Rabu, 29 Januari 2014
Mengembalikan “wajah” NU
31 Januari 1926, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Hasyim Asyhari serta beberapa ulama dijawa memprakarsai lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sejak awal berdirinya, NU merupakan organisasi yang menjadikan kepentingan agama, masyarakat, dan bangsa sebagai titik pijak perjuangannya, sehingga tidak heran apabila sampai saat ini NU begitu membumi, dan memiliki basis pendukung yang sangat beragam dari berbagai latar belakang.
Diakui atau tidak, bawasannya NU adalah sebuah organisasi yang cukup “unik” dan memiliki daya tarik tersendiri. Begitu uniknya, entah telah berapa banyak orang-orang yang melakukan penelitian terhadap organisasi keagamaan ini, baik itu peneliti dari luar maupun lokal Indonesia, serta kajian-kajian dalam bentuk diskusi, seminar, ataupun tulisan-tulisan (buku, artikel, opini, dll) yang mencoba melihat NU dari berbagai macam sudut pandang.
Sebagai organisasi Islam yang memiliki massa cukup besar, keberadaan NU tentu menjadi sebuah kekuatan yang cukup potensial dalam berbagai hal, termasuk politik. Sehingga tidak mengherankan apabila NU selalu sering ditarik-tarik kedalam ranah politik. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari historis panjang dan dinamika NU dalam dunia politik. Meminjam istilah Andree Feillard dalam NU Vis-à-vis Negara “NU mungkin bukan sebuah gerakan politik, tetapi ia tetap akan menjadi suatu kekuatan politik. Dengan demikian ia tidak bisa menjauh dari arena politik”.
Perjalanan karier NU dalam politik diawali dengan membentuk Masyumi dengan Muhammadiyah, yang selanjutnya pada tahun 1945 berubah menjadi partai politik. Merasa kecewa dan “dikibuli” dengan Masyumi, kemudian pada Muktamar NU di Pelembang tahun 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik. Pada masa Orde Baru, NU kembali dikejutkan dengan pemarjeran partai-partai politik menjadi dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didalamnya terhimpun partai-partai berbasis Islam, termasuk NU. Dan yang kedua adalah partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang di dalamnya terdapat partai-partai nasionalis sekuler dan Kristen. Sedangkan Golkar yang pada pemilu sebelumnya menjadi peserta dan pemenang pemilu, mengklaim dirinya bukan partai politik, meskipun pada kenyataannya layaknya sebuah partai politik.
Saat itu NU mau tidak mau harus berfusi dalam PPP, tetapi dalam perjalannya NU kembali “dibodohi” oleh kepemimpinan H.J. Naro , dengan membuang orang-orang NU secara kasar serta menempatkan calon legislatif NU paling berpengaruh dalam deretan “kursi tidak jadi” alias cadangan. Lahirlah kemudian, keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926. Dan hal itu sama halnya bahwa NU menarik diri dari hiruk-pikuk politik, dan lebih concern di wilayah sosial keagamaan.
Memasuki reformasi, syahwat politik elite NU kembali muncul dan menguat. Hal ini ditandai lahirnya PKB yang waktu itu dibidani langsung oleh PBNU. Sikap PBNU yang terkesan “menganakemaskan” PKB dan “menganaktirikan” parpol NU lainnya, telah berakibat pada pertikaian warga NU sendiri, karena hanya berbeda wadah aspirasi politik. Waktu terus bergulir, dan tibalah pesta demokrasi (Pemilu 1999), PKB akhirnya mendapatkan urutan ke-4 pemenang pemilu dan mendapatkan 51 (11%) kursi DPR. Pada SU MPR 1999 tokoh utama NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), oleh “orang lain” ramai-ramai “diangkat” menjadi Presiden menggantikan B.J. Habibie. Namun belum genap usia kepemimpinannya, ia dilengserkan dengan tidak hormat secara “ramai-ramai” oleh orang yang dulu gigih mengegolkannya menjadi Presiden.
Keberadaan dan perjalanan PKB ternyata tidak semulus seperti pada sebelumnya, berbagai macam konflik internal terkait kepemimpinan PKB, menambah daftar “nilai minus” bagi perpolitikan NU. Mulai dari kepemimpinan Matori Abdul Jalil, Alwi Syihab, dan lahirnya PKNU kemudian disusul dengan dualisme kepengurusan PKB, antara PKB Muhaimin Iskandar dan PKB Gus Dur yang diketuai oleh Yenni Wahid sungguh ”tontonan” demokrasi yang memalukan NU.
Pemberitaan tentang carut-marutnya persoalan dalam tubuh NU di pentas politik sesungguhnya amat menggelisahkan kaum nahdliyin ditingkat bawah. Karena kegagalan dalam pentas politik akan berdampak pada keutuhan NU. Maka, disini NU penting untuk mengevaluasi kiprah politiknya dan diharapkan NU dapat merumuskan kembali khittahnya sebagai organisasi masyarakat sipil. Untuk itu, orientasi gerakan NU harus berpijak pada perjuangan untuk membela komunitas NU yang tertindas dan terbelakang.
Komunitas NU merupakan gambaran dari keseluruhan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tradisionalis yang kebanyakan terkonsentrasi di pedesaan dengan basis massa yang diperkirakan mencapai 40-60 juta. Kondisi umum bangsa Indonesia saat ini merupakan gambaran jelas dari komunitas NU, dimana kemiskinan dan pengangguran adalah potret utama kehidupan Indonesia saat ini. Itu semua adalah tantangan NU untuk kembali menunjukan bahwa NU adalah organisasi yang mempunyai komitmen kemasyarakatan sebagai wujud pemberdayaan terhadap problem sosial umat.
Berbagai kalangan, baik di dalam NU maupun di luar NU, memiliki pendapat yang berbeda-beda terhadap posisi NU di dunia politik. Mulai ada yang menghendaki NU harus memiliki kendaraan politik, sampai NU harus kembali ke khittah murninya 1926. Khittah NU 1926 yang ditetapkan kembali pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, haruslah dipahami secara dalam. Dalam khittah itu setidaknya menegaskan NU sepenuhnya, seutuhnya mulai dari sejarahnya, motivasi didirikannya, dasar keagamaannya, dan sikap kemasyarakatannya, yang dirumuskan sebagai landasan berpikir dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. NU secara institusi harus menjaga jarak dengan politik, dalam arti ada instansi antara NU dengan power (kekuasaan). Dan pada dasarnya, khittah di Situbondo tidaklah untuk membatasi gerak warga NU untuk berpolitik, melainkan hanya menyatakan tidak menjadikan NU sebagai instrument politik atau memanipulasi NU demi kepentingan politik.
Politik bagi NU adalah politik kebangsaan dan kerakyatan, yang juga telah dipertegas dalam Muktamar NU tahun 1989 di Krapayak, Yogyakarta dalam rumusan sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU. Gerakan politik kebangsaan NU tersebut merupakan aset yang cukup berharga dan baik dijadikan instrumen NU untuk dapat mencapai cita-cita masyarakat madani (ideal), serta bagaimana strategi gerakan NU yang jitu dalam menjawab berbagai tantangan masyarakat yang menghalangi dan menghambat, atau bahkan mematikan potensi sumber daya NU.
Mungkin dengan momentum Harlah NU ke-85 inilah NU yang dinahkodai KH Said Aqil Siradj perlu menegaskan kembali sikapnya untuk menarik batas antara politik dan kultural. Wajah NU yang kini suram harus dikembalikan pada wajah aslinya yang kultural demi terbangunnya masyarakat sipil yang di idealkan. Dinamika (politik) NU yang selama ini terlalu dominan harus segera diakhiri, untuk mengembalikan peran NU diberbagai bidang yang selama ini mengalami pasang surut. NU harus kembali ke misi awalnya yang selama ini kurang tersentuh, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Keterlibatan NU dalam urusan politik praktis, nantinya justru akan memunculkan sikap pragmatis elite-elite, serta sekat-sekat primodial dan titik permusuhan bagi warga NU.
NU harus mampu mengubah diri dari paradigma mobilisasi massa kearah paradigma re-organisasi sosial massa NU, sampai tercipta pola pemberdayaan yang membumi. NU harus menjadi motivator dinamisasi dikalangan warga NU sendiri, baik dalam konteks pemikiran dan aksi-aksi sosial yang lain, sehingga nuansa progresifitas dalam tubuh NU akan tetap terpelihara dengan baik. NU harus mengurangi syahwat politiknya, karena hal itu hanya akan mempersempit ruang gerak NU, dan bukan tidak mungkin bahwa prediksi Laode Ida tentang NU dimasa depan hanya akan menjadi organisasi fungsional yang hanya membawa nilai-nilai sejarah saja. “Jadi, NU tidak ada gunanya lagi, NU tidak menarik lagi untuk dikaji dan ditulis, sebab NU sama saja dengan yang lain”. Selamat Harlah NU ke-85.
*) Artikel ini juga pernah dimuat dalam surat kabar Lampung Post, Senin, 31 Januari 2011, pada kolom Opini.
ROSUL
Dari Al-Quran dan hadits disebutkan beberapa nama nabi sekaligus rasul, di antaranya yaitu:
• Idris diutus untuk Bani Qabil[3] di Babul, Iraq dan Memphis
• Nuh diutus untuk Bani Rasib di wilayah Selatan Iraq
• Hud diutus untuk ʿĀd yang tinggal di Al-Ahqaf, Yaman
• Shaleh diutus untuk kaum Tsamūd di Semenanjung Arab
• Ibrahim diutus untuk Bangsa Kaldeā di Kaldaniyyun Ur, Iraq
• Luth diutus untuk negeri Sadūm dan Amūrah di Syam, Palestina
• Isma'il diutus untuk untuk Qabilah Yaman, Mekkah
• Ishaq diutus untuk Kanʻān di wilayah Al-Khalil, Palestina
• Yaqub diutus untuk Kanʻān di Syam
• Yusuf diutus untuk Hyksos dan Kanʻān di Mesir
• Ayyub diutus untuk Bani Israel dan Bangsa Amoria (Aramin) di Horan, Syria
• Syu'aib diutus untuk Bangsa Rass, negeri Madyan dan Aykah
• Musa dan Harun diutus untuk Bani Israel di Mesir
• Zulkifli diutus untuk Bangsa Amoria di Damaskus
• Yunus diutus untuk bangsa Assyria di Ninawa, Iraq
• Ilyas diutus untuk Funisia dan Bani Israel, di Ba'labak Syam
• Ilyasa diutus untuk Bani Israel dan kaum Amoria di Panyas, Syam
• Uzayr diutus untuk Bani Israel
• Daud diutus untuk Bani Israel di Palestina
• Sulaiman diutus untuk Bani Israel di Palestina
• Daniyal diutus untuk Bani Israel di Palestina
• Shamu`ayl diutus untuk Bani Israel di Palestina
• Syam`un diutus untuk Bani Israel di Palestina
• Zakaria diutus untuk Bani Israil di Palestina
• Yahya diutus untuk Bani Israil di Palestina
• Yusha diutus untuk Bani Israel di Palestina
• Isa diutus untuk Bani Israil di Palestina
• Muhammad seorang nabi & rasul terakhir yang diutus di Jazirah Arab untuk seluruh umat manusia dan jin.
Tuntunan Perkawinan
1. Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak. (HR. Abu Dawud)
2. Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya. (HR. Bukhari)
3. Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi. (HR. Al Hakim dan Ath-Thahawi)
4. Rasulullah Saw melarang laki-laki yang menolak kawin (sebagai alasan) untuk beralih kepada ibadah melulu. (HR. Bukhari)
5. Apabila datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
6. Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (isteri) yang sholehah. (HR. Muslim)
7. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Ra: "Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya." (HR. Ahmad)
8. Diharamkan dari penyusuan apa yang diharamkan dari keturunan (nasab). (HR. Bukhari)
Penjelasan:
Larangan hukum yang dikenakan terhadap nasab seperti hukum pernikahan, warisan, dan lain-lain berlaku juga terhadap anak atau saudara sesusu.
9. Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu. (HR. Muslim)
10. Janganlah seseorang membeli (menawar) di atas penawaran saudaranya dan jangan meminang di atas peminangan saudaranya, kecuali jika saudaranya mengijinkannya. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
11. Barangsiapa mengawini seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah akan menambah baginya kerendahan, dan barangsiapa mengawini wanita karena memandang harta-bendanya maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan barangsiapa mengawininya karena memandang keturunannya maka Allah akan menambah baginya kehinaan, tetapi barangsiapa mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin meredam gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau ingin mendekatkan ikatan kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi isterinya dan memberkahi isterinya baginya. (HR. Bukhari)
12. Seorang janda yang akan dinikahi harus diajak bermusyawarah dan bila seorang gadis maka harus seijinnya (persetujuannya), dan tanda persetujuan seorang gadis ialah diam (ketika ditanya). (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Penjelasan:
Diamnya seorang gadis adalah tanda setuju sebab gadis lebih banyak malu ketimbang janda.
13. Kawinilah gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih sedap mulutnya dan lebih banyak melahirkan serta lebih rela menerima (pemberian) yang sedikit. (HR. Ath-Thabrani)
14. Sebaik-baik wanita ialah yang paling ringan mas kawinnya. (HR. Ath-Thabrani)
15. Allah 'Azza wajalla berfirman (dalam hadits Qudsi): "Apabila Aku menginginkan untuk menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang muslim maka Aku jadikan hatinya khusyuk dan lidahnya banyak berzikir. Tubuhnya sabar dalam menghadapi penderitaan dan Aku jodohkan dia dengan seorang isteri mukminah yang menyenangkannya bila ia memandangnya, dapat menjaga kehormatan dirinya, dan memelihara harta suaminya bila suaminya sedang tidak bersamanya. (HR. Ath-Thahawi)
16. Tiada sah pernikahan kecuali dengan (hadirnya) wali dan dua orang saksi dan dengan mahar (mas kawin) sedikit maupun banyak. (HR. Ath-Thabrani)
17. Barangsiapa menjanjikan pemberian mas kawin kepada seorang wanita dan berniat untuk tidak menepatinya maka dia akan berjumpa dengan Allah Ta'ala sebagai seorang pezina. Barangsiapa berhutang tetapi sudah berniat untuk tidak melunasi hutangnya maka dia akan menghadap Allah 'Azza wajalla sebagai seorang pencuri. (HR. Ath-Thabrani)
18. Janganlah seorang isteri memuji-muji wanita lain di hadapan suaminya sehingga terbayang bagi suaminya seolah-olah dia melihat wanita itu. (HR. Bukhari)
19. Janganlah seorang isteri minta cerai dari suaminya tanpa alasan (sebab yang dibenarkan), niscaya dia tidak akan mencium bau surga yang baunya dapat dirasakan pada jarak tempuh empat puluh tahun. (HR. Ibnu Majah)
20. Seorang isteri yang ketika suaminya wafat meridhoinya maka dia (isteri itu) akan masuk surga. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)
21. Allah Swt kelak tidak akan memandang (memperhatikan) seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya meskipun selamanya dia membutuhkan suaminya. (HR. Al Hakim)
22. Hak suami atas isteri ialah tidak menjauhi tempat tidur suami dan memperlakukannya dengan benar dan jujur, mentaati perintahnya dan tidak ke luar (meninggalkan) rumah kecuali dengan ijin suaminya, tidak memasukkan ke rumahnya orang-orang yang tidak disukai suaminya. (HR. Ath-Thabrani)
23. Tidak sah puasa (puasa sunah) seorang wanita yang suaminya ada di rumah, kecuali dengan seijin suaminya. (Mutafaq'alaih)
24. Tidak dibenarkan seorang wanita memberikan kepada orang lain dari harta suaminya kecuali dengan ijin suaminya. (HR. Ahmad)
25. Apabila seorang dari kamu hendak meminang seorang wanita dan dapat melihat bagian-bagian dari tubuhnya, hendaklah melakukannya. (HR. Ahmad)
Keterangan:
Islam menentukan batas yang boleh dilihat, demi kehormatan kaum wanita. Laki-laki yang hendak meminangnya hanya diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangannya. Hal itu sudah dianggap cukup mewakili seluruh tubuhnya. Kepada lelaki itu diberi kesempatan melihat batas yang. diperbolehkan itu lebih lama dari biasa, dengan harapan mungkin hal itu akan mendorong minatnya untuk mengawininya. Di dalam syarh Al-Imam An-Nawawi pada shahih Muslim disebutkan bahwa izin untuk melihat ini tidak harus dengan persetujuan wanita itu, dan sebaiknya dilakukan tanpa sepengetahuannya, karena hal itu mutlak diizinkan oleh Rasulullah Saw. tanpa syarat keridhaannya. Biasanya wanita akan malu untuk memberikan izin. Hal ini untuk menjaga agar tidak melukai perasaannya, kalau setelah melihatnya, lelaki itu kemudian mengundurkan diri. Karena itulah dianjurkan untuk melihat tanpa sepengetahuan si wanita sebelum melakukan peminangan.
26. Tidak dibenarkan manusia sujud kepada manusia, dan kalau dibenarkan manusia sujud kepada manusia, aku akan memerintahkan wanita sujud kepada suaminya karena besarnya jasa (hak) suami terhadap isterinya. (HR. Ahmad)
27. Bila seorang menggauli isterinya janganlah segan untuk mengucapkan doa:
"Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkan setan dari apa yang Engkau berikan rezeki bagiku (anak)." Sesungguhnya kalau seandainya Allah menganugerahkan bagi mereka anak maka anak tersebut tidak akan diganggu setan sama sekali. (HR. Bukhari)
28. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, "Apa hak isteri terhadap suaminya?" Nabi Saw menjawab, "Memberi isteri makan bila kamu makan, memberinya pakaian bila kamu berpakaian, tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh menjelek-jelekkannya dan jangan menjauhinya kecuali dalam lingkungan rumahmu. (HR. Abu Dawud)
29. Apabila di antara kamu ada yang bersenggama dengan isterinya hendaknya lakukanlah dengan kesungguhan hati. Apabila selesai hajatnya sebelum selesai isterinya, hendaklah dia sabar menunggu sampai isterinya selesai hajatnya. (HR. Abu Ya'la)
Keterangan:
Hendaknya suami dan istri sama-sama merasakan kepuasan dan sama-sama mencapai ejakulasi.
30. Apabila seorang di antara kamu menggauli isterinya, janganlah menghinggapinya seperti burung yang bertengger sebentar lalu pergi. (HR. Aththusi)
Keterangan:
Sama seperti pada no.29 diatas.
31.
Janganlah kamu menggauli isteri sebagaimana unta atau keledai, tetapi hendaklah bercumbu dan bercengkerama terlebih dahulu. [hadits ini tidak dituliskan siapa yang meriwayatkannya, karena itu saya sertakan teks arabnya]
Keterangan:
Yakni tidak langsung melakukan hubungan intim sebelum pemanasan dahulu, diantaranya bergurau, bercumbu dan membelai mesra istri.
32. Seburuk-buruk kedudukan seseorang di sisi Allah pada hari kiamat ialah orang yang menggauli isterinya dan isterinya menggaulinya dengan cara terbuka lalu suaminya mengungkapkan rahasia isterinya kepada orang lain. (HR. Muslim)
33. Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi. (HR. Abu 'Asaakir)
34. Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci isterinya yang beriman. Bila ada perangai yang tidak disukai, dia pasti ridha (senang) dengan perangainya yang lain. (HR. Muslim)
35. Isteri yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan tanggungannya. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
36. Sesungguhnya wanita seumpama tulang rusuk yang bengkok. Bila kamu membiarkannya (bengkok) kamu memperoleh manfaatnya dan bila kamu berusaha meluruskannya maka kamu mematahkannya. (HR. Ath-Thahawi)
37. Hindun, ibunya Muawiyah, bertanya kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah, Abu Sufyan suamiku seorang yang pelit, apakah aku boleh mengambil uangnya sedikit secara sembunyi-sembunyi?" Nabi Saw menjawab, "Ambillah dengan cara yang makruf (baik) untuk mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anak-anakmu." (HR. Bukhari)
38. Rasulullah Saw melarang azal terhadap isteri kecuali dengan persetujuannya. (HR. Ahmad)
Penjelasan:
Adapun budak yang diperistrikan dibolehkan azal bagi laki-laki kalau tidak menghendaki keturunan daripadanya.
39. Allah melaknat suami yang mengambil laki-laki lain untuk mengawini bekas isterinya yang sudah cerai tiga talak supaya bisa dirujuk kembali olehnya. Jadi perkawinan itu sekedar tipu muslihat bagi pengesahan rujuk. Orang yang mau disuruh membantu tipu daya dengan mengawini lalu dicerai (tidak digauli) juga dilaknat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim)
40. Rasulullah Saw melarang kawin mut'ah. (HR. Bukhari)
Penjelasan:
Kawin mut'ah ialah kawin untuk waktu tertentu atau disebut kawin kontrak.
41. Talak (perceraian) adalah suatu yang halal yang paling dibenci Allah. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
42. Ada tiga perkara yang kesungguhannya adalah kesungguhan (serius) dan guraunya (main-main) adalah kesungguhan (serius), yaitu perceraian, nikah dan rujuk. (HR. Abu Hanifah)
Penjelasan:
Jadi dilarang bergurau (main-main) dalam ketiga perkara diatas.
43. Apabila suami mengajak isterinya (bersenggama) lalu isterinya menolak melayaninya dan suami sepanjang malam jengkel maka (isteri) dilaknat malaikat sampai pagi. (Mutafaq'alaih)
44. Terkutuklah siapa-siapa yang menyetubuhi isterinya lewat duburnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
45. Allah tidak akan melihat (memperhatikan) seorang lelaki yang menyetubuhi laki-laki lain (homoseks) atau yang menyetubuhi isteri pada duburnya. (HR. Tirmidzi)
46. Saling berwasiatlah kalian tentang kaum wanita dengan baik-baik. Mereka itu adalah tawanan di tanganmu. Tiada kalian bisa menguasai apa-apa dari mereka, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji (zina), pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka atau lakukan pemukulan yang tidak membekas. Apabila mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Kalian punya hak atas mereka dan mereka pun punya hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan tempat tidur kalian diinjak oleh orang yang tidak kalian sukai, dan hak mereka atas kalian adalah memberi sandang-pangan kepada mereka (isteri-isterimu) dengan yang baik-baik. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Keterangan:
Di dalam buku "Ketentuan Nafkah Istri dan Anak" karya Drs. Muhammad Thalib, disebutkan bahwa ketentuan nafkah untuk istri diantaranya adalah:
- Keperluan makan dan minum
- Keperluan pakaian
- Keperluan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan
Selain itu, suami berkewajiban pula menyediakan tempat tinggal untuk istri dan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt didalam Al Qur'an, "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka." (Surat 65. ATH THALAAQ - Ayat 6)
Dalil dalil Puasa bulan Muharram Puasa Hari Assyura tanggal 9 dan 10 Muharram
Dalil - dalil berikut ini adalah jawaban-jawaban dari para jamaah yang dijawab langsung oleh Habib Munzir Al Musawwa
Sabda Rasul saw : “sebaik baik puasa setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram” (shahih Ibn Hibban hadits no.3636)
Sabda Rasulullah saw : “puasa hari asyura menghapus dosa setahun yg sebelumnya” Shahih Muslim hadits no.1162)
sunnah membelanjakan hadiah untuk istri dan keluarga di hari asyura, dan para sahabat menjadikan puasa untuk anak2 mereka yg masih bocah pula, diriwayatkan dalam beberapa hadits pada shahih muslim bahwa shabata mengumpulkan anak anak bocah mereka di masjid dan membuatkan mainan mainan untuk mereka, bila mereka menangis karena lapar maka mainan itu diberikan pada mereka untuk melupakan lapar dan hausnya. (shahih Muslim).
mengenai puasa di bulan muharram yg terbaik adalah pada tanggal 9-10.
dan riwayat shahih menyatakan bahwa puasa paling afdhal setelah ramadhan adalah di bulan muharram.
Niat Puasa Aasyura (10 Muharram) :
” NAWAYTU SHAUM ASYURA SUNNAH LILLAHI TA’ALA”
Puasa 10 muharram adalah sunnah Rasul saw, demikian belasan hadits riwayat shahih Bukhari dan shahih Muslim dan lainnya, riwayat shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda puasa 10 muharram menghapus dosa setahun,
riwayat shahih Ibn Hibban sebaik baik puasa setelah ramadhan adalah puasa asyura (10 muharram).Dalam madzhab syafii (madzhab kita), berpuasa adalah pada 9-10, karena Imam Syafii berfatwa terdapat hadits Rasul saw bahwa jika aku menjumpai tahun yg akan datang aku akan berpuasa 9 dan 10 muharram, namun beliau wafat dan tidak sempat melaksanakan puasa 9 - 10,
namun Imam syafii berfatwa bahwa puasa 9-10 jauh lebih berhak dilakukan, demi tidak menyamai yahudi yg berpuasa hanya pada 10 Muharram saja, karena Rasul saw selalu mengajarkan untuk tidak menyamakan diri dg yahudi dan nasrani.
19 Hadist Nabi Mengenai Wanita
Subhanallah ternyata wanita itu lebih mulia daripada laki-laki
mau tau alasannya kenapa wanita lebih mulia daripada laki-laki
simak beberapa hadist nabi mengenai wanita ...:)
1. Doa perempuan lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayangnya yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah akan hal tersebut, jawab baginda, "Ibu lebih penyayang daripada bapak dan doa orang
yang penyayang tidak akan sia-sia".
2. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah mencatatkan baginya setiap hari dengan 1.000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1.000 kejahatan.
3. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah.
4. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.
5. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan..
6. Apabila semalaman ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah memberinya pahala seperti memerdekakan 70 hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah.
7. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang sentiasa menangis karena takut akan Allah dan orang yang takut akan Allah, akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.
8. Barangsiapa membawa hadiah, (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedekah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barangsiapa yang menyukakan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak NabiIsmail.
9. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya(10. 000 tahun).
10. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana saja yang dikehendaki.
11. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 1.000 lelaki yang soleh.
12. Aisyah berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab Rasulullah, "Suaminya. "Siapa pula yang berhak terhadap lelaki?" Jawab Rasulullah, "Ibunya".
13. Apabila memanggil akan engkau dua orang ibu bapakmu, maka jawablah panggilan ibumu dahulu.
14. Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung diudara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama dia taat kepada suami serta menjaga sembahyang dan puasanya.
15. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.
16. Syurga itu di bawah tapak kaki ibu.
17. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku Nabi SAW) di dalam syurga.
18. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya syurga.
19. Dari Aisyah r.a., Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuan lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.
mungkin kita bs ambil kesimpulan tersendiri..
jadi kaum adam jangan semena-mena dengan kaum hawa :D tp...? yang wanita jangan terlalu menganggap remeh laki-laki,
karena wanita yang sudah bersuami harus berbakti kepada suaminya..
kalau g ,,ntr masuk neraka lo ...:(
10 Kebiasaan Orang Karismatik (From Kompasnia Home / Karir / Dunia Kerja 10 Kebiasaan Orang Karismatik Senin, 26 November 2012 | 17:50 WIB )
Orang yang kharismatik akan membiarkan orang lain mendapat pengakuan atas pencapaiannya.
KOMPAS.com - Pernahkah Anda merasa ada seseorang yang selalu merasa diri Anda istimewa? Orang itu bukan pasangan Anda, bukan atasan, bukan pula rekan kerja yang senior. Orang itu hanya rekan kerja biasa, tetapi selalu membuat ruang kerja menjadi hidup ketika ia hadir. Entah apa yang menyebabkannya begitu. Mungkin, karena orang ini pada dasarnya karismatik.
Orang karismatik mampu membangun dan menjaga hubungan baik, dan secara konsisten memengaruhi orang-orang di sekitar mereka dengan cara yang positif. Yang paling penting, mereka selalu membuat orang lain merasa penting dan merasa lebih baik.
Ingin tahu apakah Anda punya ciri-ciri orang yang karismatik, atau, Anda ingin menjadi orang yang karismatik? Ini dia tanda-tandanya:
1. Lebih banyak mendengarkan
Orang yang karismatik selalu menjaga kontak mata, tersenyum, mengangguk, dan melontarkan pertanyaan, untuk menghargai lawan bicara. Orang karismatik tidak memberikan nasihat kecuali ditanya. Mereka lebih banyak mendengarkan, untuk menunjukkan bahwa mereka peduli. Mereka tahu, jika memberi nasihat maka pembicaraan akan lebih berkisar pada diri mereka. Ingat kan, kalau Anda mulai memberi nasihat? Anda akan mengatakan, "Kalau aku sih..." dan bukannya, "Bagaimana kalau kamu...."
2. Mereka tidak pilih-pilih
Ada sebagian orang yang tidak mampu mendengarkan sesuatu yang dikatakan orang lain yang dianggap lebih rendah. Mungkin saja keduanya saling berbicara, tapi orang yang lebih "tinggi" biasanya tidak akan benar-benar mendengarkan. Sebaliknya, orang karismatik akan mendengarkan siapa saja, tak peduli posisi atau status sosialnya. Mereka bisa merasa mempunyai kesamaan dengan siapa saja, tidak hanya orang yang ada di "kelas" mereka saja.
3. Mereka akan berhenti beraktivitas ketika diajak bicara
Kesal kan, kalau Anda berbicara pada atasan, tetapi dia tetap sibuk mengecek ponsel, laptop, atau koran yang dibacanya? Orang karismatik tidak akan melirik monitor komputernya ketika diajak bicara. Mereka tahu, tidak akan bisa terkoneksi dengan orang lain jika masih sibuk terkoneksi dengan ponsel, televisi, atau apa pun. Mereka terbiasa mencurahkan seluruh perhatian pada yang diajak bicara. Tak heran orang lain ingin selalu ada di dekat mereka.
4. Mereka selalu memberi lebih dulu, dan kadang tak pernah menerima kembali
Bahasa Inggrisnya "take and give", dan versi bahasa Indonesia sebenarnya lebih baik: "memberi dan menerima". Artinya, kita mengutamakan untuk memberi lebih dulu, baru menerima. Inilah yang dilakukan orang karismatik, dan mereka tidak memikirkan apakah mereka akan menerima balasan. Mereka berfokus pada apa yang bisa diberikan, karena memberi menjadi cara untuk menciptakan koneksi nyata dalam suatu hubungan.
5. Mereka tidak merasa diri mereka penting
Orang yang akan terkesan dengan diri Anda yang (sok) penting dan hebat tak lain orang-orang yang juga merasa diri mereka penting. Yang lain, tak akan terkesan dengan orang yang sok penting. Orang lain mungkin justru akan merasa terganggu dan tidak nyaman.
6. … Karena menganggap orang lain lebih penting
Orang karismatik mempunyai pengetahuan, pendapat, dan sudut pandang sendiri dari suatu masalah. Namun, hal itu tidak penting bagi mereka karena mereka tidak bisa memelajari sesuatu dari diri mereka sendiri. Mereka sadar, mungkin saja ada hal-hal yang diketahui orang lain tetapi tidak mereka pahami. Hal itu membuat orang lain menjadi lebih penting bagi mereka, karena mereka bisa belajar dari pengalaman orang lain.
7. Mereka membiarkan orang lain bersinar
Mereka tahu bahwa ada orang yang tidak cukup menerima penghargaan atas prestasinya. Karena itu, mereka akan menunjukkan pada khalayak bahwa seeorang tersebut -sebutlah rekan kerjanya- telah melakukan tugasnya dengan baik. Mereka tahu, sebuah pengakuan akan membuat rekan kerjanya merasa telah membuat suatu pencapaian, dan merasa lebih penting. Hal inilah yang membuat orang yang berkarisma dihargai lebih jauh: karena mereka peduli untuk memerhatikan pencapaian yang dilakukan orang lain.
8. Mereka cermat memilih kata-kata
Mereka sadar, kata-kata yang mereka gunakan bisa memengaruhi perilaku orang lain. Misalnya, ketika ingin mengatakan, "Anda tidak harus menyiapkan presentasi untuk klien yang baru", mereka memilih untuk mengatakan, "Anda kan harus berbagi berita seru untuk teman-teman di divisi kita...." Kata-kata yang menjadi pilihan orang karismatik bisa membantu orang lain merasa lebih baik. Mereka menciptakan suasana yang bahagia, antusias, dan terpenuhi kebutuhannya.
9. Mereka tidak berbagi gosip dengan orang lain
Kita semua tentu senang mendengar gosip. Masalahnya, kita sebenarnya tidak menghargai orang yang pertama menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya tersebut. Sebab, siapa yang tahu orang yang menyebar gosip itu juga pernah menyebar berita tak sedap mengenai diri kita? Lalu kita ditertawakan ramai-ramai di belakang kita? Inilah yang tidak dilakukan orang karismatik. Mereka tidak membuka peluang untuk menertawakan orang lain, dan dengan sendirinya tidak akan ditertawakan.
10. Mereka mau mengakui kegagalan mereka
Orang yang sukses sering dianggap berkarisma karena mereka sukses. Namun, Anda tidak harus menjadi sukses untuk menjadi orang yang karismatik. Anda hanya perlu bersikap tulus untuk menjadi karismatik. Orang karismatik selalu rendah hati, mau berbagi tentang kegagalan yang Anda lakukan, mengakui kesalahan, dan mampu menertawakan diri sendiri. Sementara, orang lain tidak akan menertawakan orang yang karismatik; mereka akan tertawa bersama. Itulah yang membuat orang karismatik lebih disukai.
Penulis :
Felicitas Harmandini
Editor :
Dini
Selasa, 28 Januari 2014
KEBANGKITAN PESANTREN KEBANGKITAN INDONESIA
KEBANGKITAN PESANTREN
KEBANGKITAN INDONESIA
Oleh : Dzulfikar Rezky. SH
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat kental dengan warna dan kearifan lokal, pesantren-pesantren yang bertaburan di seluruh pelosok negeri ini tidak pernah luput dari tradisi masyarakat yang menjadi basisi sosialnya. Pesantren memiliki peran yang cukup signifikan dalam memelihara, menjaga, mengembangkan jiwa nasionalisme dan patriotism, serta mengarahkannya dalam wujud perjuangan kemerdekaan. Penulis tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada negeri Indonesia tercinta ini apabila semua lembaga pendidikan mengikuti pola modern barat. Bisa di pastikan jiwa nasionalisme dan patriotism akan sangat sulit di bangun dan luntur tergerus sapuan ombak dari negeri barat. Pesantren wajib hukumnya untuk di pertahankan dan di kembangkan eksistensinya di negeri ini. Mengutip dari tausiyah KH. Hasyim Muzadi bahwa pesantren adalah sebagai “konservatorium jiwa nasionalisme dan patriotisme”.
Sejak kelahirannya, pesantren telah berfungsi sebagai lembaga dakwah pendidikan islam, wadah perjuangan islam, dan pusat pelayanan masyarakat. Sampai sekarang fungsi itu masih tampak nyata dan menjadi ciri khasnya. Ada 3 hal utama yang menjadi misi pesantren, yakni pendidikan, perjuangan dan pelayanan. Bukan sesuatu yang aneh apabila hampir semua upaya dan perjuangan untuk memajukan dan mengembangkan islam bermarkas di pesantren, di bawah kepemimpinan para kyai/ ulama yang menjadi pengasuhnya.
Kyai pesantren adalah sosok yang memiliki beragam peran, dari peran sebagai pengelola, pengawas, pengendali, hingga peran sebagi pembimbing utama jalannya kemajuan dan pengembangan pesantren. Kyai yang juga ulama pesantren tampil secara mandiri dalam mengelola basis sosialnya(Keluarga Kyai, ustadz wa ustadzah, para santri dan masyarakat sekitar pesantren). Pada umumnya pesantren di bangun dan dibesarkan oleh masyarakat sejak awal kelahirannya, pesantren berwatak mandiri;dalam menentukan program, mandiri dalam mengelola diri dan mandiri dalam mengembangkan diri. Mandiri dalam era globalisasi saat ini menurut penulis adalah “suatu tindakan yang berdiri diatas prinsip kebaikan dengan cara mengajak sebanyak mungkin manusia untuk bersatu berjalan beriringan di bawah panji prinsip kebaikan tersebut demi tercapainya cita-cita yang mulia”.
Karena sikap mandiri itulah pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia mampu bertahan selama berabad-abad. Tali pengikat antara Kyai dan masyarakat tersimpul kuat serta mengakar tunjang dalam sejarah besar kemajuan bangsa Indonesia.
Dunia pesantren bukan hanya mandiri, tetapi juga sangat unik. Kyai dan santri memiliki hubungan bathin yang sangat kuat. Kyai dan santri satu hati dan satu misi. Seorang santri, meskipun telah berhasil menjadi ulama besar, tidak pernah melupakan jasa kyai yang pernah menjadi gurunya. Rasa hormatnya tidak pernah luntur. Para mantan guru selalu mendapat tempat terhormat dalam relung hatinya. Para santri baik yang masih ada di dalam pesantren ataupun yang sudah lulus dan kembali pulang ke kampong halamannya masing-masing dan menyandang berbagai profesi(penagsuh pesantren, guru,pegawai negeri,petani,pengusaha,politisi,dan lain sebagainya) tetap kokoh dengan keluarga pesantren dan kyai yang membesarkannya.
Pesantren kini bukan hanya sebagai lembaga pendidikan yang bertugas untuk mencetak para kader ulama nusantara, melainkan juga menjadi lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya insani yang berkualitas tinggi dan memiliki daya saing yang bergengsi di mata dunia. Pesantren kini di tuntut untuk mengembangkan pola pendidikan terhadap para santrinya dengan mengajarkan seluruh keterampilan hidup yang bermanfaat bagi kehidupan dan perjuangan masa depan santrinya. Tekhnologi tinggi sudah wajib tentunya saat ini di jamah oleh tangan para staf pengajar dan santri di dalam pesantrennya. Tidak dapat di katakan bahwa pesantren itu baik apabila hanya berkutat dalam masalah-masalah furu’iyah dan kegamaan yang kental akan ke mutlakan dalam beribadah. Namun pesantren yang baik dan berkualitas kini harus memiliki wajah kekasih Allah dengan Live Skill yang di cintai oleh seluruh mahluk Allah.
Sebagai markas besar perjuanagn, pesantren harus secara istiqomah memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik terkait dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Pesantren yang tidak ingin dan tidak mampu melayani masyarakat maka dapat di pastikan dengan cepat akan di tinggalkan dan di lupakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pejuang-pejuang Allah dan penganut ajaran Rasulullah Ahlussunnah wal Jama’ah, pesantren sebagai tempat penggodokan calon ulama dan kader insan al-khamil penerus perjuangan bangsa harus tetap eksis. Pesantren harus menjadi tempat pembinaan akhlak yang tidak pernah berhenti sedetikpun. Penulis optimis, pesantren akan tetap di butuhkan sepanjang jaman, apalagi ketika manusia semakin haus nilai ketenangan yang hakiki.
Profil Penulis
Dzulfikar Rezky, lahir di desa kauman Rogojampi di pinggiran kota Banyuwangi, 22 Juni 1991, putera ke empat dari enam bersaudara, pasangan dari Ayah H. Muhammad Joni Subagio, SH., M.H dan Ibu Hj. Dewi Farida Subagio. Penulis dalam buku terbitan Hasan Singodimayan berjudul Trah Pancer Bre Wirahbumi tahun 2006. Adalah keturunan ke-13 dari Prabu Tawang Alun Raja Kedhaton Macan Putih Banyuwangi. Menempuh pendidikan formal dan non formal mulai dari TK Muslimat Khadijah dua tahun, MI Islamiyah Rogojampi enam tahun, PP. Bustanul Makmur dua tahun, PP. Darun Najah Banyuwangi selama tiga tahun, kemudian melanjutkan pendidikan SMAnya di SMA Negeri 1 Giri Banyuwangi.
Sembari mondok di PP. Al-Anwari. Selanjutnya penulis melanjutkan studinya ke jenjang strata satu Fakultas Hukum di Universitas Islam Malang.
Selama berada di dunia pendidikan, penulis banyak ‘menghibahkan’ waktunya untuk berorganisasi. Beberapa organisasi yang pernah di geluti oleh penulis ialah : Menjabat sebagai Ketua Umum Organisasi Daerah Mahasiswa Banyuwangi-Malang (LAROSMA RAYA)2009-2010, Ketua Komisariat Pengurus Harian Keluarga Silat Perisai Diri UNISMA 2010-2012, sekretaris rayon PMII Al-Hikam 2010, Wakil Ketua Komisariat PMII UNISMA 2011, Sekretaris Cabang PMII Malang 2012, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)Fakultas Hukum UNISMA 2010, Menteri Luar Negeri Dewan Kepresidenan Mahasiswa(LKM)UNISMA2012, Koordinator editing Majalah Mentari UNISMA 2010-2012 dan sekaligus menjadi pendiri organisasi intra kampus Lembaga Kajian Profesi Hukum (LKPH)UNISMA menjabat sebagai Sekretaris Jendral 2012.
Kecintaannya terhadap organisasi juga penulis imbangi dengan prestasi akademik dan non akademik. Selama menjadi mahasiswa, penulis selalu meraih nilai sepuluh besar terbaik di angkatannya, terbukti penulis pernah menghadiahi UNISMA dengan beberapa trhopy diantara; di tahun 2010 penulis menjadi juara III pencak silat IPSI se-Jawa Timur, di tahun yang sama meraih juara I kelas D putera cabang olah raga pencak silat IPSI di Olimpiade Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, tahun 2011 penulis meraih juara II lomba debat hukum tata negara se-Kota Malang dan berhasil lolos hingga menduduki posisi semifinalis pada kompetisi debat Mahkamah Konstitusi(MKRI) 2012 yang di adakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta.
Selain giat dalam organisasi dan dunia jurnalistik, di luar itu penulis adalah seseorang yang tunduk ta’at terhadap para ulama’ penulis juga mencintai dunia pesantren dengan aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah.
Motto :
Al Itiqomatu
Khoirun Min
Alf Karomah
Komunikasi dengan penulis ;
HP - 085 258 946 038
Email - rezky9subagio@gmail.com
Blog – dzulfikarrezky.blogspot.com
BUYUT PRINGGOKUSUMO
BUYUT PRINGGOKUSUMO
Banyuwangi dalam catatan sejarah lebih dikenal dengan nama Blambangan/ Belambangan. Dia menyimpan banyak mistis. Baik tentang sejarah, babad, maupun cerita-cerita yang dari mulut ke mulut terus berkembang bahkan menarik untuk dikaji dan diteliti baik dari sisi sejarah, budaya, maupun sosialnya.
Blambangan dibalik keindahan dan kesuburannya ternyata memiliki banyak sekali situs-situs purbakala yang seakan terabaikan dari perhatian masyarakat Banyuwangi sendiri. Ada beberapa situs purbakala yang mungkin kurang mendapat perhatian dari Pemkab Banyuwangi salah satunya adalah istana macan putih. Inilah jejak kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan. Terletak sekitar 12 km barat daya Banyuwangi kota, kejayaan Blambangan pada XIII hingga abad XVIII nyaris luput dari sejarah nasional. Sepanjang mengenyam pendidikan sekolah tak dijumpai pembahasan khusus kerajaan Blambangan dalam buku mata pelajaran sejarah. Yang ada adalah Majapahit dan kawan-kawan yang selalu diulang-ulang dari jilid IV SD sampai menjelang khatam SMA. Bahkan murid sampai hafal apa yang dilakukan raja-raja itu ketika berburu di hutan, refreshing, dan melamun.(sambil geleng-geleng kepala).
Kerajaan Blambangan malah populer sebagai legenda dan mitos. Damarwulan dan Minakjinggo hanyalah sebagai “cerita rakyat“ yang agak terkenal. Bangunan bersejarah banyak yang mulai sulit diselamatkan. Seperti situs dan beberapa peninggalan bekas candi. Hampir seluruhnya tidak terawat dengan baik, termasuk peninggalan Kerajaan Macan Putih, di desa Macan Putih, kecamatan Kabat, dimana dulu dijadikan sebagai pusat Kerajaan Blambangan. Kini, sulit mencari sisa-sisa kerajaan Blambangan di masa Prabu Tawang Alun itu*kasihan*.
Masyarakat sekitar banyak yang menjarah puing-puing kekayaan bekas situs Macan Putih. Mereka juga menumbuk batu bata menjadi pengganti semen yang kemudian dijual dengan harga IDR 100 ribu per biji batu bata itu.
Jumlah bangunan bersejarah di Banyuwangi diperkirakan mencapai seratus lebih. Bentuknya berupa peninggalan sejak jaman prasejarah hingga jaman kolonial, seperti Belanda, Inggris dan Jepang. Rata-rata kondisi bangunan tersebut mulai memprihatinkan. Seperti keberadaan Kampung Inggrisan (bangunan peninggalan kolonial Inggris) yang kondisinya kurang begitu terawat.
Melihat kondisi di lapangan dimana banyak situs yang kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait sudah selayaknya pemerintah lebih serius menangani warisan sejarah maupun budaya bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Tulisan ini saya awali dari peninggalan sejarah Banyuwangi, antara lain:
- Makam para Bupati Banyuwangi
Tepat sebelah barat masjid Baiturrohman adalah makam-makam bupati Banyuwangi antara lain:
- Wiroguno II (1782-1818),
- Suronegoro (1818-1832),
- Wiryodono Adiningrat (1832-1867),
- Pringgokusumo (1867-1881),
- Astro Kusumo (1881-1889).
Sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Sedayu, Gresik. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut. Makam ini sering dipakai masyarakat untuk nyekar menjelang Ramadhan.
Penampakan berbaju kuning oranye pada foto diatas tadi bukan makhluk halus, melainkan sang ’mbaurekso’ alias juru kunci. Walau sudah tua, napasnya bebas asam urat, raut mukanya anti rematik. Namanya mbah Syukur *dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh…*. Dia meneruskan tradisi turun temurun keluarganya yaitu menjadi juru kunci makam para Bupati Banyuwangi. Bagaimana bisa? Apakah dia punya indra keenam? Wallahu a’lam. Yang jelas kalau ditanya apakah dia pernah lihat penampakan di makam ini, maka dia akan menjawab, “sering sekali, Bos!”. Terutama penampakan di makam ‘’Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo’’ setinggi kurang lebih 2 meter. Pringgokusumo biasanya memberikan wejangan-wejangan hidup yang dititipkan kepada mbah Syukur.
Saat tampak, beliau seringkali mengenakan pakaian ala ulama’ Banyuwangen lengkap dengan atribut udeng seyeg dan jubah panjangnya. Tak ketinggalan pula turunggo(kendaraan) kuda putihnya selalu eksis menemani kemanapun dia pergi, yaaah… kadang plesir ke Jogja, kadang refreshing ke Solo, dan sering kali bolak-balik Bali-Banyuwangi. Seringkali Pringgokusumo beserta raden-raden lain dari tlatah Mataraman kumpul rapat untuk silaturrahmi di pendopo kabupaten Banyuwangi sekaligus membahas perkembangan masing-masing daerah dan korwil. Semacam rakernas gitu.
Pada musim Pemilu menjelang pemilihan kepala daerah Banyuwangi, makam ini menjadi ramai di kunjungi oleh para calon Bupati yang bersaing maupun para tim suksenya istilah lainnya “nuwun sewu”. Seperti beberapa bupati Anas, Purnomo Sidik, Samsul Hadi, Bu Ratna, dan sebagainya juga pernah menjamah makam ini. Denger-denger sih, kalau tidak menyambangi makam ini, kekuasaan akan runtuh karena pendiri pendopo Banyuwangi adalah almarhum itu (wajib di percaya karena ada catatan bukti sejarah pendiriannya).
Dari sekian makam tersebut, yang paling sering dikunjungi adalah makam Pringgokusumo karena beliau paling disegani diantara yang lain terutama oleh warga Bali, Madura, Kahuripan, Jawa Mataraman dan sudah tentu dengan rakyat Banyuwangi. Untuk masuk ke makam ini, kita dapat melewati gang kecil tepat di sebelah utara masjid Jami’ Agung Baiturrohman barat alun-alun/ taman SriTanjung. Bisa juga lewat Jl. Losari, jembatan sebelah barat masjid, setelah pertigaan.
Tetapi walaupun mbah Syukur adalah sang ’mbaurekso’ alias juru kuncinya makam-makam bupati Banyuwangi, tetapi mbah Syukur memilih dan memilah pengunjung, tidak sembarang orang di perbolehkan memasuki taman pemakan dedengkot bupati-bupati tersebut. Karena menurut mabah syukur, kalau salah memasukkan orang maka buyut Pringgokusumo bisa marah padanya melalui mimpi. Pernah suatu ketika ada tamu yang gak jelas asal-usulnya minta masuk ke area pemakaman, saat itu mbah Syukur mempersilhkannya, usut punya usut tamu itu memiliki niatan tidak baik pada makam-makam bupati Banyuwangi, dia mengencingi salah satu makam bupati Banyuwangi tanpa sepengetahuan mbah Syukur. Al-hasil saat itu juga sang tamu langsung pingsan tak sadarkan diri begitu lama. Dan pada malam harinya, di dalam mimpi mbah Syukur dia didatangi sosok buyut Pringgokusumo dengan marah-marah dan membanting mbah Syukur ke lantai dengan keras, di dalam mimpinya mbah Syukur menangis tersedu-sedu menahan rasa sakitnya. Keesokan hari ketika terbangun, mbah Syukur terhentak kaget, karena di punggungnya ada tanda biru memar sama persis dengan posisi bantingan buyut Pringgokusumo pada mimpinya, dan sudah tentu rasa sakitnya juga sama.
Dari kejadian itu, saat ini mbah Syukur tidak berani sembarangan menerima tamu. Kali ini mbah Syukur selalu bertanya kepada sang tamu seperti; “Ada keperluan apa? Asal anda dari mana? Mungkin ada garis darah dengan bupati-bupati Banyuwangi yang di makamkan di situ?”. Kalau jawabannya aman-aman saja maka mbah Syukur langsung mempersilahkan pengunjung itu masuk ke area pemakan.
Tetapi jangan salah, ada cara yang lebih memudahkan lagi, yaitu apabila kita berpikir nanti sampai disana kita tidak di perbolehkan masuk, padahal niatan kita baik ingin ziarah makam dan mendoakan arwah-arwah para leluhur Banyuwangi itu. Tidak perlu pusing-pusing. Sebelum kita menuju makam, maka alangkah lebih baikknya disarankan untuk mampir sebentar ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyuwangi. Disana kita bukan meminta izin secara procedural/ protokoler kepada wakil rakyat. Melainkan disana kita mencari seorang nama yaitu Bapak H.M. Joni Subagio., SH., MH. Tidak lain dan tidak bukan beliau adalah keturunan trah (asli) dari buyut Pringgokusumo. Untuk mencarinya sangatlah mudah, seperti buyutnya yang berperawakan tinggi besar. Maka bapak H.M. Joni Subagio juga memiliki postur tubuh yang tinggi besar, berkulit putih, dan memiliki suara yang lantang. Perlu diketahui beliau adalah wakil ketua DPRD Kabupaten Banyuwangi.
Setelah bertemu dengan beliau, utarakan apa maksud dan tujuan anda, setelah bapak H.M. Joni Subagio mengerti. Maka beliau langsung mengontak mbah Syukur, melalui rekomendasi tersebut kemudian dengan mudahnya anda tinggal nyelonong aja deh kedalam area pemakaman bupati-bupati Banyuwangi. Free past.
AL-KISAH
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Pringgokusumo Hadiningrat Macan Putih bupati Banyuwangi ke lima ini memerintah banyuwangi pada tahun 1867 hingga 1881, beliau adalah bupati yang memiliki perawakan tinggi besar, tingginya tidak kurang dari 2 meter. Memiliki suara yang lantang, dan seorang bupati yang sholeh. Setiap malamnya beliau selalu bertafakkur di kediamannya hingga menjelang fajar menyingsing, bupati ahli dzikir ini selalu menyebut-nyebut asma Allah SWT. Terbukti pada masa kepemimipinan beliau memerintah Banyuwangi. Kota yang kini dijuluki kota gandrung, dulu terasa aman, tentram, gemah ripah lohjinawi. Pringgokusumo dicintai seluruh masyarakatnya, disegani musuh-musuhnya dan di cintai kawan-kawannya.
Di dalam mengatur pemerintahan beliau adalah seorang bupati yang tegas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Tidak ada satupun pegawai negeri sipil (ambtenaar) yang sembarangan mengerjakan tugas-tugasnya, mereka semua bekerja dengan baik dengan penuh tanggung jawab. Di luar sistem pemerintahan beliau adalah bupati yang andap asor(rendah hati) sehingga rakyat Banyuwangi mencintai beliau dengan sepenuh hati, terbukti sampai saat ini makam beliau di barat masjid jami’ Baiturrohman Banyuwangi masih ramai di kunjungi para peziarah, walaupun sudah tertembok waktu dari generasi ke generasi. Wujud dari jasa-jasa beliau diantaranya adalah pendopo pemerintahan Kabupaten Banyuwangi, taman sritanjung, masjid agung baiturrohman dan taman blambangan yang terletak jantung kota Banyuwangi.
Selain sebagai bupati yang sholeh, bahkan sebagian masyarakat Banyuwangi menyebut Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo sebagai seorang Kyai(orang yang dianggap mumpuni dalam segala bidang). Pringgokusumo adalah seorang yang teguh melestarikan warisan leluhur dan budaya bangsa. Setelah melaksanakan kewajiban tugasnya sebagai bupati, sepulang dari kantor beliau selalu menyempatkan dirinya untuk mengunjungi makam para leluhurnya yang terletak tepat di barat masjid jami’ Baiturrohman Banyuwangi tersebut, seperti; Wiroguno II, Suronegoro, Wiryodono Adiningrat. Sebulan sekali beliau juga istiqomah mengunjungi tempat-tempat pesarean(peristirahatan terakhir) para leluhurnya seperti di kedhaton kedhawung(kebon agung), kedhaton bayu kahyangan(rowo bayu), dan macan putih. Bagi beliau, tanpa adanya para leluhur maka beliau tidak dapat menjalankan roda pemerintahan Banyuwangi dengan baik. Dalam istilah orang jawa lebih dikenal dengan sebutan sungkeman(meminta izin) dan restu kepada pemimpin-peminpin sebelumnya.
Di dalam lingkungan keluarga beliau adalah sosok imam yang menjadi suri tauladan bagi istri dan anak-anaknya. Seorang suami yang sangat mencintai istrinya dengan penuh kelembutan dan keromantisan, seorang bapak yang mendidik anak-anaknya dengan penuh ketegasan dan siraman rohani yang menenangkan. Ketika ada suatu hal yang dianggap melenceng di istana rumah tangganya maka beliau tak segan-segan menegur istri atau anak-anaknya semata-mata demi mewujudkan biduk rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Beliau memiliki seekor kuda jantan berwarna putih bersih yang memiliki perawakan tinggi, berotot kuat dan gagah dalam berjalan. Kuda ini yang sering di tunggangi pringgokusumo dalam melakukan layatan atau kunjungan kerja ke daerah-daerah atau luar pulau.
Masyarakat Banyuwangi meyakini pringgokusumo memiliki kekuatan supranatural dan kesaktian yang tak tertandingi pada masanya. Beliau diikuti arwah para leluhurnya dalam memipin kabupaten Banyuwangi tercinta ini. Selain ketekunannya dalam beribadah, pringgokusumo tidak pernah lepas dari ritual-ritual sunnah dalam beribadah pada Allah SWT. Seperti melakukan sholat sunnah dhuha sebelum berangkat kerja, sholat shunnah ba’diah qobliah, sholat sunnah istikhoroh sebelum mengambil keputusan, sholat tahajud. Bersedekah tiap pagi pada mustahiq yang dijumpainya di pasar banyuwangi, mengulang ngaji pada generasi muda di bale rumahnya setip sore, tadabbur setiap malam, sering mengundang dan bercengkrama dengan para alim ulama’ pada masanya seperti; Mas Sholeh(makamnya di manggisan), Kyai Irsyad, Kyai Tohir, berpuasa senin kamis, bersholawat ketika sedang berdiam diri dan masih banyak sekali amalan-amalan yang beliau jalani. Mungkin dari situlah kesaktian beliau muncul. Karena memang benar adanya, ketika ada seorang manusia yang istiqomah mendekatkan diri pada Illahi maka mata hatinya akan terbuka (ru’yatusshodiqoh), dan barang siapa yang telah terbuka mata hatinya maka apapun yang di mintanya pasti akan di kabulkan oleh sang Maha Pencipta.
Itulah sosok pemipin, bupati, imam, dan bapak bagi seluruh rakyat Banyuwangi pada masa itu yang sangat di kompleks dimiliki oleh satu nama besar yakni Kanjeng Raden Mas Tumenggung Pringgokusumo Hadiningrat Macan Putih. Akankah hadir kembali sosok itu pada masa kini? Wallahu a’lam.
TAMAT
Banyuwangi, 30 Maret 2013
Hormat Penulis
DZULFIKAR REZKY
Menguak misteri ’MACAN PUTIH’ Banyuwangi!
Menguak misteri ’MACAN PUTIH’ Banyuwangi!
Masih terpaku kuat di ingatan kita tentang sesosok macan putih yang tiba-tiba muncul pada pengembaraan sang prabu tawangalun dalam perenungannya mencari ketentraman sukma sejati. Tanpa hadirnya sang macan putih itu, mungkin saja saat ini kita tidak mengenal nama besar seperti prabu tawangalun. Dalam cerita dikisahkan sepulang dari kedhawung dan purnanya perang saudara. Mas Senepo hatinya selalu diliputi oleh perasaan sedih dan terpukul sekali karena akibat dari peperangan tersebut beliau kehilangan adik-adiknya yang dicintai, mereka telah gugur ditangannya sendiri. Oleh karena itu, selanjutnya hari-hari Mas Senepo banyak dihabiskan untuk Semedhi/ topo broto di sanggar pamujan ditepian sebelah barat-utara telaga/ rowo bayu untuk memohon ampunan dan petunjuk dari Gusti Kang Amurbo ing Dumadhi (Alloh SWT), setelah mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa dalam topo brotonya selanjutnya Mas Senepo turun gunung melakukan perjalanan kearah timur, sesampainya di gumuk candi sekitar dusun pelantaran beliau bertemu dengan harimau putih besar/ macan putih yang selanjutnya macan putih tersebut menuntun perjalanan Mas Senepo berhari-hari lamanya menyusuri lebatnya hutan belantara. Setelah genap 41(empat puluh satu) hari perjanalanan dengan panduan dari macan putih sampailah di daerah lebak meru di daerah itu konon macan putih memberikan amanat kepada Mas Senepo agar ‘mbabat wono’(membuka hutan) dan mendirikan sebuah kedhaton, setelah selesai memberikan amanat kepada Mas Senepo secara tiba-tiba macan putih kukso(menghilang).
Ditempat menghilannya macan putih itu Mas Senepo mendirikan dan membangun Kedaton yang selanjutnya diberi nama khedaton/ Kerajaan Macan Putih. Khedaton Macan Putih berdiri megah dengan dikelilingi pagar tembok kokoh seluas kurang lebih 60 – 70 hektar, dengan tembok terbuat dari batu merah setebal kurang lebih 3- 4 meter dan di dalam pagar tembok berdiri megah Pendopo Kedaton serta tempat tinggal (pringgitan) untuk rumah tingal sang prabu dan keluarganya, selain itu juga dibangun dua buah sanggar pamujaan antara lain; Sanggar Pamujan “Telanging Menungsu” di peruntukan untuk umum dan Sanggar “Mahkota Romo” terletak didalam tamansari khusus untuk pemujaan Sang Prabu. Masa pemerintahan Mas Senepo sebagi raja di kedhaton macan putih itu yakni tahun(1655 – 1691 Masehi) dan Mas Senepolah raja kedhaton macan putih pertama yang diberi gelar oleh rakyatnya yaitu Prabu Tawangalun. Merujuk pada kisah tersebut, timbul pertanyaan, kemanakah macan putih itu menghilang? Apakah benar macan putih itu hanya hewan biasa yang kebetulan saja ada pada waktu itu? Atau… macan putih itu adalah khodam(penjaga/pengawal ghaib)sang prabu tawangalun? Mengingat pada masa itu sangatlah kental sekali atmosfir ghaib apalagi melihat sang prabu adalah putra dari raja kedhaton kedhawung yang lebih dikenal sebagai Raden Mas Kembar(Ki Ageng Tanpo Uno). Sudah tentu kiranya prabu tawangalun kecil di beri penjaga ghaib oleh sang ayah.
Menarik memang untuk di perbincangkan, setelah bertahun-tahun menyimpan rasa penasaran yang begitu tinggi. Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan penelitian mendalam dengan mewawancarai beberapa tokoh adat dan mbah-mbah(orang yang memiliki kekuataan supranatural) baik itu di Banyuwangi ataupun sampai keluar kota, dari data-data dan catatan yang telah saya kumplkan, akhirnya dapat menarik sebuah kesimpulan besar bahwasannya, macan putih waktu itu memang benar-benar ada. Macan putih itu tidak lain dan tidak bukan adalah perwujudan visualisasi kewibawaan, kecerdasan, kebijkasanaan, ketegasan dan keberanian sang prabu tawangalun. Sosok macan putih itu adalah cerminan diri dari sang prabu. Beliau adalah seorang raja dan pemimpin yang kharismatik di segani oleh lawan dan dicintai kawan, layaknya karakter seekor macan yang ditakdirkan sebagai pemimpin. Beliaulah yang selalu berada di depan, dan yang siap berteriak, "Ayo, Maju!" untuk memberangaus segala hadangan yang merintangi tujuannya. Terbukti seperti yang telah terjadi pada kisah perlawanan terhadap penyerangan yang dilakukan oleh Adipati Kedhawung Mas Wilo yang dibantu oleh putranya yakni Mas Wilo Teromo juga Patih Mas Ayu Tunjungsari untuk menyerang kedhaton Bayu Khyangan. Mas Wilo yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri yang terlalu haus akan kekusaan dan iri melihat kesuksesan kakandanya memipin kedhaton Bayu Kahyangan (Rowo Bayu) yang subur, damai, tentram dan seluruh rakyatnya makmur. Walaupun begitu sang prabu tawangalun mengambil keputusan cepat dan tepat demi menjaga kewibawaan dan melindungi rakyatnya dari ancaman penjajahan. Seperti macan memiliki sifat yang mulia dan tidak tebang pilih, macan banyak dihormati karena semangatnya yang pantang mundur, kebijaksanaan, dan kemurahan hatinya yang tak terkira, dan terbukti saat pencarian ketentraman sukma sejati, rakyatnya dengan setia mengikuti kemanapun sang raja yang dicintainya pergi melangkah.. Bahkan musuhnya pun kagum padanya. Prabu tawangalun dikenal sebagai pemimpin dan pejuang yang tangguh, prabu tawangalun akan sangat marah jika didepan matanya beliau melihat kedzoliman dan kesewenang-wenangan terjadi, beliau mampu berdiri di mana pun, kapan pun, dalam kondisi seperti apapun yang menurut pendapat beliau benar.
Meski kadang rakyatnya sulit menerka suasana hati sang prabu yang selalu penuh semangat dan kadang begitu tergesa-gesa. Macan sulit untuk ditolak, sebab macan seolah punya daya magnetis yang sedemikian kuat. Macan bisa bersemangat dan meledak-ledak, namun juga bisa kalem. Lembut hati tapi menakutkan, menyeramkan dalam penampilan, tapi bisa juga lembut dan misterius pada saat-saat yang tak terduga. Macan pada akhirnya sering memilih bekerja sendirian. Prabu tawangalun memang tipe pekerja keras, energetik dan dinamis. Bila beliau mengerjakan suatu tugas, maka pekerjaan itu akan dilakukannya dengan penuh hati-hati, penuh antusiasme, efisien, tegas dalam mengambil keputusan dan pastinya selalu berakhir dengan kesuksesan besar.
Dalam kisah asmara, sang prabu tawangalun juga memiliki karakter yang hampir mirip dengan macan. Macan selalu melibatkan emosional cinta dan sensitifitas tinggi. Macan memang pencinta yang ulung, penuh gairah dan romantis. Apalagi, Macan amat memperhatikan teritorinya, sehingga ia cenderung mencintai dan menjaga sepenuh hati terhadap apapun pun yang 'dimilikinya'. Dalam hal percintaan sang prabu tawangalun tidak terlalu susah meluluhkan hati seorang gadis yang akan di peristri olehnya, karena selain sebagai seorang raja, sang prabu memiliki sifat-sifat dan perilaku yang sangat di dambakan oleh semua wanita, tak ayal prabu tawangalun memiliki dua istri yaitu Dewi Sumekar(Garwo Patmi) dan Kenongo Mijil(Garwo Selir) yang masing-masing dari kedua istrinya memiliki keturunan, dari Dewi Sumekar lahir empat putra; R.Macanopuro, R. Sosro Negoro, R. Gajah Binarong dan R. Kertonegoro. Dan dari Kenongo Mijil lahir enam putra; Mas Dalem Wilo Ludro, Mas Dalem Wilo Tulis, Mas Dalem Wilo Kromo, Mas Dalem Wilo Atmojo, Mas Dalem Wiroguno dan Mas Dalem Wiroyudho.
Menilik pada kisah kejayaan masa pemerintahan prabu tawangalun sang macan putih yang sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya. Sampai pada detik ini kita masih menunggu dan mendambakan sosok pemimpin sejati bumi blambangan seperti eyang prabu tawangalun yang berwibawa, memiliki kharismatik yang tinggi, keberaniannya dalam mengambil keputusan, kecerdasaanya memerintah rakyat, menguasai segala medan, mampu membangkitkan semangat kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat dalam pencapaian satu cita-cita bersama yakni kesejahteraan gemah ripah loh jinawi. Kapankah macan putih itu datang kembali pada kita???
Penulis
Dzulfikar Rezky
29-Maret-2013
Bahasa, Politik dan Nasionalisme
Bahasa, Politik dan Nasionalisme
Oleh: Dzulfikar Rezky LKM UNISMA
Bahasa dan Simulasi Realitas
Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983) menggunakan istilah hiper realitas untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna lewat bahasa. Di dalam dunia hiper realitas, kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran, isu lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.
Mesin-mesin bahasa dan komunikasi telah berkembang sedemikian rupa menjadi mesin-mesin simulacrum. Di dalam bukunya The Gulf War did not Take Place (1995), Jean Baudrillard menggambarkan peranan mesin-mesin simulacrum ini dalam penciptaan distorsi citra perang. Citra kekerasan dan kekejaman itu kini dapat diciptakan, direkayasa atau dibuatkan simulacrum-nya di sebuah studio TV atau di sebuah tempat palsu.
Bayangkan, serangkaian simulacrum seperti ini di dalam Perang Teluk sebagaimana yang digambarkan oleh Baudrillard dalam buku tersebut, adegan- adegan yang di dalamnya digunakan desain kostum yang penuh bercak darah yang semuanya berkaitan dengan penopengan (masquerade) perang ini, wartawan CNN dengan topeng gas di sebuah studio di Jerusalem; para tawanan yang dibius dan memar yang menyatakan penyesalannya di layar TV Irak; dan mungkin burung-burung laut yang tersiram minyak yang mengarahkan matanya yang buta ke arah langit teluk’. Bagi Baudrillard, semua adegan-adegan di televisi tersebut tak lebih dari cara penopengan informasi(masquerade of information).
Tindak semacam itu mewarnai pula kehidupan komunikasi politik era Orde Baru, dan mungkin juga era Reformasi sekarang ini. Komunikasi politik Orde Baru disarati topeng-topeng informasi dan simulacra. Terjadi pemutarbalikkan tanda di dalam semiotika politik; penjungkirbalikan makna; terjadi penciptaan kesadaran semu politik. Bahwa tindakan brutal, jahat, sadis, penjarahan, pemerkosaan, keributan, ketidakstabilan, ekstrem, subversif itu hanya dilakukan oleh “kelompok-kelompok tidak bertanggung- jawab” yang anti pemerintah. Bahwa pemerintah itu adalah penjamin keamanan(sambil menutupi berjuta teror kekuasaan), sebagai pelaku pembangunan(sambil menopengi penjarahan harta rakyat) sebagai penjaga kesatuan bangsa(sambil menyembunyikan penculikan dan penyiksaan), sebagai pengaman Pancasila(sambil membuat tabir pembunuhan massal), sebagai pahlawan(sambil menyimpan berjuta kejahatan politik)
Bahasa, Hegemoni, dan Nasionalisme
Persoalan ideologis pada bahasa muncul ketika apa yang disampaikan (dunia representasi) dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata). Pertanyaannya adalah, apakah bahasa merupakan cermin atau refleksi dari realitas atau sebaliknya, ia menceritakan separuh realitas dan menyembunyikan separuh lainnya? Disebabkan bahasa tidak terlepas dari berbagai tekanan ideologi, ketimbang menjadi cermin realitas, bahasa lebih tepat disebut sebagai perumus realitas (definer of reality). Ada berbagai mekanisme perumusan realitas dalam bahasa.
Pertama, mekanisme oposisi biner, yaitu mekanisme penyusunan kategori-kategori simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan, kelompok sosial tertentu mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul) dan kelompok lawan pada kategori kedua (buruk, salah, jahat). Mekanisme oposisi biner, biasanya digunakan oleh sebuah sistem kekuasaan guna mempertahankan kekuasaan, seperti pada sistem oposisi biner Orde Baru berikut:
Rezim penguasa vs General Others
Pancasila vs Anti Pancasila
Pembangunan vs Antipembangunan
Nasionalisme vs Antinasionalisme
Persatuan vs Antipersatuan
Demokrasi vs Sisa Komunisme
Komponen Bangsa vs Organisasi Tanpa Bentuk
Pembela bangsa vs Kelompok Subversif
Modern vs Islam fundamentalis
Penjaga Keamanan vs Pengacau Keamanan
Kedua, mekanisme sentralisasi bahasa. Sistem politik yang sentralistis dan otoriter seperti Orde Baru, menghasilkan sistem bahasa yang cenderung dikomandokan dari atas (layaknya Fasis). Berbagai potensi bahasa yang plural tidak mendapatkan ruang untuk berkembang dan mengaktualisasikan dirinya di dalam berbagai bentuk ekspresi bahasa (contoh: pelarangan penggunaan aksara Cina). Pengendalian bahasa dari atas cenderung menciptakan konflik-konflik kultural yang tersembunyi atau laten di antara berbagai kelompok-kelompok bahasa yang ada.
Ketiga, monologisme bahasa. Kekerasan simbolik menyebabkan sebuah sistem kekuasaan memusatkan diri pada egonya sendiri. Penguasa berbicara, tetapi tidak mau mendengarkan; ia mengucapkan kata-kata, tetapi tidak mau memahami Ia menggunakan bahasa sebagai alat perintah (petunjuk Bapak, instruksi Bapak), bukan sebagai alat “dialog” yang di dalamnya terjadi hubungan komunikasi dua arah.
Keempat, penyeragaman bahasa. Pengaturan kebudayan dari atas telah memunculkan pula penyeragaman bahasa di dalam berbagai aspek kebudayaan. Proses pelembagaan keseragaman bahasa (bahasa istana, bahasa P4) menjadi sebuah faktor penghambat utama dari berkembangnya kemampuan berpikir kritis yang kemudian menyebabkan tidak berkembangnya kemampuan kreativitas masyarakat pengguna bahasa.
Kelima, tafsiran monosemi (tunggal). Dalam tirani penyeragaman dan sentralisasi tersebut, masyarakat kita kehilangan sikap komunikatif di antara sesama sub-budaya. Masyarakat dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal yang dibuat oleh penguasa dan tidak diberikan peluang untuk menafsirkan berbagai aspek budaya dengan sudut pandang yang beranekaragam. Tafsiran tunggal tersebut telah menyumbat saluran komunikasi, baik antara penguasa dan rakyat maupun antara sesama kelompok masyarakat. Berbagai kasus pelarangan ungkapan bahasa visual seperti sampul bergambar kartu remi dan Soeharto merupakan contoh tafsiran monosemi ini.
Bahasa, Otonomi, dan Pluralisme Budaya
Otonomi daerah telah mengangkat kembali pertanyaan kontradiktif mengenai pluralisme yang dikontraskan dengan konsep persatuan (unity) atau kesatuan (oneness). Menguatnya tuntutan-tuntutan pemisahan diri, separatisme atau federalisme merupakan antitesis rezim Orde Baru yang memaksakan persatuan semu dan akan mempengaruhi pula eksistensi bahasa di dalamnya.
Lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional melalui Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan cermin tercapainya konsensus di antara komponen-komponen bangsa yang plural pada waktu itu. Sebelumnya, terjalin rangkaian proses dialog yang panjang di antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan persatuan tanpa harus meninggalkan pluralisme bahasa mereka masing-masing. Dengan tampilnya prinsip dialogisme yang sangat kuat dan intensif, terbentuknya bahasa nasional bukanlah sebentuk kekerasan simbolik, melainkan sebentuk hegemoni. Artinya, bahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia pada waktu itu mendapatkan penerimaan publik(consent), disebabkan keunggulannya, terutama wilayah penggunaannya yang luas, mencakup seperempat wilayah dunia, yaitu dari Afrika Selatan sampai Filipina; dari Thailand sampai Sumatera(Kompas,4 November 2000). Toh dalam era Orde Baru bahasa persatuan tersebut diselewengkan, dengan menciptakan berbagai bentuk distorsi bahasa(bahasa pejabat), berbagai bentuk kekerasan simbolik(Jawanisasi). Terjadi semacam pemaksaan baru terhadap bahasa nasional yang sebelumnya merupakan hasil konsensus.
Kecenderungan otonomi daerah dewasa ini membuka peluang menghidupkan kembali akar-akar primordialisme sebagai satu pengikat atau perekat baru dari berbagai kelompok kesukuan. Bila dulu suku-suku bangsa yang plural mengadakan dialog untuk mencapai sebuah konsensus, berupa bangsa, negara, dan bahasa yang satu, apa yang terjadi kini adalah upaya-upaya untuk melepaskan diri dari kesatuan dan persatuan tersebut dengan menghidupkan kembali isu-isu mengenai pluralisme suku, ras, agama, budaya, dan bahasa. Pembentukan provinsi baru, tuntutan merdeka, tuntutan otonomi khusus merupakan cermin upaya repluralisasi ini. Selain itu, Pertemuan Alam dan pemikiran Melayu sedunia di Batam baru-baru ini merupakan upaya untuk menggali kembali primordialisme bahasa dan budaya yang berpeluang pula sebagai sebuah alat geopolitik baru.
Di dalam kondisi yang demikian, konsep persatuan, nasionalisme, persatuan, termasuk bahasa persatuan mendapatkan sebuah tantangan besar. Pemberlakukan undang-undang otonomi daerah dalam waktu dekat ini akan menimbulkan berbagai pengaruh pada berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk aspek bahasa. Otonomi daerah adalah sebuah proses politik yang memberikan hak prerogatif pada daerah untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa campur tangan pusat, termasuk pengaturan aspek-aspek budaya dan masanya.
Sayangnya, otonomi daerah tidak pernah dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu kacamata holistik sebagai sebuah peta kekuasaan-kekuasaan di dalam sebuah keanekaragaman budaya. Bila keanekaragaman budaya ini dijadikan sebagai titik tolak di dalam otonomi, yang seharusnya dapat dibangun lewat otonomi, tidak hanya kebebasan daerah dalam menentukan dirinya sendiri (monologisme), akan tetapi bagaimana dapat dikembangkan sikap yang menganggap penting interaksi dan komunikasi dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi dan komunikasi antardaerah ini dianggap sebagai faktor utama, selanjutnya dapat dibuat garis-garis penghubung antarbudaya yang beranekaragam tersebut. Inilah yang disebut strategi transpolitik, atau transbudaya–strategi garis penghubung antarbudaya. Orang tidak hanya harus merdeka(otonomi rumah tangga) tetapi juga harus bersosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lainnya lewat bahasa.
Penulis adalah Sekretaris Jendral Lembaga Kajian Profesi Hukum Universitas Islam Malang
Malang 17 Agustus 2012
Salam Hormat
Penulis
Senin, 20 Januari 2014
Masuknya Islam di Bumi BLAMBANGAN THE SUN RISE OF JAVA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan yang Allah menciptakan Muhammad adalah tidak lain untuk member rahmat bagi semesta alam, “Tidaklah kami mengutus kamu selain sebagai rahmat bagi semesta alam”(Al Anbiyaa’(21) : 107) dalam hal ini Allah menginginkan Muhammad untuk membenahi ahklak perilaku umat manusia yang sebelumnya jahiliyah menjadi insan yang berakhlakul karimah. Lebih dikhususkan lagi Muhammad bertugas memebenahi tata cara beribadah umat manusia dengan pemantapan keyakinan yang bulat bahwa tuhan hanya Allah yang satu. Ubudiyah mengandung pengertian ikhlas kepada Allah dalam niat, perkataan, perbuatan, tunduk dan patuh kepada ketentuan Allah serta mengikuti jalannya.
B. Fokus Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghemat waktu dan biaya, maka dalam penyusunan proposal tesis ini perlu penulis berikan batasan-batasan dalam penelitian yaitu: Sejarah Penyebaran Islam di Banyuwangi
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat di fokuskan sebagai berikut: “Sistem penyebaran Islam bagaimanakah yang di gunakan dalam mensiarkan agama pembawa rahmat bagi semesta alam ini di Banyuwangi”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sejarah awal penyebaran islam di timur pulau Jawa.
b. Menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan tentang penyebaran agama islam.
c. Mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penyebaran agama islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai sumbangsih pemikiran atau input yang dapat memperkaya informasi dalam rangka meningkatkan semangat keyakian islam dan hubungannya dengan pembentukan akhlakul karimah.
b. Secara praktis penelitian ini berguna sebagai paparan yang mendiskripsikan betapa besar dan kuatnya pengaruh islam terhadap pribadi masyarakat nusantara khususnya di Banyuwangi dan memberikan pemikiran tentang tekhnik penyebaran agama islam yang diterima oleh masyarakat luas.
c. Di harapkan dapat berguna bagi kepentingan umum baik di dalam penyebaran agama islam maupun dalam merealisasikan ahklaq mulia dalam kehidupan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kabupaten Banyuwangi
Banyuwangi adalah sebuah Kabupaten di wilayah Jawa Timur yang paling ujung timur. Banyuwangi dulu juga disebut dengan nama Tirta Arum, karean merujuk pada bukti sumur yang berbau harum/wangi. Lokasi sumur berbau harum itu berada di sebuah rumah persis di timur Pendopo Kabupaten Banyuwangi.
Menurut orang-orang tua, dahulu tempat itu merupakan sumber air yang sering sekali mengeluarkan bau wangi, sehingga orang-orang tidak berani menggunakannya untuk mandi. Pada kondisi-kondisi tertentu bau harum/ wangi ini akan muncul sebagaimana penulis pernah alami yakni pada tahun 2008. Pada waktu itu penulis sedang berkunjung ketempat lokasi sumur yang terkenal di Banyuwangi ini, pada mulanya penulis tidak mendapati hal-hal aneh yang sering di ceritakan oleh masyarakat Banyuwangi perihal cirri-ciri munculnya bau harum dari sumur itu. Tetapi disaat penulis ingin meninggalkan lokasi sumur tersebut, tiba-tiba keadaan air yang sebelumnya jerih dan tenang mendadak berbuih seperti buih di pesisir pantai dan seketika itu pula menyerbak bau harum seperti bau bunga mawar dan melati. Kemudian tidak berselang lama keadaan seperti itu berubah kembali lagi seperti semula dan bau wanginya menghilang.
Awal penemuan sumur itu adalah pada zaman pemerintahan Bupati Notodiningrat(1910-1920). Keberadaan sumur wangi itu sendiri di hubungkan dengan cerita rakyat Sri Tanjung. Nama Banyuwangi sendiri sebenarnya sudah ada pada tahun 1477 terbukti pada Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang(alih bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo, 1981) halaman,74 alenia ke-tiga disebutkan bahwa “ pada saat 12 waisaka 1399 saka/(27 April 1477), Adipati Blambangan Siung Laut saat itu menghadiri acara peresmian Masjid Demak dengan di dampingi oleh sahabat beliau bernama Ki Gede Banyuwangi..”.
Banyuwangi memiliki hari kebanggan yakni tanggal 18 Desember 1771 yaitu hari dimana rakyat Banyuwangi meraih kemenangan melawan belanda dan berhasil mengusirnya. Tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi kota Banyuwangi karena memiliki latar sejarah terhebat pada masa Hindia-Belanda.
Aktifitas ekonomi di Kota Banyuwangi dapat dilihat dengan berdirinya pasar-pasar tradisional seperti Pasar Banyuwangi yang terletak di Kepatihan di sebelah barat Taman Blambangan. Aktifitas di Pasar Banyuwangi meningkat pada dini hari hingga pukul tujuh pagi. Dimana pada jam-jam tersebut, aktifitas perdagangan melebar hingga menimbulkan kemacetan di Jalan Diponegoro bagian utara dan menutup sebagian badan Jalan Jagapati. Di Pasar Banyuwangi terdapat petak-petak los pedagang yang terletak dari pinggir Jalan Karel Satsuit Tubun hingga ke dalam. Namun pedagang kaki lima masih menggunakan badan jalan sebagai tempat berdagang sehingga menimbulkan kemacetan. Akan tetapi, mulai tahun 2012 ada usaha untuk menertibkan pedagang (masih ada akan tetapi dirapikan) sehingga kemacetan bisa diminimalisasi dan badan jalan yang dapat dilewati bisa lebih luas. Selain Pasar Banyuwangi, terdapat juga Pasar Blambangan yang keberadaannya berdampingan dengan terminal angkot Blambangan, Lateng (Jalan Basuki Rahmat), Pasar Sobo di Jalan S.Parman dan Pasar Pujasera yang berdampingan dengan kawasan pecinan (China Town) di Jalan Pierre Tendean.
Selain pasar tradisional, pusat perbelanjaan juga berdiri di Kota Banyuwangi seperti Giant di Jalan Basuki Rahmat, Ramayana di Jalan Adi Sucipto, Roxy di Jalan Ahmad Yani dan MOST (Mall of Sritanjung) yang masih diusahakan pengoperasiannya hingga kini. Selain pusat perbelanjaan besar, terdapat juga minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang tersebar di sudut kota. Komplek pertokoan banyak berdiri di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Pierre Tendean (China Town). Selain itu, banyak berdiri ruko-ruko di kawasan Jalan Ahmad Yani, Jalan Kepiting dan di Gardenia Estate (sebuah kawasan bisnis dan perumahan dengan akses masuk dari Jalan S.Parman).
Bank-bank nasional negeri dan swasta banyak yang berdiri di Kota Banyuwangi. Bank negeri yang berdiri di Kota Banyuwangi adalah Bank Mandiri (Jalan Wahidin Sudirohusodo), BNI 46 (Jalan Kepiting dan Jalan Banterang), BRI (Jalan Ahmad Yani) dan BTN (Simpang Lima). Bank nasional swasta yang berdiri di Kota Banyuwangi adalah BCA (Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman), Bank Permata (Jalan Sudirman), Bank Danamon (Jalan Ahmad Yani), Bank Mega (Jalan Ahmad Yani), BII (Jalan Ahmad Yani), Bank Sinarmas, Panin Bank (Jalan Ahmad Yani), UOB (Jalan Sudirman), CIMB Niaga (Jalan Sudirman) dan Commonwealth Bank (Jalan Sutoyo). Selain itu terdapat Bank Daerah Jatim (Jalan Basuki Rahmat). Selain bank umum juga terdapat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) seperti BPR Wilis, BPR Jatim, BPR ADY dan BPR Swadhanamas Pakto. Selain itu, di kota Banyuwangi berkembang berbagai industri kecil, seperti industri oleh-oleh khas Banyuwangi, industri pisau militer di Singotrunan, dan industri kerajinan lainnya.
Kecamatan Banyuwangi dihuni oleh berbagai suku bangsa. Penduduk mayoritas Kecamatan Banyuwangi adalah Suku Osing yang banyak tinggal di Kelurahan Pakis dan Kelurahan Sumber Rejo. Di kelurahan-kelurahan lain juga terdapat warga Suku Osing namun jumlahnya tidak terlalu dominan dan telah berbaur dengan para pendatang dari luar Banyuwangi.
Selain Suku Osing ada juga komunitas kecil Suku Madura yang tinggal di sekitar Kelurahan Kepatihan (terutama di dekat Pasar Banyuwangi). Mereka menggabungkan diri dalam paguyuban yang bernama Paguyuban Jokotole Banyuwangi. Selain itu beberapa keluarga Suku Bali tinggal di Lingkungan Kampung Bali, Kelurahan Penganjuran. Suku Arab tinggal di Lingkungan Kampung Arab, Kelurahan Lateng dan keturunan dari orang Melayu yang dipercaya membangun Kampung Melayu.
Penduduk Kecamatan Banyuwangi juga memiliki beragam profesi. Karena posisinya sebagai ibukota kabupaten, maka banyak penduduk yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, pedagang, pengusaha, dan sebagainya. Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan umumnya tinggal di kelurahan-kelurahan yang berbatasan langsung dengan laut seperti Pakis, Sobo, Kertosari, Karangrejo, Kepatihan, Kampung Mandar dan Lateng.
Penduduk Kecamatan Banyuwangi berkumpul saat karnaval perayaan hari kemerdekaan Indonesia atau saat perhelatan Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Pada saat itu para warga memadati jalan yang menjadi rute karnaval. Selain itu setiap Kamis malam diadakan pengajian hajat yang bertempat di Masjid Agung Baiturahman. Pengajian hajat ini sangat diminati warga Kecamatan Banyuwangi sehingga terkadang parkir kendaraan membludak hingga menutup Jalan Sudirman sehingga arus lalulintas dialihkan mengitari Taman Sritanjung.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Islam di Banyuwangi
Kepercayaan agama lama yang di anut oleh mayoritas masyarakat nusantara yakni setiap percaya bahwa manusia itu sesudah mati akan menjelma kembali ke dunia secara berulang-ulang. Reinkarnasi itu bersifat menurun atau meningkat, tergantung kepada perbuatan manusia di masa lampau atau biasa di sebut dengan karma (samsara). Kaum brahmana berusaha menghindarai keadaan seperti itu, merekan tidak ingin di lahirkan kembali, mereka ingin moksha yang artinya bebas dari penglahiran kembali. Untuk mencapai moksha orang harus melakukan yoga artinya hidup sederhana menjauhi kenikmatan dan kebahagiaan duniawi menghaluskan budi membulatkan fikiran dengan jalan semedi. Sedangkan pada ajaran islam tidak mengenal adanya reinkarnasi.
Islam merupakan agama yang relefan sepanjang jaman dan sangat mudah dalam praktek ibadahnya sehari-hari, dan mempunyai tujuan pokok. Tujuan pokok islam adalah menghadap dzat maha tunggal yang di sembah. Maka dengan kata lain islam ialah tunduk kepada Allah dengan ikhlas menghadap kepadanya, meletakkan diri sebagai hamba yang rendah dan kecil di hadapannya dengan mengingatkan jiwa agar selalu ingat kepada tanpa ada perbedaan kasta maupun golongan, karena umat islam di mata Allah adalah sama.
2. Jalur Penyebaran Islam
Di dalam buku sejarah nasional dan ujian umum jilid 1 untuk SLTP kelas 1, sesuai kurikulum pendidikan dasar 1994 GBPP SLTP halaman 152 di sebutkan bahwa jalur penyebaran agama islam melalui :
1. Perdagangan
2. Perkawinan dan Politik
3. Pendidikan dan Dakwah
4. Kesenian
5. Tasawuf
Perdagangan
Sejak abad ke-7, para pedagang islam dari arab, Persia dan india telah mengambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indoneia dengan para pedagang islam. Di samping berdagang, para pedagang islam juga mengajarkan agama dan budaya islam kepada masyarakat di Indonesia (menurut serat kanda ringgit purwa, abad 11 jayabaya adalah murid Syekh Ali Syamsu Zen). Para pedagang dan masyarakat pesisir di jalur perdagangan, kota-kota pelabuhan di Indonesia yang menganut agama islam.
Di halaman 148, 149 disebutkan adanya makam tua yang bertahun 1082 M di Leran Gresik, yakni makam Fatimah binti Maemun. Kesaksian Marcopolo di perlak, ia berjumpa dengan orang-orang islam. Abad 13 islam sudah masuk ke Sumatera. Perjalanan Ibnu Batutah, utusan Sultan Delhi(India);1345 M yang singgah di Samudera Pasai menyatakan bahwa Raja Samudera Pasai giat menyebarkan agama islam. Di Gresik Sayyid Malik Ibrahim adalah pedagang kasur dan bantal, sehingga sering di sebut mbah bantal(kakek bantal).
Proses islamisasi melalui perdagangan tentu saja melibatkan kaum atas dan kaum bawah. Perdagangan di Blambangan menjadi besar setelah perang pecinan 1740 yang di lakukan oleh Inggris dan Cina.
Perkawinan
Para pedagang Islam melakukan perdagangan waktu cukup lama. Mereka menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang amat lama karena kendala transportasi dan lingkungan. Kondisi seperti ini dan sifat/ahlaq para pedagang yang cenderung mudah bergaul serta mudah menerima siapapun membuat mereka memiliki hubungan erat dengan baik itu dari kaum bangsawan maupun pribumi. Hubungan ini kadang-kadang di pererat lagi melalui tali perkawinan.
Hasil perkawinan ini menghasilkan anak-anak yang beragama islam seperti contoh adalah perkawinan Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungten, Syekh Maulana Ishak dengan Dewi Sekardadu(putri Minak Jinggo, raja Blambangan), Kertawijaya(Raja Brawijaya) menikah dengan putri Campa. Apabila yang menjadi muslim adalah seorang raja, maka hal ini akan mempercepat perkembangan islam melalui politik kekuasaan. Ketika seorang raja memeluk agama islam, seperti kertawijaya itu maka rakyatnya akan mengikuti jejak keyakinan yang dianut oleh sang raja.
Pendidikan dan Dakwah
Pendidikan dan dakwah sepertinya tidak bisa di pisahkan, karena juru dakwah adalah juru didik yang di lakukan di suatu tempat umum, guru agama ataupun para kiai juga memiliki peranan penting dalam penyebaran agama dan budaya islam. Budaya adalah alat untuk membuat agar masyarakat senang dan mencintai agama. Para juru dakwah menyebarkan agama islam melalui bidang pendidikan dan mendirikan pondok-pondok pesantren. Mereka ini memberikan pelajaran kepada para santri, yang kemudian menyebarkan dan mengembangkan kepada masyarakat. Para santri inilah yang berupaya membanguhn tempat-tempat ibadah di lingkungannya masing-masing kelak.
Pesantren-pesantren di dirikan bertujuan untuk lebih mempermudah penyebaran dan pemahaman agama islam. Misalnya pesantren Sunan Ampel di Surabaya, sunan Giri di Giri. Di Banyuwangi sendiri, sampai abad 18 Masehi belum ada satu pondok pesantrenpun yang berdiri. Pondok pesantren selalu tidak terlepas dengan adanya musholla, kamar santri, gladak(tempat mengaji), dan tentunya rumah pengasuh pondok pesantren itu sendiri
Dalam pengembangan pendidikan dan dakwah ini ada beberapa sosok pemimpin yang merupakan tokoh-tokoh handal yang mampu mempengaruhi raja, politik dan kebijakan kerajaan. Sebagai contoh Syekh Syamsu Zen, Syekh Subakir, Syekh Jumadil Kubro, Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lain-lainnya.
Kesenian
Penyebaran islam melalui kesenian saat ini biasanya di lakukan dengan mengundang masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan seni misalnya gamelan, wayang, zapen, di banyuwangi sendiri biasanya mementaskan seni pukul rebana sahut-sahutan(tarung rebana) dengan sebutan Kunthulan.
Budaya islam telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Dalam perkembangannya, pola dasar kebudayaan setempat yang tradisional masih kuat, sehingga timbul bentuk perpaduan seni tradisional dengan budaya islam. Perpaduan dua kebudayaan itu di sebut akulturasi. Seperti contohnya :
1. Sunan kalijaga mengembangkan islam melalui wayang
2. Seni tari dan gamelan di gelar pada upacara maulid Nabi Muhammad SAW.
3. Seni hias dan ukir, misalnya pada masjid kuno yang mirip candi, hiasan ukiran mirip hindu sebagaimana terdapat pada pintu gerbang masjid Gresik dan pintu masuk ke makam Sunan Giri di Jawa Timur.
4. Seni bangunan, mesjid kuno sunan kudus yang mirip dengan bangunan hindu.
5. Seni lagu, misalnya ilir-ilir dan jamuran karya cipta Sunan Giri yang ernafasan islami.
6. Seni sastra, misalnya Kancil/Pelanduk(Falandhu). Adapula Hamzah Fansuri seorang sufi dari Barus Aceh dengan sarana seni sastra bertema islam, syair Melayu. Nurrudin Ar Raniri, ulama Gujarat yang terkenal dengan karya tulisnya “Bustanus Salatin”.
Di Banyuwangi sendiri ada juga kesenian sebagai alat penyampaian agama islam. Di catat dalam buku terjemahan karya TH Pigeaud ileh Pitoyo Boedi Setiawan. “Majalah untuk Ilmu Bahasa dan Bumi Indonesia serta Bangsa-Bangsa” di terbitkan oleh yayasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan Jakarta. Bab LXXII; 1932, TBG LXXII/1932; 215-313, Catatan-catatan mengenai sudut timur jawa hal 276-277:
“Pertunjukkan-pertunjukkan yang dengan nyanyian dan tarian yang di latar belakangi oleh kepercayaan Islam Banyuwangi, sampai sekarang masih berlangsung yaitu Adrah atau Ajrah, dimana music(gendering) di mainkan untuk mengiringi nyanyian-nyanyian arab dengan beberapa anak muda yang menari-nari.”
Tasawuf
Para sufi atau ahli tasawuf biasanya hidup dalam kesederhanaan, mereka berusaha menghayati kehidupan masyarakat dengan hidup di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Biasanya mempunyai keahlian yang berguna untuk perkembangan pemikiran dan kehidupan masyarakat, misalnya dengan doanya selalu di kabulkan tuhan. Mereka aktif menghayati agama islam dan senang mengajarkan kebaikan sesuai dengan ajaran islam yang di sesuaikan dengan kondisi, alam pikiran, dan kebudayaan masyarakat. Yang terkenal sebagai ahli sufi diantaranya Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Hamzah Fansuri, Mas Moehammad Sholeh di Banyuwangi.
3. Peranan Bali Dan Belanda dalam Penyebaran Agama Islam di Banyuwangi
Kalau kita perhatikan, betapa kuatnya peranan tokoh-tokoh dalam pegembangan islam baik kekuatan luar, yaitu melalui penaklukan maupun kekuatan para ruhaniawan seperti para wali. Namun demikian, dalam kurun waktu yang sangat lama sejak di mulainya Wikrama Wardhana bertahta(1389-1429 M), di lanjutkan oleh Kertawajiya (1447-1451) dan Adi Sura Prabhawa, selanjutkan Demak, Mataram. Islam tetap tidak mampu menembus Banyuwangi di buktikan masjid baru berdiri pada abad XVII.
Banyuwangi adalah Blambangan timur yang berdekatan dengan Bali. Bali lah uang selalu mempertahankan dan membantu Banyuwangi/Blambangan timur dari segala sesuatu yang benuansakan penjajahan dan penyebaran agama baru yakni dalam hal ini adalah islam. Dimana seperti kita ketahui bersama agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah Siwa Hindu Budha, namun faham Tri Mukti di jadikan dasar keagamaan. Di susunnya struktur masyarakat denga adanya kasta adalah salah satu contoh bentuk benteng pertahanan kepercayaan masyarakat Bali dan Banyuwangi, keadaan seperti ini terus di pelihara secara turun menurun.
Menurut ketua persatuan hindu di banyuwangi, bapak ketut Sidra dan juga juru kunci keratin Macan Putih bapak elik, pada zaman dahulu ada seorang empu bernama Markandi yang berada di desa canga’ lereng gunung Raung hidup pada tahun 800 M mengajarkan Subak yang sekarang terkenal dan di praktekan di Bali. Filsafat dasar ajarannya adalah menghormati dan menghargai tumbuh-tumbuhan dan air, berbicaralah dengan kelembutan, janganlah menyakiti hati orang lain. Pada tahun 1638 gunung Raung meletus, tetapi bukti bahwa di tempat tersebut pernah ada desa canga’ yakni pemukiman yang saat ini di temukan di daerah Genteng Selatan Kabupaten Banyuwangi.
Dari fakta sejarah itulah, islam memang cukup sulit untuk masuk menuju Banyuwangi, di sisi lain juga letak geografis banyuwangi sangat sukar untuk di lakukannya dakwah penyebaran islam, sebagai bukti :
Di sebelah barat kota Banyuwangi adalah Gunung Raung yang menjulang tinggi dan kota Bondowoso. Masyarakat di sebelah barat hidup dari persil (perkebunan)dan pencari belerang, jadi tidak banyak aktifitas yang bisa di lakukan. Kondisi ini akan membawa kepada kejenuhan sehingga muncul dorongan untuk mencari ketenangan, yakni melalui agama.
Dari sisi selatan Banyuwangi di tembus melalui perang, melalui masuknya penduduk Islam Mataram dan orang-orang Madura masuk melalui Kalisat.
Sebelah timur adalah laut yang berbatasan langsung dengan Bali, sehingga penyebaran Islam dari sisi ini sangat sulit karean adanya pengaruh Bali yang masih Hinduistis.
Dari arah utara masuknya orang-orang Madura dan kelompok santri keturunan Ki Gede Banyuwangi murid Syekh Siti Jenar. Sebagai buktinya yakni adanya makam islam kuno di Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi. Makam ini bertuliskan Mubarrok Mursyid di batu nisannya, setelah di teliti oleh badan arkeolog Universitas Gajdah Mada Yogyakarta, batu nisan itu di pahat pada tahun 1448 M.
Desa-desa lama sudah ada pada waktu itu, seperti yang di tuliskan di dalam Negara Kertagama pupuh 28 bait 1, andelan pada zaman Hayam Wuru, yang mencatat adanya kunjungan Hayam Wuruk ke tempat-tempat di banyuwangi pada tahun 1359 M, desa-desa seperti Bajulmati, Bengkalingan, Bengkak, Watudodol, Boyolangu, Penataban, Cungking, Mojoroto tertulis dalam babad bayu 1771 M pupuh XIV bait 29.
Penyebaran islam ke Banyuwangi aharus menembus Blambangan yang sangat luas, selain itu juga jarak antar kota yang berjauhan, misalnya Pamotan, Pasuruan, Panarukan, Lumajang memakan waktu yang sangat lama.
Dikawasan ini juga terdapat laut, rawa seperti di Songgon Bayu, hutan lebat seperti di alas purwo dan baluran, air terjun deras seperti di antogan Rogojampi, gurun pasir di watubuncul, jurang yang curam seperti di daerahWatu Putih, Bromo, Ijen, Besuki, Mrawan dan lain-lain menunjukkan daerah ini memang sulit di jangkau.
Namun menurut C Lekerker seorang ilmuwan dan sejarawan dari portugis yang sempat bermukim di Banyuwangi cukup lama. Dalam bukunya berjudul Indische Gids II; 1923;1034 di sebutkan “bahwa dengan jatuhnya kerajaan Majapahit, rakyat yang setia kepada agama alam, yakni hindu dan budha pindah ke Pasuruan, Panarukan, Blambangan dan Bali. Dari sinilah pergerakan kerajaan Mataram menghempaskan penganut-penganut agama lama dengan mudahnya”. Data tersebut dapat di jumpai pada catatan Jendral Gubernur Van Diemen menulis surat kepada Yang Mulia Ratu ke XVII pada tanggal 18 Desember 1639 berbunyi :
“Dalam misi menjalin persahabatan dan rencana yang di jadwalkan untuk mendekati rakyat nusantara dengan memberi hadiah berupa patung gajayana serta kain sutera bernuansa krisna gagal di laksanakan. Karena saat ini tiada satupun masyarakat yang berani menyatakan dirinya sebagai penganut hindu budha dan mau menerima hadiah. Namun para petinggi masyarakat masih kami cari keberadaannya.”
Dari sinilah dapat di katakan awal suksesnya penyebaran agama islam di Banyuwangi. Namun tidak serta merta seluruh penduduknya taat pada perintah Mataram, karena beberapa rakyatnya melarikan diri ke Bali di mana sistem pertahanan kerajaan Bali masih kuat. Mereka memohon perlindungan kepada laskar-laskar Bali dari buruan prajurit Mataram. Di sisi lain penduduk Banyuwangi yang memiliki keberanian tinggi dan kepercayaan akan penjagaan arwah leluhur, tetap tinggal di Banyuwangi namun mereka bersembunyi ke pinggir seperti di Gunung Kumitir dan Rawa Bayu.
Peranan Belanda
Penyebaran islam di Jawa di lakukan dengan beragam cara, bai melalui para wali, melalui kekuasaan Demak dan Mataram sebagaimana di jelaskan di atas, bisa melalui perdangan politik dan budaya. Namun mengapa proses penyebaran lama, hal ini di karenakan tingkat kesulitan yang tinggi sebagaimana di jelaskan di atas tersebut, agama lama dan budaya leluhur telah mengakar kuat menghujan ke jantung rakyat Jawa khususnya Banyuwangi. Juga yang paling penting yakni kenyataan bahwa kerajaan islam bukan semata-mata ingin menyebarkan agama islam, namun lebih kepada pengrusakan/penghancuran/penjarahan dan penjajahan, bahkan antar kerajaan umat islam sendiri saling bertempur untuk memperebutkan wilayah, seperti Mataram yang menyerang Surabaya dan Pasuruan Islam.
Belanda yang menghadapi kekuatan politik di Blambangan sudah melakukan penelitian pola piker dan pola politik kerajaan Blambangan sejak tahun 1619 M.. blambangan pada paruh waktu pertama abad XVII direbutya ujung timur jawa oleh Sultan Agung hal 222. Dengan demikian Belanda mengharapkan kerjasama dengan Sultan Agung untuk segera dapat menguasai Blambangan secara menyeluruh. Seperti di sebutkan dalam buku Indische Gids II oleh C.Lekerker halaman 400 Banyuwangi tahun 1800-1810 M; 1923.
“Pada penerbitan Desember tahun 1923 dari majalah ini halaman 1030-1067, saya menulis ihtisar tentang sejarah Blambangan, yaitu kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang pada tahun 1767 M jatuh ke tangan Kompeni dan sejak saat itu di silamkan.”
Di halaman selanjutnya 1053 di sebutkan bahwa; Sutanegara dan Wasengsari dalam pengangkatannya sebagai Bupati di lakukan dengan sumpah meninggalkan agama lama dan masuk ke agama islam, kedua Bupati Banyuwangi di paksa untuk memeluk Islam. Pemaksaan seperti itu bukan saja tidak pantas namun juga tidak mempunyai nilai politik. Akan tetapi hal itu di lakukan untuk mencegah masyarakat Blambangan tidak bekerjasama dengan Bali.
Terjemahan buku harian seorang Gubernur Belanda di Blambangan pada tahun 1820 M “Memorial JA Van Middel Koop” tertulis :
- Pada tahun 1832-1867 gamelan di mainkan setiap hari jum’at pagi dan pada siang hari di bunyikan meriam setelah itu di laksanakan acara jum’atan.
- Bupati Wiryodhanu Adiningrat meninggal pada hari kamis tanggal 27 November tahun 1852 di kebumikan di belakang masjid Banyuwangi dana posisi mayatnya di hadapkan ke barat dengan kepala berada di selatan.
Dari sini sudah jelas sekali islam sudah berkembang di Banyuwangi.
B. Tokoh-tokoh Islam dan Peranannya
Dengan adanya peran penting Belanda dalam mengislamkan Banyuwangi, yakni melalui kerjasama dengan Sultan Agung dan perang sendiri yang di lakukan oleh Belanda yang menyerbu daerah Rawa Bayu di kecamatan songgon saat ini, yang meyebabkan 60 ribu orang dari 65 ribu penduduk Rawa Bayu terbunuh. Maka dengan mudahnya orang-orang islam dari luar Banyuwangi masuk dan menyebarkan serta mengembangkan agama islam. Diantaranya adalah Haji Tohir dari aceh, Syekh Abdurrahim Bawazir, yang hidup sejaman dengan Raden Mas Tumenggung Priggokusumo (Bupati Banyuwangi Ke-5, tahun 1867-1881), Kemudian ada juga masuk dari arah selatan Banyuwangi yaitu seperti KH. Abdul Bazar, KH. Hasan di desa Kalipuro, KH. Darda’ di Srono.
Dari keturunan raja Blambanganpun ada yang menyebarkan agama islam secara langsung ke masyarakat bawah seperti Sunan Wirowongso, Sunan Pringgojoyo, KH. Wirowongso, KH. Djuharito, KH. Abdullah Faqih(pencipta tradisi Endog-endogan Maulud yang sampai saat ini terpelihara dengan baik di Kabupaten Banyuwangi) beliau memiliki pesantren di Cemoro Songgon, KH. Rofi’i di Rogojampi, KH. Abdul Majid di Cawang.
Adapun ulama pendatang penyebar agama islam di bumi Blambangan yang kharismatik seperti; KH. Dimyati Krikilan, KH. Harun Abdullah di Tukang Kayu, KH. Muhtar Syafa’at di Blok Agung, KH. Djunaidi di Kebon Rejo, KH. Ali Mansyur (pencipta Sholawat Badar).
C. Pola yang di Pakai Dalam Penyebaran Agama Islam di Jawa
Penyebaran agama islam memiliki dua pola dalam pengembangannya yakni pola mekkah dan pola madinah. Kedua pola ini tidak dapat di pisah-pisahkan, akan tetapi keduanya saling berhungan dalam segala proses dakwahnya. Pertama yakni pola mekkah adalah sistem penyebaran islam melalui tataran bawah dengan menyentuh hati para kawula alit/ rakyat jelata. Kedua pola madinah adalah sistem penyebaran islam melalui tataran atas/ pemerintahan. Kedua pola tersebut telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri pada masanya.
Dengan adanya dua pola tersebut yang saling keterkaitan maka tumbuh dalam setiap jiwa pribadi dan tenaga-tenaga jiwa yang melahirkan umat yang militant, mulia, semangat, yakin dan mantap dalam menganut agama islam yang sesuai dengan sistem nilai kebenaran wahyu dan hadits Nabi. Seseorang akan bahagia dunia akhirat manakala dalam kehidupannya telah berkobar semangat yang nyata dalam beribadah;
1. Pola Mekkah, para penyebar agama islam di nusantara ini hadir dengan memberi contoh perilaku yang sopan dalam kehidupan, baik dalam hubungannya dengan antar umat beragama maupun hubungan pertemanan dengan penduduk nusantara dari rakyat jelata, pola mekkah menurut penulis adalah menyebarkan agama islam dengan analogi ‘menebang pohon’, yakni dari bawah keatas. Meyentuh hati para rakyat dengan ajaran-ajaran islam yang santun. Contoh : dengan perdagangan, member jasa konsultasi kehidupan dan pernikahan yang semuanya di landasi dengan nafas islam pembawa kedamaian.
2. Pola Madinah, yakni para penyebar agama islam di nusantara ini hadir di kancah elit pemerintahan dan memegang posisi yang menguntungkan dalam mengambil dan mengatur segala kebijakan bernegara. Pola madinah menurut penulis adalah menyebarkan agama islam dengan analogi ‘menggali sumur’, yakni dari atas kebawah. Meneybarkan agama islam dengan peraturan dan keputusan mutlak pemimpin/ raja. Contoh : Samudera pasai, sultan demak, sultan pajang, sultan agung dan lain sebagaianya yang dimana para rakyat tunduk dan patuh atas perintah dari putusan para pemimpinnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Menyusun data yang ada relevansinya dengan permasalahan di atas
b. Mendeskripsikan penyebaran agama islam di ujung timur pulau jawa dalam membentuk kepribadian insan al khamil.
B. Sumber Data
Pengumpulan sumber data dalam penelitian ini dapat di bagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Sumber Primer
Adalah sumber pokok, misalnya sumber yang di ambil langsung dari Al-Qur’an atau Al-Hadits serta sumber utama dari penelitian seperti buku-buku tentang sejarah penyebaran islam di Nusantara.
b. Sumber Skunder
Merupakan sumber penunjang lainnya yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas.
C. Tekhnik Pengumpulan Data
Sesuai dengan penelitian yang penyusun lakukan yang bersifat diskriptif kualitatif, maka sebagaimana layaknya studi kualitatif yang mengadakan penelitian terhadap kepustakaan (library research). Maka pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi.
Metode dokumentasi adalah sebagai laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri atas penjelasan dan pemikiran-pemikiran atas peristiwa itu dan ditulis dengan sengaja untuk penyimpanan atau menemukan keterangan mengenai peristiwa itu. Atau juga dapat dikatakan metode dokumentasi adalah mencari data berupa catatan sejarah, transkip, buku-buku, surat kabar, agenda, dan sebagainya.
Dalam metode dokumentasi ini ada dua macam, yaitu dokumentasi primer. Yaitu sumber utama dari penelitian seperti buku-buku tentang peneybaran agama islam di ujung timur pulau jawa. Sedangkan dokumentasi skunder adalah dokumen atau buku-buku yang menunjang terkumpulnya data penelitian sebagaimana tersebut di atas.
D. Tekhnik Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, karena ia menitik beratkan pada segi nilai (values) yang terdapat dalam penyebaran agama islam.
Hermawan Wasito mengatakan bahwa ”Riset diskriptif itu hanya terbatas pada segala usaha mengungkapkan suatu masalah sebagaimana adanya sehingga hanya sekedar pengungkapan fakta”. Beni Ahmad Saibani mengungkapkan juga bahwa dalam menggunakan metode deskriptif, pengumpulan data di laksanakan dengan melakukan seleksitas data dan penentuan data di anggap representatif secara oprasional. Adapun jenis penelitian ini adalah riset kualitatif. Riset kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Mengacu pada pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang di maksud riset diskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha melihat makna-makna yang terkandung di balik objek penelitian.
E. Metode Analisis dan Penafsiran Data
Metode yang di gunakan adalah analisa data diskriptif kualitatif yang cenderung menggunakan sistem berfikir untuk menemukan makna-makna dari data yang ada, kemudian untuk menarik kesimpulan secara general penyusun menggunakan tata berfikir deduksi dan induksi.
Sutrisno Hadi mengatakan “Deduksi adalah apa saja yang dipandang benar dari suatu peristiwa sebagai sesuatu yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam peristiwa itu”. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa “Induksi adalah cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa itu ditarik generalisasinya yang mempunyai sifat umum menjadi khusus agar lebih mudah difaham”.
DAFTAR PUSTAKA
Sentot Prihandajani Sigito, Mahkota Blambangan, UB Press, Malang, 2007.
Ma’hsum Syafi’i, Bintang di pagi Hari, Remaja An Najah, Banyuwangi, 1991.
Aliy As’ad, Fathul Mu’in, Jilid ke I, Menara Kudus, Yogyakarta, 1976.
Al-‘Awaisyah Husain bin ‘Audah, Memupuk Suburkan Iman dan Menyucikan Jiwa, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2006.
Al-Ghozali Imam Abu Hamid Penterjemah M. Fadlil Sa’ad An-Nadwi, Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi, Al-Hidayah, Surabaya, 1418 H.
Al-Staibani Al-Toumy Omar Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta 1979.
Selamet Utomo, Bahtera Islam Banyuwangi, DKB Press, Banyuwangi, 2004.
Sumber di ambil dari internet :
http://muktiali46.blogspot.com/2013/02/bismillahirrahmaannirrahiim-sujud.html
http://dainusantara.com/urgensi-dakwah-islam-dalam-kehidupan/
http://dakwahafkn.wordpress.com/
-Mas Rezky-
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan yang Allah menciptakan Muhammad adalah tidak lain untuk member rahmat bagi semesta alam, “Tidaklah kami mengutus kamu selain sebagai rahmat bagi semesta alam”(Al Anbiyaa’(21) : 107) dalam hal ini Allah menginginkan Muhammad untuk membenahi ahklak perilaku umat manusia yang sebelumnya jahiliyah menjadi insan yang berakhlakul karimah. Lebih dikhususkan lagi Muhammad bertugas memebenahi tata cara beribadah umat manusia dengan pemantapan keyakinan yang bulat bahwa tuhan hanya Allah yang satu. Ubudiyah mengandung pengertian ikhlas kepada Allah dalam niat, perkataan, perbuatan, tunduk dan patuh kepada ketentuan Allah serta mengikuti jalannya.
B. Fokus Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghemat waktu dan biaya, maka dalam penyusunan proposal tesis ini perlu penulis berikan batasan-batasan dalam penelitian yaitu: Sejarah Penyebaran Islam di Banyuwangi
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat di fokuskan sebagai berikut: “Sistem penyebaran Islam bagaimanakah yang di gunakan dalam mensiarkan agama pembawa rahmat bagi semesta alam ini di Banyuwangi”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sejarah awal penyebaran islam di timur pulau Jawa.
b. Menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan tentang penyebaran agama islam.
c. Mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penyebaran agama islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai sumbangsih pemikiran atau input yang dapat memperkaya informasi dalam rangka meningkatkan semangat keyakian islam dan hubungannya dengan pembentukan akhlakul karimah.
b. Secara praktis penelitian ini berguna sebagai paparan yang mendiskripsikan betapa besar dan kuatnya pengaruh islam terhadap pribadi masyarakat nusantara khususnya di Banyuwangi dan memberikan pemikiran tentang tekhnik penyebaran agama islam yang diterima oleh masyarakat luas.
c. Di harapkan dapat berguna bagi kepentingan umum baik di dalam penyebaran agama islam maupun dalam merealisasikan ahklaq mulia dalam kehidupan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kabupaten Banyuwangi
Banyuwangi adalah sebuah Kabupaten di wilayah Jawa Timur yang paling ujung timur. Banyuwangi dulu juga disebut dengan nama Tirta Arum, karean merujuk pada bukti sumur yang berbau harum/wangi. Lokasi sumur berbau harum itu berada di sebuah rumah persis di timur Pendopo Kabupaten Banyuwangi.
Menurut orang-orang tua, dahulu tempat itu merupakan sumber air yang sering sekali mengeluarkan bau wangi, sehingga orang-orang tidak berani menggunakannya untuk mandi. Pada kondisi-kondisi tertentu bau harum/ wangi ini akan muncul sebagaimana penulis pernah alami yakni pada tahun 2008. Pada waktu itu penulis sedang berkunjung ketempat lokasi sumur yang terkenal di Banyuwangi ini, pada mulanya penulis tidak mendapati hal-hal aneh yang sering di ceritakan oleh masyarakat Banyuwangi perihal cirri-ciri munculnya bau harum dari sumur itu. Tetapi disaat penulis ingin meninggalkan lokasi sumur tersebut, tiba-tiba keadaan air yang sebelumnya jerih dan tenang mendadak berbuih seperti buih di pesisir pantai dan seketika itu pula menyerbak bau harum seperti bau bunga mawar dan melati. Kemudian tidak berselang lama keadaan seperti itu berubah kembali lagi seperti semula dan bau wanginya menghilang.
Awal penemuan sumur itu adalah pada zaman pemerintahan Bupati Notodiningrat(1910-1920). Keberadaan sumur wangi itu sendiri di hubungkan dengan cerita rakyat Sri Tanjung. Nama Banyuwangi sendiri sebenarnya sudah ada pada tahun 1477 terbukti pada Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang(alih bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo, 1981) halaman,74 alenia ke-tiga disebutkan bahwa “ pada saat 12 waisaka 1399 saka/(27 April 1477), Adipati Blambangan Siung Laut saat itu menghadiri acara peresmian Masjid Demak dengan di dampingi oleh sahabat beliau bernama Ki Gede Banyuwangi..”.
Banyuwangi memiliki hari kebanggan yakni tanggal 18 Desember 1771 yaitu hari dimana rakyat Banyuwangi meraih kemenangan melawan belanda dan berhasil mengusirnya. Tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi kota Banyuwangi karena memiliki latar sejarah terhebat pada masa Hindia-Belanda.
Aktifitas ekonomi di Kota Banyuwangi dapat dilihat dengan berdirinya pasar-pasar tradisional seperti Pasar Banyuwangi yang terletak di Kepatihan di sebelah barat Taman Blambangan. Aktifitas di Pasar Banyuwangi meningkat pada dini hari hingga pukul tujuh pagi. Dimana pada jam-jam tersebut, aktifitas perdagangan melebar hingga menimbulkan kemacetan di Jalan Diponegoro bagian utara dan menutup sebagian badan Jalan Jagapati. Di Pasar Banyuwangi terdapat petak-petak los pedagang yang terletak dari pinggir Jalan Karel Satsuit Tubun hingga ke dalam. Namun pedagang kaki lima masih menggunakan badan jalan sebagai tempat berdagang sehingga menimbulkan kemacetan. Akan tetapi, mulai tahun 2012 ada usaha untuk menertibkan pedagang (masih ada akan tetapi dirapikan) sehingga kemacetan bisa diminimalisasi dan badan jalan yang dapat dilewati bisa lebih luas. Selain Pasar Banyuwangi, terdapat juga Pasar Blambangan yang keberadaannya berdampingan dengan terminal angkot Blambangan, Lateng (Jalan Basuki Rahmat), Pasar Sobo di Jalan S.Parman dan Pasar Pujasera yang berdampingan dengan kawasan pecinan (China Town) di Jalan Pierre Tendean.
Selain pasar tradisional, pusat perbelanjaan juga berdiri di Kota Banyuwangi seperti Giant di Jalan Basuki Rahmat, Ramayana di Jalan Adi Sucipto, Roxy di Jalan Ahmad Yani dan MOST (Mall of Sritanjung) yang masih diusahakan pengoperasiannya hingga kini. Selain pusat perbelanjaan besar, terdapat juga minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang tersebar di sudut kota. Komplek pertokoan banyak berdiri di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Pierre Tendean (China Town). Selain itu, banyak berdiri ruko-ruko di kawasan Jalan Ahmad Yani, Jalan Kepiting dan di Gardenia Estate (sebuah kawasan bisnis dan perumahan dengan akses masuk dari Jalan S.Parman).
Bank-bank nasional negeri dan swasta banyak yang berdiri di Kota Banyuwangi. Bank negeri yang berdiri di Kota Banyuwangi adalah Bank Mandiri (Jalan Wahidin Sudirohusodo), BNI 46 (Jalan Kepiting dan Jalan Banterang), BRI (Jalan Ahmad Yani) dan BTN (Simpang Lima). Bank nasional swasta yang berdiri di Kota Banyuwangi adalah BCA (Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman), Bank Permata (Jalan Sudirman), Bank Danamon (Jalan Ahmad Yani), Bank Mega (Jalan Ahmad Yani), BII (Jalan Ahmad Yani), Bank Sinarmas, Panin Bank (Jalan Ahmad Yani), UOB (Jalan Sudirman), CIMB Niaga (Jalan Sudirman) dan Commonwealth Bank (Jalan Sutoyo). Selain itu terdapat Bank Daerah Jatim (Jalan Basuki Rahmat). Selain bank umum juga terdapat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) seperti BPR Wilis, BPR Jatim, BPR ADY dan BPR Swadhanamas Pakto. Selain itu, di kota Banyuwangi berkembang berbagai industri kecil, seperti industri oleh-oleh khas Banyuwangi, industri pisau militer di Singotrunan, dan industri kerajinan lainnya.
Kecamatan Banyuwangi dihuni oleh berbagai suku bangsa. Penduduk mayoritas Kecamatan Banyuwangi adalah Suku Osing yang banyak tinggal di Kelurahan Pakis dan Kelurahan Sumber Rejo. Di kelurahan-kelurahan lain juga terdapat warga Suku Osing namun jumlahnya tidak terlalu dominan dan telah berbaur dengan para pendatang dari luar Banyuwangi.
Selain Suku Osing ada juga komunitas kecil Suku Madura yang tinggal di sekitar Kelurahan Kepatihan (terutama di dekat Pasar Banyuwangi). Mereka menggabungkan diri dalam paguyuban yang bernama Paguyuban Jokotole Banyuwangi. Selain itu beberapa keluarga Suku Bali tinggal di Lingkungan Kampung Bali, Kelurahan Penganjuran. Suku Arab tinggal di Lingkungan Kampung Arab, Kelurahan Lateng dan keturunan dari orang Melayu yang dipercaya membangun Kampung Melayu.
Penduduk Kecamatan Banyuwangi juga memiliki beragam profesi. Karena posisinya sebagai ibukota kabupaten, maka banyak penduduk yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, pedagang, pengusaha, dan sebagainya. Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan umumnya tinggal di kelurahan-kelurahan yang berbatasan langsung dengan laut seperti Pakis, Sobo, Kertosari, Karangrejo, Kepatihan, Kampung Mandar dan Lateng.
Penduduk Kecamatan Banyuwangi berkumpul saat karnaval perayaan hari kemerdekaan Indonesia atau saat perhelatan Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Pada saat itu para warga memadati jalan yang menjadi rute karnaval. Selain itu setiap Kamis malam diadakan pengajian hajat yang bertempat di Masjid Agung Baiturahman. Pengajian hajat ini sangat diminati warga Kecamatan Banyuwangi sehingga terkadang parkir kendaraan membludak hingga menutup Jalan Sudirman sehingga arus lalulintas dialihkan mengitari Taman Sritanjung.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Islam di Banyuwangi
Kepercayaan agama lama yang di anut oleh mayoritas masyarakat nusantara yakni setiap percaya bahwa manusia itu sesudah mati akan menjelma kembali ke dunia secara berulang-ulang. Reinkarnasi itu bersifat menurun atau meningkat, tergantung kepada perbuatan manusia di masa lampau atau biasa di sebut dengan karma (samsara). Kaum brahmana berusaha menghindarai keadaan seperti itu, merekan tidak ingin di lahirkan kembali, mereka ingin moksha yang artinya bebas dari penglahiran kembali. Untuk mencapai moksha orang harus melakukan yoga artinya hidup sederhana menjauhi kenikmatan dan kebahagiaan duniawi menghaluskan budi membulatkan fikiran dengan jalan semedi. Sedangkan pada ajaran islam tidak mengenal adanya reinkarnasi.
Islam merupakan agama yang relefan sepanjang jaman dan sangat mudah dalam praktek ibadahnya sehari-hari, dan mempunyai tujuan pokok. Tujuan pokok islam adalah menghadap dzat maha tunggal yang di sembah. Maka dengan kata lain islam ialah tunduk kepada Allah dengan ikhlas menghadap kepadanya, meletakkan diri sebagai hamba yang rendah dan kecil di hadapannya dengan mengingatkan jiwa agar selalu ingat kepada tanpa ada perbedaan kasta maupun golongan, karena umat islam di mata Allah adalah sama.
2. Jalur Penyebaran Islam
Di dalam buku sejarah nasional dan ujian umum jilid 1 untuk SLTP kelas 1, sesuai kurikulum pendidikan dasar 1994 GBPP SLTP halaman 152 di sebutkan bahwa jalur penyebaran agama islam melalui :
1. Perdagangan
2. Perkawinan dan Politik
3. Pendidikan dan Dakwah
4. Kesenian
5. Tasawuf
Perdagangan
Sejak abad ke-7, para pedagang islam dari arab, Persia dan india telah mengambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indoneia dengan para pedagang islam. Di samping berdagang, para pedagang islam juga mengajarkan agama dan budaya islam kepada masyarakat di Indonesia (menurut serat kanda ringgit purwa, abad 11 jayabaya adalah murid Syekh Ali Syamsu Zen). Para pedagang dan masyarakat pesisir di jalur perdagangan, kota-kota pelabuhan di Indonesia yang menganut agama islam.
Di halaman 148, 149 disebutkan adanya makam tua yang bertahun 1082 M di Leran Gresik, yakni makam Fatimah binti Maemun. Kesaksian Marcopolo di perlak, ia berjumpa dengan orang-orang islam. Abad 13 islam sudah masuk ke Sumatera. Perjalanan Ibnu Batutah, utusan Sultan Delhi(India);1345 M yang singgah di Samudera Pasai menyatakan bahwa Raja Samudera Pasai giat menyebarkan agama islam. Di Gresik Sayyid Malik Ibrahim adalah pedagang kasur dan bantal, sehingga sering di sebut mbah bantal(kakek bantal).
Proses islamisasi melalui perdagangan tentu saja melibatkan kaum atas dan kaum bawah. Perdagangan di Blambangan menjadi besar setelah perang pecinan 1740 yang di lakukan oleh Inggris dan Cina.
Perkawinan
Para pedagang Islam melakukan perdagangan waktu cukup lama. Mereka menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang amat lama karena kendala transportasi dan lingkungan. Kondisi seperti ini dan sifat/ahlaq para pedagang yang cenderung mudah bergaul serta mudah menerima siapapun membuat mereka memiliki hubungan erat dengan baik itu dari kaum bangsawan maupun pribumi. Hubungan ini kadang-kadang di pererat lagi melalui tali perkawinan.
Hasil perkawinan ini menghasilkan anak-anak yang beragama islam seperti contoh adalah perkawinan Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungten, Syekh Maulana Ishak dengan Dewi Sekardadu(putri Minak Jinggo, raja Blambangan), Kertawijaya(Raja Brawijaya) menikah dengan putri Campa. Apabila yang menjadi muslim adalah seorang raja, maka hal ini akan mempercepat perkembangan islam melalui politik kekuasaan. Ketika seorang raja memeluk agama islam, seperti kertawijaya itu maka rakyatnya akan mengikuti jejak keyakinan yang dianut oleh sang raja.
Pendidikan dan Dakwah
Pendidikan dan dakwah sepertinya tidak bisa di pisahkan, karena juru dakwah adalah juru didik yang di lakukan di suatu tempat umum, guru agama ataupun para kiai juga memiliki peranan penting dalam penyebaran agama dan budaya islam. Budaya adalah alat untuk membuat agar masyarakat senang dan mencintai agama. Para juru dakwah menyebarkan agama islam melalui bidang pendidikan dan mendirikan pondok-pondok pesantren. Mereka ini memberikan pelajaran kepada para santri, yang kemudian menyebarkan dan mengembangkan kepada masyarakat. Para santri inilah yang berupaya membanguhn tempat-tempat ibadah di lingkungannya masing-masing kelak.
Pesantren-pesantren di dirikan bertujuan untuk lebih mempermudah penyebaran dan pemahaman agama islam. Misalnya pesantren Sunan Ampel di Surabaya, sunan Giri di Giri. Di Banyuwangi sendiri, sampai abad 18 Masehi belum ada satu pondok pesantrenpun yang berdiri. Pondok pesantren selalu tidak terlepas dengan adanya musholla, kamar santri, gladak(tempat mengaji), dan tentunya rumah pengasuh pondok pesantren itu sendiri
Dalam pengembangan pendidikan dan dakwah ini ada beberapa sosok pemimpin yang merupakan tokoh-tokoh handal yang mampu mempengaruhi raja, politik dan kebijakan kerajaan. Sebagai contoh Syekh Syamsu Zen, Syekh Subakir, Syekh Jumadil Kubro, Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lain-lainnya.
Kesenian
Penyebaran islam melalui kesenian saat ini biasanya di lakukan dengan mengundang masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan seni misalnya gamelan, wayang, zapen, di banyuwangi sendiri biasanya mementaskan seni pukul rebana sahut-sahutan(tarung rebana) dengan sebutan Kunthulan.
Budaya islam telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Dalam perkembangannya, pola dasar kebudayaan setempat yang tradisional masih kuat, sehingga timbul bentuk perpaduan seni tradisional dengan budaya islam. Perpaduan dua kebudayaan itu di sebut akulturasi. Seperti contohnya :
1. Sunan kalijaga mengembangkan islam melalui wayang
2. Seni tari dan gamelan di gelar pada upacara maulid Nabi Muhammad SAW.
3. Seni hias dan ukir, misalnya pada masjid kuno yang mirip candi, hiasan ukiran mirip hindu sebagaimana terdapat pada pintu gerbang masjid Gresik dan pintu masuk ke makam Sunan Giri di Jawa Timur.
4. Seni bangunan, mesjid kuno sunan kudus yang mirip dengan bangunan hindu.
5. Seni lagu, misalnya ilir-ilir dan jamuran karya cipta Sunan Giri yang ernafasan islami.
6. Seni sastra, misalnya Kancil/Pelanduk(Falandhu). Adapula Hamzah Fansuri seorang sufi dari Barus Aceh dengan sarana seni sastra bertema islam, syair Melayu. Nurrudin Ar Raniri, ulama Gujarat yang terkenal dengan karya tulisnya “Bustanus Salatin”.
Di Banyuwangi sendiri ada juga kesenian sebagai alat penyampaian agama islam. Di catat dalam buku terjemahan karya TH Pigeaud ileh Pitoyo Boedi Setiawan. “Majalah untuk Ilmu Bahasa dan Bumi Indonesia serta Bangsa-Bangsa” di terbitkan oleh yayasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan Jakarta. Bab LXXII; 1932, TBG LXXII/1932; 215-313, Catatan-catatan mengenai sudut timur jawa hal 276-277:
“Pertunjukkan-pertunjukkan yang dengan nyanyian dan tarian yang di latar belakangi oleh kepercayaan Islam Banyuwangi, sampai sekarang masih berlangsung yaitu Adrah atau Ajrah, dimana music(gendering) di mainkan untuk mengiringi nyanyian-nyanyian arab dengan beberapa anak muda yang menari-nari.”
Tasawuf
Para sufi atau ahli tasawuf biasanya hidup dalam kesederhanaan, mereka berusaha menghayati kehidupan masyarakat dengan hidup di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Biasanya mempunyai keahlian yang berguna untuk perkembangan pemikiran dan kehidupan masyarakat, misalnya dengan doanya selalu di kabulkan tuhan. Mereka aktif menghayati agama islam dan senang mengajarkan kebaikan sesuai dengan ajaran islam yang di sesuaikan dengan kondisi, alam pikiran, dan kebudayaan masyarakat. Yang terkenal sebagai ahli sufi diantaranya Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Hamzah Fansuri, Mas Moehammad Sholeh di Banyuwangi.
3. Peranan Bali Dan Belanda dalam Penyebaran Agama Islam di Banyuwangi
Kalau kita perhatikan, betapa kuatnya peranan tokoh-tokoh dalam pegembangan islam baik kekuatan luar, yaitu melalui penaklukan maupun kekuatan para ruhaniawan seperti para wali. Namun demikian, dalam kurun waktu yang sangat lama sejak di mulainya Wikrama Wardhana bertahta(1389-1429 M), di lanjutkan oleh Kertawajiya (1447-1451) dan Adi Sura Prabhawa, selanjutkan Demak, Mataram. Islam tetap tidak mampu menembus Banyuwangi di buktikan masjid baru berdiri pada abad XVII.
Banyuwangi adalah Blambangan timur yang berdekatan dengan Bali. Bali lah uang selalu mempertahankan dan membantu Banyuwangi/Blambangan timur dari segala sesuatu yang benuansakan penjajahan dan penyebaran agama baru yakni dalam hal ini adalah islam. Dimana seperti kita ketahui bersama agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah Siwa Hindu Budha, namun faham Tri Mukti di jadikan dasar keagamaan. Di susunnya struktur masyarakat denga adanya kasta adalah salah satu contoh bentuk benteng pertahanan kepercayaan masyarakat Bali dan Banyuwangi, keadaan seperti ini terus di pelihara secara turun menurun.
Menurut ketua persatuan hindu di banyuwangi, bapak ketut Sidra dan juga juru kunci keratin Macan Putih bapak elik, pada zaman dahulu ada seorang empu bernama Markandi yang berada di desa canga’ lereng gunung Raung hidup pada tahun 800 M mengajarkan Subak yang sekarang terkenal dan di praktekan di Bali. Filsafat dasar ajarannya adalah menghormati dan menghargai tumbuh-tumbuhan dan air, berbicaralah dengan kelembutan, janganlah menyakiti hati orang lain. Pada tahun 1638 gunung Raung meletus, tetapi bukti bahwa di tempat tersebut pernah ada desa canga’ yakni pemukiman yang saat ini di temukan di daerah Genteng Selatan Kabupaten Banyuwangi.
Dari fakta sejarah itulah, islam memang cukup sulit untuk masuk menuju Banyuwangi, di sisi lain juga letak geografis banyuwangi sangat sukar untuk di lakukannya dakwah penyebaran islam, sebagai bukti :
Di sebelah barat kota Banyuwangi adalah Gunung Raung yang menjulang tinggi dan kota Bondowoso. Masyarakat di sebelah barat hidup dari persil (perkebunan)dan pencari belerang, jadi tidak banyak aktifitas yang bisa di lakukan. Kondisi ini akan membawa kepada kejenuhan sehingga muncul dorongan untuk mencari ketenangan, yakni melalui agama.
Dari sisi selatan Banyuwangi di tembus melalui perang, melalui masuknya penduduk Islam Mataram dan orang-orang Madura masuk melalui Kalisat.
Sebelah timur adalah laut yang berbatasan langsung dengan Bali, sehingga penyebaran Islam dari sisi ini sangat sulit karean adanya pengaruh Bali yang masih Hinduistis.
Dari arah utara masuknya orang-orang Madura dan kelompok santri keturunan Ki Gede Banyuwangi murid Syekh Siti Jenar. Sebagai buktinya yakni adanya makam islam kuno di Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi. Makam ini bertuliskan Mubarrok Mursyid di batu nisannya, setelah di teliti oleh badan arkeolog Universitas Gajdah Mada Yogyakarta, batu nisan itu di pahat pada tahun 1448 M.
Desa-desa lama sudah ada pada waktu itu, seperti yang di tuliskan di dalam Negara Kertagama pupuh 28 bait 1, andelan pada zaman Hayam Wuru, yang mencatat adanya kunjungan Hayam Wuruk ke tempat-tempat di banyuwangi pada tahun 1359 M, desa-desa seperti Bajulmati, Bengkalingan, Bengkak, Watudodol, Boyolangu, Penataban, Cungking, Mojoroto tertulis dalam babad bayu 1771 M pupuh XIV bait 29.
Penyebaran islam ke Banyuwangi aharus menembus Blambangan yang sangat luas, selain itu juga jarak antar kota yang berjauhan, misalnya Pamotan, Pasuruan, Panarukan, Lumajang memakan waktu yang sangat lama.
Dikawasan ini juga terdapat laut, rawa seperti di Songgon Bayu, hutan lebat seperti di alas purwo dan baluran, air terjun deras seperti di antogan Rogojampi, gurun pasir di watubuncul, jurang yang curam seperti di daerahWatu Putih, Bromo, Ijen, Besuki, Mrawan dan lain-lain menunjukkan daerah ini memang sulit di jangkau.
Namun menurut C Lekerker seorang ilmuwan dan sejarawan dari portugis yang sempat bermukim di Banyuwangi cukup lama. Dalam bukunya berjudul Indische Gids II; 1923;1034 di sebutkan “bahwa dengan jatuhnya kerajaan Majapahit, rakyat yang setia kepada agama alam, yakni hindu dan budha pindah ke Pasuruan, Panarukan, Blambangan dan Bali. Dari sinilah pergerakan kerajaan Mataram menghempaskan penganut-penganut agama lama dengan mudahnya”. Data tersebut dapat di jumpai pada catatan Jendral Gubernur Van Diemen menulis surat kepada Yang Mulia Ratu ke XVII pada tanggal 18 Desember 1639 berbunyi :
“Dalam misi menjalin persahabatan dan rencana yang di jadwalkan untuk mendekati rakyat nusantara dengan memberi hadiah berupa patung gajayana serta kain sutera bernuansa krisna gagal di laksanakan. Karena saat ini tiada satupun masyarakat yang berani menyatakan dirinya sebagai penganut hindu budha dan mau menerima hadiah. Namun para petinggi masyarakat masih kami cari keberadaannya.”
Dari sinilah dapat di katakan awal suksesnya penyebaran agama islam di Banyuwangi. Namun tidak serta merta seluruh penduduknya taat pada perintah Mataram, karena beberapa rakyatnya melarikan diri ke Bali di mana sistem pertahanan kerajaan Bali masih kuat. Mereka memohon perlindungan kepada laskar-laskar Bali dari buruan prajurit Mataram. Di sisi lain penduduk Banyuwangi yang memiliki keberanian tinggi dan kepercayaan akan penjagaan arwah leluhur, tetap tinggal di Banyuwangi namun mereka bersembunyi ke pinggir seperti di Gunung Kumitir dan Rawa Bayu.
Peranan Belanda
Penyebaran islam di Jawa di lakukan dengan beragam cara, bai melalui para wali, melalui kekuasaan Demak dan Mataram sebagaimana di jelaskan di atas, bisa melalui perdangan politik dan budaya. Namun mengapa proses penyebaran lama, hal ini di karenakan tingkat kesulitan yang tinggi sebagaimana di jelaskan di atas tersebut, agama lama dan budaya leluhur telah mengakar kuat menghujan ke jantung rakyat Jawa khususnya Banyuwangi. Juga yang paling penting yakni kenyataan bahwa kerajaan islam bukan semata-mata ingin menyebarkan agama islam, namun lebih kepada pengrusakan/penghancuran/penjarahan dan penjajahan, bahkan antar kerajaan umat islam sendiri saling bertempur untuk memperebutkan wilayah, seperti Mataram yang menyerang Surabaya dan Pasuruan Islam.
Belanda yang menghadapi kekuatan politik di Blambangan sudah melakukan penelitian pola piker dan pola politik kerajaan Blambangan sejak tahun 1619 M.. blambangan pada paruh waktu pertama abad XVII direbutya ujung timur jawa oleh Sultan Agung hal 222. Dengan demikian Belanda mengharapkan kerjasama dengan Sultan Agung untuk segera dapat menguasai Blambangan secara menyeluruh. Seperti di sebutkan dalam buku Indische Gids II oleh C.Lekerker halaman 400 Banyuwangi tahun 1800-1810 M; 1923.
“Pada penerbitan Desember tahun 1923 dari majalah ini halaman 1030-1067, saya menulis ihtisar tentang sejarah Blambangan, yaitu kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang pada tahun 1767 M jatuh ke tangan Kompeni dan sejak saat itu di silamkan.”
Di halaman selanjutnya 1053 di sebutkan bahwa; Sutanegara dan Wasengsari dalam pengangkatannya sebagai Bupati di lakukan dengan sumpah meninggalkan agama lama dan masuk ke agama islam, kedua Bupati Banyuwangi di paksa untuk memeluk Islam. Pemaksaan seperti itu bukan saja tidak pantas namun juga tidak mempunyai nilai politik. Akan tetapi hal itu di lakukan untuk mencegah masyarakat Blambangan tidak bekerjasama dengan Bali.
Terjemahan buku harian seorang Gubernur Belanda di Blambangan pada tahun 1820 M “Memorial JA Van Middel Koop” tertulis :
- Pada tahun 1832-1867 gamelan di mainkan setiap hari jum’at pagi dan pada siang hari di bunyikan meriam setelah itu di laksanakan acara jum’atan.
- Bupati Wiryodhanu Adiningrat meninggal pada hari kamis tanggal 27 November tahun 1852 di kebumikan di belakang masjid Banyuwangi dana posisi mayatnya di hadapkan ke barat dengan kepala berada di selatan.
Dari sini sudah jelas sekali islam sudah berkembang di Banyuwangi.
B. Tokoh-tokoh Islam dan Peranannya
Dengan adanya peran penting Belanda dalam mengislamkan Banyuwangi, yakni melalui kerjasama dengan Sultan Agung dan perang sendiri yang di lakukan oleh Belanda yang menyerbu daerah Rawa Bayu di kecamatan songgon saat ini, yang meyebabkan 60 ribu orang dari 65 ribu penduduk Rawa Bayu terbunuh. Maka dengan mudahnya orang-orang islam dari luar Banyuwangi masuk dan menyebarkan serta mengembangkan agama islam. Diantaranya adalah Haji Tohir dari aceh, Syekh Abdurrahim Bawazir, yang hidup sejaman dengan Raden Mas Tumenggung Priggokusumo (Bupati Banyuwangi Ke-5, tahun 1867-1881), Kemudian ada juga masuk dari arah selatan Banyuwangi yaitu seperti KH. Abdul Bazar, KH. Hasan di desa Kalipuro, KH. Darda’ di Srono.
Dari keturunan raja Blambanganpun ada yang menyebarkan agama islam secara langsung ke masyarakat bawah seperti Sunan Wirowongso, Sunan Pringgojoyo, KH. Wirowongso, KH. Djuharito, KH. Abdullah Faqih(pencipta tradisi Endog-endogan Maulud yang sampai saat ini terpelihara dengan baik di Kabupaten Banyuwangi) beliau memiliki pesantren di Cemoro Songgon, KH. Rofi’i di Rogojampi, KH. Abdul Majid di Cawang.
Adapun ulama pendatang penyebar agama islam di bumi Blambangan yang kharismatik seperti; KH. Dimyati Krikilan, KH. Harun Abdullah di Tukang Kayu, KH. Muhtar Syafa’at di Blok Agung, KH. Djunaidi di Kebon Rejo, KH. Ali Mansyur (pencipta Sholawat Badar).
C. Pola yang di Pakai Dalam Penyebaran Agama Islam di Jawa
Penyebaran agama islam memiliki dua pola dalam pengembangannya yakni pola mekkah dan pola madinah. Kedua pola ini tidak dapat di pisah-pisahkan, akan tetapi keduanya saling berhungan dalam segala proses dakwahnya. Pertama yakni pola mekkah adalah sistem penyebaran islam melalui tataran bawah dengan menyentuh hati para kawula alit/ rakyat jelata. Kedua pola madinah adalah sistem penyebaran islam melalui tataran atas/ pemerintahan. Kedua pola tersebut telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri pada masanya.
Dengan adanya dua pola tersebut yang saling keterkaitan maka tumbuh dalam setiap jiwa pribadi dan tenaga-tenaga jiwa yang melahirkan umat yang militant, mulia, semangat, yakin dan mantap dalam menganut agama islam yang sesuai dengan sistem nilai kebenaran wahyu dan hadits Nabi. Seseorang akan bahagia dunia akhirat manakala dalam kehidupannya telah berkobar semangat yang nyata dalam beribadah;
1. Pola Mekkah, para penyebar agama islam di nusantara ini hadir dengan memberi contoh perilaku yang sopan dalam kehidupan, baik dalam hubungannya dengan antar umat beragama maupun hubungan pertemanan dengan penduduk nusantara dari rakyat jelata, pola mekkah menurut penulis adalah menyebarkan agama islam dengan analogi ‘menebang pohon’, yakni dari bawah keatas. Meyentuh hati para rakyat dengan ajaran-ajaran islam yang santun. Contoh : dengan perdagangan, member jasa konsultasi kehidupan dan pernikahan yang semuanya di landasi dengan nafas islam pembawa kedamaian.
2. Pola Madinah, yakni para penyebar agama islam di nusantara ini hadir di kancah elit pemerintahan dan memegang posisi yang menguntungkan dalam mengambil dan mengatur segala kebijakan bernegara. Pola madinah menurut penulis adalah menyebarkan agama islam dengan analogi ‘menggali sumur’, yakni dari atas kebawah. Meneybarkan agama islam dengan peraturan dan keputusan mutlak pemimpin/ raja. Contoh : Samudera pasai, sultan demak, sultan pajang, sultan agung dan lain sebagaianya yang dimana para rakyat tunduk dan patuh atas perintah dari putusan para pemimpinnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Menyusun data yang ada relevansinya dengan permasalahan di atas
b. Mendeskripsikan penyebaran agama islam di ujung timur pulau jawa dalam membentuk kepribadian insan al khamil.
B. Sumber Data
Pengumpulan sumber data dalam penelitian ini dapat di bagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Sumber Primer
Adalah sumber pokok, misalnya sumber yang di ambil langsung dari Al-Qur’an atau Al-Hadits serta sumber utama dari penelitian seperti buku-buku tentang sejarah penyebaran islam di Nusantara.
b. Sumber Skunder
Merupakan sumber penunjang lainnya yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas.
C. Tekhnik Pengumpulan Data
Sesuai dengan penelitian yang penyusun lakukan yang bersifat diskriptif kualitatif, maka sebagaimana layaknya studi kualitatif yang mengadakan penelitian terhadap kepustakaan (library research). Maka pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi.
Metode dokumentasi adalah sebagai laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri atas penjelasan dan pemikiran-pemikiran atas peristiwa itu dan ditulis dengan sengaja untuk penyimpanan atau menemukan keterangan mengenai peristiwa itu. Atau juga dapat dikatakan metode dokumentasi adalah mencari data berupa catatan sejarah, transkip, buku-buku, surat kabar, agenda, dan sebagainya.
Dalam metode dokumentasi ini ada dua macam, yaitu dokumentasi primer. Yaitu sumber utama dari penelitian seperti buku-buku tentang peneybaran agama islam di ujung timur pulau jawa. Sedangkan dokumentasi skunder adalah dokumen atau buku-buku yang menunjang terkumpulnya data penelitian sebagaimana tersebut di atas.
D. Tekhnik Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, karena ia menitik beratkan pada segi nilai (values) yang terdapat dalam penyebaran agama islam.
Hermawan Wasito mengatakan bahwa ”Riset diskriptif itu hanya terbatas pada segala usaha mengungkapkan suatu masalah sebagaimana adanya sehingga hanya sekedar pengungkapan fakta”. Beni Ahmad Saibani mengungkapkan juga bahwa dalam menggunakan metode deskriptif, pengumpulan data di laksanakan dengan melakukan seleksitas data dan penentuan data di anggap representatif secara oprasional. Adapun jenis penelitian ini adalah riset kualitatif. Riset kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Mengacu pada pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang di maksud riset diskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha melihat makna-makna yang terkandung di balik objek penelitian.
E. Metode Analisis dan Penafsiran Data
Metode yang di gunakan adalah analisa data diskriptif kualitatif yang cenderung menggunakan sistem berfikir untuk menemukan makna-makna dari data yang ada, kemudian untuk menarik kesimpulan secara general penyusun menggunakan tata berfikir deduksi dan induksi.
Sutrisno Hadi mengatakan “Deduksi adalah apa saja yang dipandang benar dari suatu peristiwa sebagai sesuatu yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam peristiwa itu”. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa “Induksi adalah cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa itu ditarik generalisasinya yang mempunyai sifat umum menjadi khusus agar lebih mudah difaham”.
DAFTAR PUSTAKA
Sentot Prihandajani Sigito, Mahkota Blambangan, UB Press, Malang, 2007.
Ma’hsum Syafi’i, Bintang di pagi Hari, Remaja An Najah, Banyuwangi, 1991.
Aliy As’ad, Fathul Mu’in, Jilid ke I, Menara Kudus, Yogyakarta, 1976.
Al-‘Awaisyah Husain bin ‘Audah, Memupuk Suburkan Iman dan Menyucikan Jiwa, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2006.
Al-Ghozali Imam Abu Hamid Penterjemah M. Fadlil Sa’ad An-Nadwi, Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi, Al-Hidayah, Surabaya, 1418 H.
Al-Staibani Al-Toumy Omar Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta 1979.
Selamet Utomo, Bahtera Islam Banyuwangi, DKB Press, Banyuwangi, 2004.
Sumber di ambil dari internet :
http://muktiali46.blogspot.com/2013/02/bismillahirrahmaannirrahiim-sujud.html
http://dainusantara.com/urgensi-dakwah-islam-dalam-kehidupan/
http://dakwahafkn.wordpress.com/
-Mas Rezky-
Langganan:
Postingan (Atom)