduk Islam Mataram dan orang-orang Madura masuk melalui Kalisat.
Sebelah timur adalah laut yang berbatasan langsung dengan Bali, sehingga penyebaran Islam dari sisi ini sangat sulit karean adanya pengaruh Bali yang masih Hinduistis.
Dari arah utara masuknya orang-orang Madura dan kelompok santri keturunan Ki Gede Banyuwangi murid Syekh Siti Jenar. Sebagai buktinya yakni adanya makam islam kuno di Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi. Makam ini bertuliskan Mubarrok Mursyid di batu nisannya, setelah di teliti oleh badan arkeolog Universitas Gajdah Mada Yogyakarta, batu nisan itu di pahat pada tahun 1448 M.
Desa-desa lama sudah ada pada waktu itu, seperti yang di tuliskan di dalam Negara Kertagama pupuh 28 bait 1, andelan pada zaman Hayam Wuru, yang mencatat adanya kunjungan Hayam Wuruk ke tempat-tempat di banyuwangi pada tahun 1359 M, desa-desa seperti Bajulmati, Bengkalingan, Bengkak, Watudodol, Boyolangu, Penataban, Cungking, Mojoroto tertulis dalam babad bayu 1771 M pupuh XIV bait 29.
Penyebaran islam ke Banyuwangi aharus menembus Blambangan yang sangat luas, selain itu juga jarak antar kota yang berjauhan, misalnya Pamotan, Pasuruan, Panarukan, Lumajang memakan waktu yang sangat lama.
Dikawasan ini juga terdapat laut, rawa seperti di Songgon Bayu, hutan lebat seperti di alas purwo dan baluran, air terjun deras seperti di antogan Rogojampi, gurun pasir di watubuncul, jurang yang curam seperti di daerahWatu Putih, Bromo, Ijen, Besuki, Mrawan dan lain-lain menunjukkan daerah ini memang sulit di jangkau.
Namun menurut C Lekerker seorang ilmuwan dan sejarawan dari portugis yang sempat bermukim di Banyuwangi cukup lama. Dalam bukunya berjudul Indische Gids II; 1923;1034 di sebutkan “bahwa dengan jatuhnya kerajaan Majapahit, rakyat yang setia kepada agama alam, yakni hindu dan budha pindah ke Pasuruan, Panarukan, Blambangan dan Bali. Dari sinilah pergerakan kerajaan Mataram menghempaskan penganut-penganut agama lama dengan mudahnya”. Data tersebut dapat di jumpai pada catatan Jendral Gubernur Van Diemen menulis surat kepada Yang Mulia Ratu ke XVII pada tanggal 18 Desember 1639 berbunyi :
“Dalam misi menjalin persahabatan dan rencana yang di jadwalkan untuk mendekati rakyat nusantara dengan memberi hadiah berupa patung gajayana serta kain sutera bernuansa krisna gagal di laksanakan. Karena saat ini tiada satupun masyarakat yang berani menyatakan dirinya sebagai penganut hindu budha dan mau menerima hadiah. Namun para petinggi masyarakat masih kami cari keberadaannya.”
Dari sinilah dapat di katakan awal suksesnya penyebaran agama islam di Banyuwangi. Namun tidak serta merta seluruh penduduknya taat pada perintah Mataram, karena beberapa rakyatnya melarikan diri ke Bali di mana sistem pertahanan kerajaan Bali masih kuat. Mereka memohon perlindungan kepada laskar-laskar Bali dari buruan prajurit Mataram. Di sisi lain penduduk Banyuwangi yang memiliki keberanian tinggi dan kepercayaan akan penjagaan arwah leluhur, tetap tinggal di Banyuwangi namun mereka bersembunyi ke pinggir seperti di Gunung Kumitir dan Rawa Bayu.
Peranan Belanda
Penyebaran islam di Jawa di lakukan dengan beragam cara, bai melalui para wali, melalui kekuasaan Demak dan Mataram sebagaimana di jelaskan di atas, bisa melalui perdangan politik dan budaya. Namun mengapa proses penyebaran lama, hal ini di karenakan tingkat kesulitan yang tinggi sebagaimana di jelaskan di atas tersebut, agama lama dan budaya leluhur telah mengakar kuat menghujan ke jantung rakyat Jawa khususnya Banyuwangi. Juga yang paling penting yakni kenyataan bahwa kerajaan islam bukan semata-mata ingin menyebarkan agama islam, namun lebih kepada pengrusakan/penghancuran/penjarahan dan penjajahan, bahkan antar kerajaan umat islam sendiri saling bertempur untuk memperebutkan wilayah, seperti Mataram yang menyerang Surabaya dan Pasuruan Islam.
Belanda yang menghadapi kekuatan politik di Blambangan sudah melakukan penelitian pola piker dan pola politik kerajaan Blambangan sejak tahun 1619 M.. blambangan pada paruh waktu pertama abad XVII direbutya ujung timur jawa oleh Sultan Agung hal 222. Dengan demikian Belanda mengharapkan kerjasama dengan Sultan Agung untuk segera dapat menguasai Blambangan secara menyeluruh. Seperti di sebutkan dalam buku Indische Gids II oleh C.Lekerker halaman 400 Banyuwangi tahun 1800-1810 M; 1923.
“Pada penerbitan Desember tahun 1923 dari majalah ini halaman 1030-1067, saya menulis ihtisar tentang sejarah Blambangan, yaitu kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang pada tahun 1767 M jatuh ke tangan Kompeni dan sejak saat itu di silamkan.”
Di halaman selanjutnya 1053 di sebutkan bahwa; Sutanegara dan Wasengsari dalam pengangkatannya sebagai Bupati di lakukan dengan sumpah meninggalkan agama lama dan masuk ke agama islam, kedua Bupati Banyuwangi di paksa untuk memeluk Islam. Pemaksaan seperti itu bukan saja tidak pantas namun juga tidak mempunyai nilai politik. Akan tetapi hal itu di lakukan untuk mencegah masyarakat Blambangan tidak bekerjasama dengan Bali.
Terjemahan buku harian seorang Gubernur Belanda di Blambangan pada tahun 1820 M “Memorial JA Van Middel Koop” tertulis :
- Pada tahun 1832-1867 gamelan di mainkan setiap hari jum’at pagi dan pada siang hari di bunyikan meriam setelah itu di laksanakan acara jum’atan.
- Bupati Wiryodhanu Adiningrat meninggal pada hari kamis tanggal 27 November tahun 1852 di kebumikan di belakang masjid Banyuwangi dana posisi mayatnya di hadapkan ke barat dengan kepala berada di selatan.
Dari sini sudah jelas sekali islam sudah berkembang di Banyuwangi.
B. Tokoh-tokoh Islam dan Peranannya
Dengan adanya peran penting Belanda dalam mengislamkan Banyuwangi, yakni melalui kerjasama dengan Sultan Agung dan perang sendiri yang di lakukan oleh Belanda yang menyerbu daerah Rawa Bayu di kecamatan songgon saat ini, yang meyebabkan 60 ribu orang dari 65 ribu penduduk Rawa Bayu terbunuh. Maka dengan mudahnya orang-orang islam dari luar Banyuwangi masuk dan menyebarkan serta mengembangkan agama islam. Diantaranya adalah Haji Tohir dari aceh, Syekh Abdurrahim Bawazir, yang hidup sejaman dengan Raden Mas Tumenggung Priggokusumo (Bupati Banyuwangi Ke-5, tahun 1867-1881), Kemudian ada juga masuk dari arah selatan Banyuwangi yaitu seperti KH. Abdul Bazar, KH. Hasan di desa Kalipuro, KH. Darda’ di Srono.
Dari keturunan raja Blambanganpun ada yang menyebarkan agama islam secara langsung ke masyarakat bawah seperti Sunan Wirowongso, Sunan Pringgojoyo, KH. Wirowongso, KH. Djuharito, KH. Abdullah Faqih(pencipta tradisi Endog-endogan Maulud yang sampai saat ini terpelihara dengan baik di Kabupaten Banyuwangi) beliau memiliki pesantren di Cemoro Songgon, KH. Rofi’i di Rogojampi, KH. Abdul Majid di Cawang.
Adapun ulama pendatang penyebar agama islam di bumi Blambangan yang kharismatik seperti; KH. Dimyati Krikilan, KH. Harun Abdullah di Tukang Kayu, KH. Muhtar Syafa’at di Blok Agung, KH. Djunaidi di Kebon Rejo, KH. Ali Mansyur (pencipta Sholawat Badar).
C. Pola yang di Pakai Dalam Penyebaran Agama Islam di Jawa
Penyebaran agama islam memiliki dua pola dalam pengembangannya yakni pola mekkah dan pola madinah. Kedua pola ini tidak dapat di pisah-pisahkan, akan tetapi keduanya saling berhungan dalam segala proses dakwahnya. Pertama yakni pola mekkah adalah sistem penyebaran islam melalui tataran bawah dengan menyentuh hati para kawula alit/ rakyat jelata. Kedua pola madinah adalah sistem penyebaran islam melalui tataran atas/ pemerintahan. Kedua pola tersebut telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri pada masanya.
Dengan adanya dua pola tersebut yang saling keterkaitan maka tumbuh dalam setiap jiwa pribadi dan tenaga-tenaga jiwa yang melahirkan umat yang militant, mulia, semangat, yakin dan mantap dalam menganut agama islam yang sesuai dengan sistem nilai kebenaran wahyu dan hadits Nabi. Seseorang akan bahagia dunia akhirat manakala dalam kehidupannya telah berkobar semangat yang nyata dalam beribadah;
1. Pola Mekkah, para penyebar agama islam di nusantara ini hadir dengan memberi contoh perilaku yang sopan dalam kehidupan, baik dalam hubungannya dengan antar umat beragama maupun hubungan pertemanan dengan penduduk nusantara dari rakyat jelata, pola mekkah menurut penulis adalah menyebarkan agama islam dengan analogi ‘menebang pohon’, yakni dari bawah keatas. Meyentuh hati para rakyat dengan ajaran-ajaran islam yang santun. Contoh : dengan perdagangan, member jasa konsultasi kehidupan dan pernikahan yang semuanya di landasi dengan nafas islam pembawa kedamaian.
2. Pola Madinah, yakni para penyebar agama islam di nusantara ini hadir di kancah elit pemerintahan dan memegang posisi yang menguntungkan dalam mengambil dan mengatur segala kebijakan bernegara. Pola madinah menurut penulis adalah menyebarkan agama islam dengan analogi ‘menggali sumur’, yakni dari atas kebawah. Meneybarkan agama islam dengan peraturan dan keputusan mutlak pemimpin/ raja. Contoh : Samudera pasai, sultan demak, sultan pajang, sultan agung dan lain sebagaianya yang dimana para rakyat tunduk dan patuh atas perintah dari putusan para pemimpinnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Menyusun data yang ada relevansinya dengan permasalahan di atas
b. Mendeskripsikan penyebaran agama islam di ujung timur pulau jawa dalam membentuk kepribadian insan al khamil.
B. Sumber Data
Pengumpulan sumber data dalam penelitian ini dapat di bagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Sumber Primer
Adalah sumber pokok, misalnya sumber yang di ambil langsung dari Al-Qur’an atau Al-Hadits serta sumber utama dari penelitian seperti buku-buku tentang sejarah penyebaran islam di Nusantara.
b. Sumber Skunder
Merupakan sumber penunjang lainnya yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas.
C. Tekhnik Pengumpulan Data
Sesuai dengan penelitian yang penyusun lakukan yang bersifat diskriptif kualitatif, maka sebagaimana layaknya studi kualitatif yang mengadakan penelitian terhadap kepustakaan (library research). Maka pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi.
Metode dokumentasi adalah sebagai laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri atas penjelasan dan pemikiran-pemikiran atas peristiwa itu dan ditulis dengan sengaja untuk penyimpanan atau menemukan keterangan mengenai peristiwa itu. Atau juga dapat dikatakan metode dokumentasi adalah mencari data berupa catatan sejarah, transkip, buku-buku, surat kabar, agenda, dan sebagainya.
Dalam metode dokumentasi ini ada dua macam, yaitu dokumentasi primer. Yaitu sumber utama dari penelitian seperti buku-buku tentang peneybaran agama islam di ujung timur pulau jawa. Sedangkan dokumentasi skunder adalah dokumen atau buku-buku yang menunjang terkumpulnya data penelitian sebagaimana tersebut di atas.
D. Tekhnik Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, karena ia menitik beratkan pada segi nilai (values) yang terdapat dalam penyebaran agama islam.
Hermawan Wasito mengatakan bahwa ”Riset diskriptif itu hanya terbatas pada segala usaha mengungkapkan suatu masalah sebagaimana adanya sehingga hanya sekedar pengungkapan fakta”. Beni Ahmad Saibani mengungkapkan juga bahwa dalam menggunakan metode deskriptif, pengumpulan data di laksanakan dengan melakukan seleksitas data dan penentuan data di anggap representatif secara oprasional. Adapun jenis penelitian ini adalah riset kualitatif. Riset kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Mengacu pada pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang di maksud riset diskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha melihat makna-makna yang terkandung di balik objek penelitian.
E. Metode Analisis dan Penafsiran Data
Metode yang di gunakan adalah analisa data diskriptif kualitatif yang cenderung menggunakan sistem berfikir untuk menemukan makna-makna dari data yang ada, kemudian untuk menarik kesimpulan secara general penyusun menggunakan tata berfikir deduksi dan induksi.
Sutrisno Hadi mengatakan “Deduksi adalah apa saja yang dipandang benar dari suatu peristiwa sebagai sesuatu yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam peristiwa itu”. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa “Induksi adalah cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa itu ditarik generalisasinya yang mempunyai sifat umum menjadi khusus agar lebih mudah difaham”.
DAFTAR PUSTAKA
Sentot Prihandajani Sigito, Mahkota Blambangan, UB Press, Malang, 2007.
Ma’hsum Syafi’i, Bintang di pagi Hari, Remaja An Najah, Banyuwangi, 1991.
Aliy As’ad, Fathul Mu’in, Jilid ke I, Menara Kudus, Yogyakarta, 1976.
Al-‘Awaisyah Husain bin ‘Audah, Memupuk Suburkan Iman dan Menyucikan Jiwa, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2006.
Al-Ghozali Imam Abu Hamid Penterjemah M. Fadlil Sa’ad An-Nadwi, Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi, Al-Hidayah, Surabaya, 1418 H.
Al-Staibani Al-Toumy Omar Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta 1979.
Selamet Utomo, Bahtera Islam Banyuwangi, DKB Press, Banyuwangi, 2004.
Sumber di ambil dari internet :
http://muktiali46.blogspot.com/2013/02/bismillahirrahmaannirrahiim-sujud.html
http://dainusantara.com/urgensi-dakwah-islam-dalam-kehidupan/
http://dakwahafkn.wordpress.com/
-Mas Rezky-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar