Selasa, 28 Januari 2014
Bahasa, Politik dan Nasionalisme
Bahasa, Politik dan Nasionalisme
Oleh: Dzulfikar Rezky LKM UNISMA
Bahasa dan Simulasi Realitas
Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983) menggunakan istilah hiper realitas untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna lewat bahasa. Di dalam dunia hiper realitas, kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran, isu lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.
Mesin-mesin bahasa dan komunikasi telah berkembang sedemikian rupa menjadi mesin-mesin simulacrum. Di dalam bukunya The Gulf War did not Take Place (1995), Jean Baudrillard menggambarkan peranan mesin-mesin simulacrum ini dalam penciptaan distorsi citra perang. Citra kekerasan dan kekejaman itu kini dapat diciptakan, direkayasa atau dibuatkan simulacrum-nya di sebuah studio TV atau di sebuah tempat palsu.
Bayangkan, serangkaian simulacrum seperti ini di dalam Perang Teluk sebagaimana yang digambarkan oleh Baudrillard dalam buku tersebut, adegan- adegan yang di dalamnya digunakan desain kostum yang penuh bercak darah yang semuanya berkaitan dengan penopengan (masquerade) perang ini, wartawan CNN dengan topeng gas di sebuah studio di Jerusalem; para tawanan yang dibius dan memar yang menyatakan penyesalannya di layar TV Irak; dan mungkin burung-burung laut yang tersiram minyak yang mengarahkan matanya yang buta ke arah langit teluk’. Bagi Baudrillard, semua adegan-adegan di televisi tersebut tak lebih dari cara penopengan informasi(masquerade of information).
Tindak semacam itu mewarnai pula kehidupan komunikasi politik era Orde Baru, dan mungkin juga era Reformasi sekarang ini. Komunikasi politik Orde Baru disarati topeng-topeng informasi dan simulacra. Terjadi pemutarbalikkan tanda di dalam semiotika politik; penjungkirbalikan makna; terjadi penciptaan kesadaran semu politik. Bahwa tindakan brutal, jahat, sadis, penjarahan, pemerkosaan, keributan, ketidakstabilan, ekstrem, subversif itu hanya dilakukan oleh “kelompok-kelompok tidak bertanggung- jawab” yang anti pemerintah. Bahwa pemerintah itu adalah penjamin keamanan(sambil menutupi berjuta teror kekuasaan), sebagai pelaku pembangunan(sambil menopengi penjarahan harta rakyat) sebagai penjaga kesatuan bangsa(sambil menyembunyikan penculikan dan penyiksaan), sebagai pengaman Pancasila(sambil membuat tabir pembunuhan massal), sebagai pahlawan(sambil menyimpan berjuta kejahatan politik)
Bahasa, Hegemoni, dan Nasionalisme
Persoalan ideologis pada bahasa muncul ketika apa yang disampaikan (dunia representasi) dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata). Pertanyaannya adalah, apakah bahasa merupakan cermin atau refleksi dari realitas atau sebaliknya, ia menceritakan separuh realitas dan menyembunyikan separuh lainnya? Disebabkan bahasa tidak terlepas dari berbagai tekanan ideologi, ketimbang menjadi cermin realitas, bahasa lebih tepat disebut sebagai perumus realitas (definer of reality). Ada berbagai mekanisme perumusan realitas dalam bahasa.
Pertama, mekanisme oposisi biner, yaitu mekanisme penyusunan kategori-kategori simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan, kelompok sosial tertentu mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul) dan kelompok lawan pada kategori kedua (buruk, salah, jahat). Mekanisme oposisi biner, biasanya digunakan oleh sebuah sistem kekuasaan guna mempertahankan kekuasaan, seperti pada sistem oposisi biner Orde Baru berikut:
Rezim penguasa vs General Others
Pancasila vs Anti Pancasila
Pembangunan vs Antipembangunan
Nasionalisme vs Antinasionalisme
Persatuan vs Antipersatuan
Demokrasi vs Sisa Komunisme
Komponen Bangsa vs Organisasi Tanpa Bentuk
Pembela bangsa vs Kelompok Subversif
Modern vs Islam fundamentalis
Penjaga Keamanan vs Pengacau Keamanan
Kedua, mekanisme sentralisasi bahasa. Sistem politik yang sentralistis dan otoriter seperti Orde Baru, menghasilkan sistem bahasa yang cenderung dikomandokan dari atas (layaknya Fasis). Berbagai potensi bahasa yang plural tidak mendapatkan ruang untuk berkembang dan mengaktualisasikan dirinya di dalam berbagai bentuk ekspresi bahasa (contoh: pelarangan penggunaan aksara Cina). Pengendalian bahasa dari atas cenderung menciptakan konflik-konflik kultural yang tersembunyi atau laten di antara berbagai kelompok-kelompok bahasa yang ada.
Ketiga, monologisme bahasa. Kekerasan simbolik menyebabkan sebuah sistem kekuasaan memusatkan diri pada egonya sendiri. Penguasa berbicara, tetapi tidak mau mendengarkan; ia mengucapkan kata-kata, tetapi tidak mau memahami Ia menggunakan bahasa sebagai alat perintah (petunjuk Bapak, instruksi Bapak), bukan sebagai alat “dialog” yang di dalamnya terjadi hubungan komunikasi dua arah.
Keempat, penyeragaman bahasa. Pengaturan kebudayan dari atas telah memunculkan pula penyeragaman bahasa di dalam berbagai aspek kebudayaan. Proses pelembagaan keseragaman bahasa (bahasa istana, bahasa P4) menjadi sebuah faktor penghambat utama dari berkembangnya kemampuan berpikir kritis yang kemudian menyebabkan tidak berkembangnya kemampuan kreativitas masyarakat pengguna bahasa.
Kelima, tafsiran monosemi (tunggal). Dalam tirani penyeragaman dan sentralisasi tersebut, masyarakat kita kehilangan sikap komunikatif di antara sesama sub-budaya. Masyarakat dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal yang dibuat oleh penguasa dan tidak diberikan peluang untuk menafsirkan berbagai aspek budaya dengan sudut pandang yang beranekaragam. Tafsiran tunggal tersebut telah menyumbat saluran komunikasi, baik antara penguasa dan rakyat maupun antara sesama kelompok masyarakat. Berbagai kasus pelarangan ungkapan bahasa visual seperti sampul bergambar kartu remi dan Soeharto merupakan contoh tafsiran monosemi ini.
Bahasa, Otonomi, dan Pluralisme Budaya
Otonomi daerah telah mengangkat kembali pertanyaan kontradiktif mengenai pluralisme yang dikontraskan dengan konsep persatuan (unity) atau kesatuan (oneness). Menguatnya tuntutan-tuntutan pemisahan diri, separatisme atau federalisme merupakan antitesis rezim Orde Baru yang memaksakan persatuan semu dan akan mempengaruhi pula eksistensi bahasa di dalamnya.
Lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional melalui Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan cermin tercapainya konsensus di antara komponen-komponen bangsa yang plural pada waktu itu. Sebelumnya, terjalin rangkaian proses dialog yang panjang di antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan persatuan tanpa harus meninggalkan pluralisme bahasa mereka masing-masing. Dengan tampilnya prinsip dialogisme yang sangat kuat dan intensif, terbentuknya bahasa nasional bukanlah sebentuk kekerasan simbolik, melainkan sebentuk hegemoni. Artinya, bahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia pada waktu itu mendapatkan penerimaan publik(consent), disebabkan keunggulannya, terutama wilayah penggunaannya yang luas, mencakup seperempat wilayah dunia, yaitu dari Afrika Selatan sampai Filipina; dari Thailand sampai Sumatera(Kompas,4 November 2000). Toh dalam era Orde Baru bahasa persatuan tersebut diselewengkan, dengan menciptakan berbagai bentuk distorsi bahasa(bahasa pejabat), berbagai bentuk kekerasan simbolik(Jawanisasi). Terjadi semacam pemaksaan baru terhadap bahasa nasional yang sebelumnya merupakan hasil konsensus.
Kecenderungan otonomi daerah dewasa ini membuka peluang menghidupkan kembali akar-akar primordialisme sebagai satu pengikat atau perekat baru dari berbagai kelompok kesukuan. Bila dulu suku-suku bangsa yang plural mengadakan dialog untuk mencapai sebuah konsensus, berupa bangsa, negara, dan bahasa yang satu, apa yang terjadi kini adalah upaya-upaya untuk melepaskan diri dari kesatuan dan persatuan tersebut dengan menghidupkan kembali isu-isu mengenai pluralisme suku, ras, agama, budaya, dan bahasa. Pembentukan provinsi baru, tuntutan merdeka, tuntutan otonomi khusus merupakan cermin upaya repluralisasi ini. Selain itu, Pertemuan Alam dan pemikiran Melayu sedunia di Batam baru-baru ini merupakan upaya untuk menggali kembali primordialisme bahasa dan budaya yang berpeluang pula sebagai sebuah alat geopolitik baru.
Di dalam kondisi yang demikian, konsep persatuan, nasionalisme, persatuan, termasuk bahasa persatuan mendapatkan sebuah tantangan besar. Pemberlakukan undang-undang otonomi daerah dalam waktu dekat ini akan menimbulkan berbagai pengaruh pada berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk aspek bahasa. Otonomi daerah adalah sebuah proses politik yang memberikan hak prerogatif pada daerah untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa campur tangan pusat, termasuk pengaturan aspek-aspek budaya dan masanya.
Sayangnya, otonomi daerah tidak pernah dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu kacamata holistik sebagai sebuah peta kekuasaan-kekuasaan di dalam sebuah keanekaragaman budaya. Bila keanekaragaman budaya ini dijadikan sebagai titik tolak di dalam otonomi, yang seharusnya dapat dibangun lewat otonomi, tidak hanya kebebasan daerah dalam menentukan dirinya sendiri (monologisme), akan tetapi bagaimana dapat dikembangkan sikap yang menganggap penting interaksi dan komunikasi dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi dan komunikasi antardaerah ini dianggap sebagai faktor utama, selanjutnya dapat dibuat garis-garis penghubung antarbudaya yang beranekaragam tersebut. Inilah yang disebut strategi transpolitik, atau transbudaya–strategi garis penghubung antarbudaya. Orang tidak hanya harus merdeka(otonomi rumah tangga) tetapi juga harus bersosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lainnya lewat bahasa.
Penulis adalah Sekretaris Jendral Lembaga Kajian Profesi Hukum Universitas Islam Malang
Malang 17 Agustus 2012
Salam Hormat
Penulis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar