Oleh :
Dzulfikar Rezky, SH
Jakarta, 13 Maret 2014
Jakarta, 13 Maret 2014
Padi, adalah bahan dasar untuk membuat
nasi, nasi adalah makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, padi tertanam hampir
diseluruh pelosok negeri ini. Petani padi juga dapat menyemai padinya sepanjang
tahun selama musim yang baik. Padi yang di olah menjadi nasi kemudian juga di makan oleh semua lapisan
masyarakat. Mulai dari Petani, tukang becak, PNS, TNI, Pejabat teras hingga
Presiden semuanya makan nasi yang berawal dari padi.
Hal menarik dapat dipetik dari
pembelajaran padi. Seperti halnya padi, dalam mendidik anak kita memerlukan
yang namanya bibit unggul, lahan yang baik, perawatan yang intensif. Ketika
metode penanaman padi telah diterapkan dalam proses mendidik anak. Maka untuk
hasilnya tergantung dari bibit awal yang kita pilih.
Bibit disini menurut falsafah orang jawa
adalah genetik atau keturunan dari orang tuanya, ketika orang tuanya memiliki
gen yang unggul maka dapat di prediksikan anaknya akan mempunyai keunggulan
juga. Kita sirami pendidikan anak dimulai dengan materi kerohanian yang kuat.
Kita jaga anak kita dari bahaya arus peradaban yang semakin sulit terkontrol.
Padi yang berisi berciri menunduk tiap kali volumenya bertambah. Kita analogikan
semakin manusia itu bertambah ilmunya maka semakin merendah dia dihadapan tuhannya
dan manusia, tanpa mengurangi sedikitpun semangat perjuangan untuk kemajuan
bangsanya.
Namun saat ini, apabila kita menemukan
orang yang sudah tua usianya tetapi perilakunya semakin susah diatur, sombong,
congkak, main hakim sendiri. Maka dapat dipastikan, dirinya bagaikan padi yang
tua tanpa isi didalamnya. ‘Makin tua makin gila’, mungkin kalimat ini
yang pantas disematkan pada manusia-manusia yang hidupnya semrawut dikala usianya
tinggal menunggu hari saja.
Bibit ungggul memang bukan
segala-galanya, bobot dan bebet juga pasti di gandengkan bersamaan dengan penamaan pada adagium pemilihan manusia dalam
semua aspek kehidupan. Selain dari keturunan, maka manusia unggul dinilai oleh
manusia dari pendidikan dan moralnya. Walaupun kita keturunan darah
biru(ningrat) tetapi pendidkan kita serta moral kita buruk maka masyarakat
hanya akan memandang sebelah mata saja. Sama halnya ketika kita memilki moral
yang sangat baik di masyarakat tetapi tingkat pendidikan kita rendah maka
selamanya kita akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja tanpa dapat
mengangkat derajat perekonomian kita ke tingkat yang lebih tinggi. Karena tidak
dapat di pungkiri saat ini, sumber daya lahan pekerjaan manapun, akan menaruh
simpati pada pekerjanya yang memilki tingkat keintelektulan tinggi di nilai
dengan jejak rekam akademisnya. Begitu jga walaupun pendidikan kita setinggi
langit seluas jagat raya namun moral (ahlak) kita buruk di masyrakat,
maka sangat dapat di pastikan kita akan menjadi bahan gunjingan dan cemo’ohan
orang-rang disekitar kita. Bos manapun tidak akan mempertahankan pekerjanya
yang walaupun pintar tetapi etos kerjanya buruk. Cepat atau lambat dia akan
tergeser oleh orang yang memilki tingkatan pendidkan dan moral yang lebih baik
diatasnya.
Kembali falsafah jawa ada baiknya jika
diterapkan dalam pendidkan anak kita kedepannya. Bibit-bebet-bobot adalah satu
kesatuan kata yang sederhana namun memiliki makna istimewa dalam mengarungi
hidup di dunia.
Selain keturunan, pendidikan dan
pembelajaran moral sebagai orang tua kita di wajibkan untuk menyirami ruh anak
kita dengan pendidikan dan contoh tauladan sesuai ajaran agama yang telah di
berikan oleh Tuhan. Maka nantinya ketika anak kita mencapai tingkat kedewasaan
dan telah meraih ketiga hal dari falsafah jawa tersebut, muncullah kader
manusia yang militant dalam kepemimpinannya di dunia dan ajakannya untuk selalu
berjalan pada garis yang di ridhoi oleh Tuhannya. Bukan dunia yang dijadikan
tujuan akhir, namun ridho dan keistiqomahanlah yang menjadi semangat hidup
baginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar