Rabu, 26 Maret 2014

BIBIT-BEBET-BOBOT



Oleh : Dzulfikar Rezky, SH
Jakarta, 13 Maret 2014

Padi, adalah bahan dasar untuk membuat nasi, nasi adalah makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, padi tertanam hampir diseluruh pelosok negeri ini. Petani padi juga dapat menyemai padinya sepanjang tahun selama musim yang baik. Padi yang di olah menjadi nasi  kemudian juga di makan oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari Petani, tukang becak, PNS, TNI, Pejabat teras hingga Presiden semuanya makan nasi yang berawal dari padi.
Hal menarik dapat dipetik dari pembelajaran padi. Seperti halnya padi, dalam mendidik anak kita memerlukan yang namanya bibit unggul, lahan yang baik, perawatan yang intensif. Ketika metode penanaman padi telah diterapkan dalam proses mendidik anak. Maka untuk hasilnya tergantung dari bibit awal yang kita pilih.
Bibit disini menurut falsafah orang jawa adalah genetik atau keturunan dari orang tuanya, ketika orang tuanya memiliki gen yang unggul maka dapat di prediksikan anaknya akan mempunyai keunggulan juga. Kita sirami pendidikan anak dimulai dengan materi kerohanian yang kuat. Kita jaga anak kita dari bahaya arus peradaban yang semakin sulit terkontrol. Padi yang berisi berciri menunduk tiap kali volumenya bertambah. Kita analogikan semakin manusia itu bertambah ilmunya maka semakin merendah dia dihadapan tuhannya dan manusia, tanpa mengurangi sedikitpun semangat perjuangan untuk kemajuan bangsanya.
Namun saat ini, apabila kita menemukan orang yang sudah tua usianya tetapi perilakunya semakin susah diatur, sombong, congkak, main hakim sendiri. Maka dapat dipastikan, dirinya bagaikan padi yang tua tanpa isi didalamnya. ‘Makin tua makin gila’, mungkin kalimat ini yang pantas disematkan pada manusia-manusia yang hidupnya semrawut dikala usianya tinggal menunggu hari saja.
Bibit ungggul memang bukan segala-galanya, bobot dan bebet juga pasti di gandengkan bersamaan dengan  penamaan pada adagium pemilihan manusia dalam semua aspek kehidupan. Selain dari keturunan, maka manusia unggul dinilai oleh manusia dari pendidikan dan moralnya. Walaupun kita keturunan darah biru(ningrat) tetapi pendidkan kita serta moral kita buruk maka masyarakat hanya akan memandang sebelah mata saja. Sama halnya ketika kita memilki moral yang sangat baik di masyarakat tetapi tingkat pendidikan kita rendah maka selamanya kita akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja tanpa dapat mengangkat derajat perekonomian kita ke tingkat yang lebih tinggi. Karena tidak dapat di pungkiri saat ini, sumber daya lahan pekerjaan manapun, akan menaruh simpati pada pekerjanya yang memilki tingkat keintelektulan tinggi di nilai dengan jejak rekam akademisnya. Begitu jga walaupun pendidikan kita setinggi langit seluas jagat raya namun moral (ahlak) kita buruk di masyrakat, maka sangat dapat di pastikan kita akan menjadi bahan gunjingan dan cemo’ohan orang-rang disekitar kita. Bos manapun tidak akan mempertahankan pekerjanya yang walaupun pintar tetapi etos kerjanya buruk. Cepat atau lambat dia akan tergeser oleh orang yang memilki tingkatan pendidkan dan moral yang lebih baik diatasnya.
Kembali falsafah jawa ada baiknya jika diterapkan dalam pendidkan anak kita kedepannya. Bibit-bebet-bobot adalah satu kesatuan kata yang sederhana namun memiliki makna istimewa dalam mengarungi hidup di dunia.
Selain keturunan, pendidikan dan pembelajaran moral sebagai orang tua kita di wajibkan untuk menyirami ruh anak kita dengan pendidikan dan contoh tauladan sesuai ajaran agama yang telah di berikan oleh Tuhan. Maka nantinya ketika anak kita mencapai tingkat kedewasaan dan telah meraih ketiga hal dari falsafah jawa tersebut, muncullah kader manusia yang militant dalam kepemimpinannya di dunia dan ajakannya untuk selalu berjalan pada garis yang di ridhoi oleh Tuhannya. Bukan dunia yang dijadikan tujuan akhir, namun ridho dan keistiqomahanlah yang menjadi semangat hidup baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar