Rabu, 19 Maret 2014
MURSINAH
M U R S I N A H
Oleh : Dzulfikar Rezky, SH
Jakarta, 7 Maret 2014
Tersandarku diatas kursi jaring kantor warna hitam yang berbahan dasa plastik, seperti kursi-kursi kantor di depan computer pada umunya. Tertundukku di depan layar komputer bingung ingin menulis apa.
Lama aku terdiam, akhirnya aku tetap memaksakan diri untuk menggerakkan paksa jari-jariku layaknya pekerja rodi pada jaman penjajahan jepang dahulu kala. Menulis adalah aktifitas kesenangannku setelah membaca.
Teringat dua jam yang lalu aku membaca buku berjudul “Jalan Pulang yang Panjang”, berisi tentang cerita panjang para Tenaga Kerja Wanita (TKW) mulai dari proses pendaftaran hingga kehidupannya di negeri orang dan kembali lagi di Indonesia.
Miris memang, apalagi di dalam buku itu aku juga di suguhkan jepretan foto sang penulis buku yang kebetulan berprofesi juga sebagai fotografer. Kembali pada isi buku yang sebentar aku baca itu. Di dalam buku ini ada beberapa nama sosok utama cerita tiap babnya. Namun aku hanya hanya menuliskan satu tokoh cerita nyata yang miris dalam alur kehidupannya menjadi TKW di negeri orang.
Mursinah adalah TKW berusia 25 tahun, telah menikah dan memiliki anak perempuan bernama Rola. Hari-hari sebelum penjemputan para TKW keluar negeri, Mursinah dan keluarga kecilnya menghabiskan waktunya bersama setiap menitnya, tidak sedetikpun waktu terbuang tanpa bersama-sama. Lora sang anak yang memang masih balita, memang terlihat manja dan sangat tergantung pada sosok ibunya. Sang ayah yang sehari-hari bekerja di pabrik rotan dan kadang kala menjadi supir panggilan juga sangat menyayangi Rola dengan sepenuh hatinya.
Mursinah semakin sedih ketika melihat sang anak setiap malam tidak akan tertidur tanpa belaian lembut dari tangan mursinah. Dia berpikir apakah jika nanti aku pergi keluar negeri, Lora bisa tidur dengan nyenyak setiap malamnya? Atau ia akan mencoba menutupi kesedihannya dengan berpura-pura menutup matanya dalam tiap malam?. Tak disadari air mata Mursinah terjatuh membasahi pipinya.
Ketukan pintu malam hari menandakan datangnya sang suami. Segera bergegas Mursinah membukakan pintu rumahnya. Tanpa di sangka-sangka, sang suami memberinya segenggam bunga mawar merah yang masih segar terlihat baru dipetik dari tangkainya untuk di berikan pada istri tercintanya Mursinah. Kembali hal ini membuat air matanya berderai semakin deras. Sang suami memeluk erat-erat tubuh mungil sang Mursinah yang terasa hangat dan lemah tak bertenaga karena kesedihan yang melanda di dalam hatinya.
Terucap kata dari mulut mursinah yang membuat hati suaminya bergetar, dia berkata “apakah setelah aku berangkat keluar negeri masih bisakah aku kembali dan merasakan kehangatan keluarga kecil ini?”. Sang suami dengan tanggap, menuntun tubuh mursinah kedalam kamar mereka, mencoba menenangkan Mursinah, sang suami mencium kening istrinya yang sedari tadi di rundung kesedihan akan bayangan perpisahan nanti dengan suami dan anaknya. Dengan senyuman dan wajah yang menampakkan ketegaran, sang suami terus menggoda-goda mursinah agar kembali tersenyum dan berusaha tabah mengahadapi kenyataan ini.
Keesokan harinya, mobil petugas PJTKI menjemput Mursinah tepat pukul 08.00 WIB. Deretan tas kotak-kotak yang berisi baju dan perlengkapan Mursinah terlihat berjejer didepan teras mungil rumahnya. Pagi itu Rola seperti biasa sangat sulit untuk di bangunkan, padahal sang ibu akan pergi meninggalkannya untuk waktu yang cukup lama. Sang suami yang hari itu sengaja mengambil cuti untuk melepas kepergian sang istri, nampak sekali di raut mukanya tergambar kesedihan dan berat rasanya berpisah dengan istri satu-satunya yang sangat ia cintai. Namun apa di kata, kembali mobil penjemput membunyikan klakson secara berulang-ulang membuat Mursinah dan suaminya juga terburu untuk memasukkan koper-koper kedalam bagasi mobil, setelah semuanya sudah masuk, akhirnya kini giliran Mursianh untuk naik kedalam mobil, hanya kalimat pendek yang keluar dari mulut sang suami namun sangat bermakna dan mewakili semua pesan yang ada, sang suami dengan nada lirih mengatakan “Aku sayang padamu, aku akan menjaga Lora dengan sebaik mungkin, jagalah sholatmu dan jagalah kesehatanmu”, Mursinah hanya bisa mengangguk dengan mata terpejam menahan air yang seakan-akan mendobrak kelopak matanya. Kemudian dalam suasana haru Mursinah mencium tangan sang suaminya dengan hitungan detik yang lebih lama dari pada biasanya. Lambaian tangan Mursinah menjadi pertanda akhir kisah pelepasan sang peahlawan devisa di pagi hari itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar