Rabu, 29 Januari 2014

Mengembalikan “wajah” NU

31 Januari 1926, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Hasyim Asyhari serta beberapa ulama dijawa memprakarsai lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sejak awal berdirinya, NU merupakan organisasi yang menjadikan kepentingan agama, masyarakat, dan bangsa sebagai titik pijak perjuangannya, sehingga tidak heran apabila sampai saat ini NU begitu membumi, dan memiliki basis pendukung yang sangat beragam dari berbagai latar belakang. Diakui atau tidak, bawasannya NU adalah sebuah organisasi yang cukup “unik” dan memiliki daya tarik tersendiri. Begitu uniknya, entah telah berapa banyak orang-orang yang melakukan penelitian terhadap organisasi keagamaan ini, baik itu peneliti dari luar maupun lokal Indonesia, serta kajian-kajian dalam bentuk diskusi, seminar, ataupun tulisan-tulisan (buku, artikel, opini, dll) yang mencoba melihat NU dari berbagai macam sudut pandang. Sebagai organisasi Islam yang memiliki massa cukup besar, keberadaan NU tentu menjadi sebuah kekuatan yang cukup potensial dalam berbagai hal, termasuk politik. Sehingga tidak mengherankan apabila NU selalu sering ditarik-tarik kedalam ranah politik. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari historis panjang dan dinamika NU dalam dunia politik. Meminjam istilah Andree Feillard dalam NU Vis-à-vis Negara “NU mungkin bukan sebuah gerakan politik, tetapi ia tetap akan menjadi suatu kekuatan politik. Dengan demikian ia tidak bisa menjauh dari arena politik”. Perjalanan karier NU dalam politik diawali dengan membentuk Masyumi dengan Muhammadiyah, yang selanjutnya pada tahun 1945 berubah menjadi partai politik. Merasa kecewa dan “dikibuli” dengan Masyumi, kemudian pada Muktamar NU di Pelembang tahun 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik. Pada masa Orde Baru, NU kembali dikejutkan dengan pemarjeran partai-partai politik menjadi dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didalamnya terhimpun partai-partai berbasis Islam, termasuk NU. Dan yang kedua adalah partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang di dalamnya terdapat partai-partai nasionalis sekuler dan Kristen. Sedangkan Golkar yang pada pemilu sebelumnya menjadi peserta dan pemenang pemilu, mengklaim dirinya bukan partai politik, meskipun pada kenyataannya layaknya sebuah partai politik. Saat itu NU mau tidak mau harus berfusi dalam PPP, tetapi dalam perjalannya NU kembali “dibodohi” oleh kepemimpinan H.J. Naro , dengan membuang orang-orang NU secara kasar serta menempatkan calon legislatif NU paling berpengaruh dalam deretan “kursi tidak jadi” alias cadangan. Lahirlah kemudian, keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926. Dan hal itu sama halnya bahwa NU menarik diri dari hiruk-pikuk politik, dan lebih concern di wilayah sosial keagamaan. Memasuki reformasi, syahwat politik elite NU kembali muncul dan menguat. Hal ini ditandai lahirnya PKB yang waktu itu dibidani langsung oleh PBNU. Sikap PBNU yang terkesan “menganakemaskan” PKB dan “menganaktirikan” parpol NU lainnya, telah berakibat pada pertikaian warga NU sendiri, karena hanya berbeda wadah aspirasi politik. Waktu terus bergulir, dan tibalah pesta demokrasi (Pemilu 1999), PKB akhirnya mendapatkan urutan ke-4 pemenang pemilu dan mendapatkan 51 (11%) kursi DPR. Pada SU MPR 1999 tokoh utama NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), oleh “orang lain” ramai-ramai “diangkat” menjadi Presiden menggantikan B.J. Habibie. Namun belum genap usia kepemimpinannya, ia dilengserkan dengan tidak hormat secara “ramai-ramai” oleh orang yang dulu gigih mengegolkannya menjadi Presiden. Keberadaan dan perjalanan PKB ternyata tidak semulus seperti pada sebelumnya, berbagai macam konflik internal terkait kepemimpinan PKB, menambah daftar “nilai minus” bagi perpolitikan NU. Mulai dari kepemimpinan Matori Abdul Jalil, Alwi Syihab, dan lahirnya PKNU kemudian disusul dengan dualisme kepengurusan PKB, antara PKB Muhaimin Iskandar dan PKB Gus Dur yang diketuai oleh Yenni Wahid sungguh ”tontonan” demokrasi yang memalukan NU. Pemberitaan tentang carut-marutnya persoalan dalam tubuh NU di pentas politik sesungguhnya amat menggelisahkan kaum nahdliyin ditingkat bawah. Karena kegagalan dalam pentas politik akan berdampak pada keutuhan NU. Maka, disini NU penting untuk mengevaluasi kiprah politiknya dan diharapkan NU dapat merumuskan kembali khittahnya sebagai organisasi masyarakat sipil. Untuk itu, orientasi gerakan NU harus berpijak pada perjuangan untuk membela komunitas NU yang tertindas dan terbelakang. Komunitas NU merupakan gambaran dari keseluruhan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tradisionalis yang kebanyakan terkonsentrasi di pedesaan dengan basis massa yang diperkirakan mencapai 40-60 juta. Kondisi umum bangsa Indonesia saat ini merupakan gambaran jelas dari komunitas NU, dimana kemiskinan dan pengangguran adalah potret utama kehidupan Indonesia saat ini. Itu semua adalah tantangan NU untuk kembali menunjukan bahwa NU adalah organisasi yang mempunyai komitmen kemasyarakatan sebagai wujud pemberdayaan terhadap problem sosial umat. Berbagai kalangan, baik di dalam NU maupun di luar NU, memiliki pendapat yang berbeda-beda terhadap posisi NU di dunia politik. Mulai ada yang menghendaki NU harus memiliki kendaraan politik, sampai NU harus kembali ke khittah murninya 1926. Khittah NU 1926 yang ditetapkan kembali pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, haruslah dipahami secara dalam. Dalam khittah itu setidaknya menegaskan NU sepenuhnya, seutuhnya mulai dari sejarahnya, motivasi didirikannya, dasar keagamaannya, dan sikap kemasyarakatannya, yang dirumuskan sebagai landasan berpikir dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. NU secara institusi harus menjaga jarak dengan politik, dalam arti ada instansi antara NU dengan power (kekuasaan). Dan pada dasarnya, khittah di Situbondo tidaklah untuk membatasi gerak warga NU untuk berpolitik, melainkan hanya menyatakan tidak menjadikan NU sebagai instrument politik atau memanipulasi NU demi kepentingan politik. Politik bagi NU adalah politik kebangsaan dan kerakyatan, yang juga telah dipertegas dalam Muktamar NU tahun 1989 di Krapayak, Yogyakarta dalam rumusan sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU. Gerakan politik kebangsaan NU tersebut merupakan aset yang cukup berharga dan baik dijadikan instrumen NU untuk dapat mencapai cita-cita masyarakat madani (ideal), serta bagaimana strategi gerakan NU yang jitu dalam menjawab berbagai tantangan masyarakat yang menghalangi dan menghambat, atau bahkan mematikan potensi sumber daya NU. Mungkin dengan momentum Harlah NU ke-85 inilah NU yang dinahkodai KH Said Aqil Siradj perlu menegaskan kembali sikapnya untuk menarik batas antara politik dan kultural. Wajah NU yang kini suram harus dikembalikan pada wajah aslinya yang kultural demi terbangunnya masyarakat sipil yang di idealkan. Dinamika (politik) NU yang selama ini terlalu dominan harus segera diakhiri, untuk mengembalikan peran NU diberbagai bidang yang selama ini mengalami pasang surut. NU harus kembali ke misi awalnya yang selama ini kurang tersentuh, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Keterlibatan NU dalam urusan politik praktis, nantinya justru akan memunculkan sikap pragmatis elite-elite, serta sekat-sekat primodial dan titik permusuhan bagi warga NU. NU harus mampu mengubah diri dari paradigma mobilisasi massa kearah paradigma re-organisasi sosial massa NU, sampai tercipta pola pemberdayaan yang membumi. NU harus menjadi motivator dinamisasi dikalangan warga NU sendiri, baik dalam konteks pemikiran dan aksi-aksi sosial yang lain, sehingga nuansa progresifitas dalam tubuh NU akan tetap terpelihara dengan baik. NU harus mengurangi syahwat politiknya, karena hal itu hanya akan mempersempit ruang gerak NU, dan bukan tidak mungkin bahwa prediksi Laode Ida tentang NU dimasa depan hanya akan menjadi organisasi fungsional yang hanya membawa nilai-nilai sejarah saja. “Jadi, NU tidak ada gunanya lagi, NU tidak menarik lagi untuk dikaji dan ditulis, sebab NU sama saja dengan yang lain”. Selamat Harlah NU ke-85. *) Artikel ini juga pernah dimuat dalam surat kabar Lampung Post, Senin, 31 Januari 2011, pada kolom Opini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar