Rabu, 19 Maret 2014

ULAMA' PANUTAN DI AKHIR JAMAN

Oleh : Dzulfikar Rezky, SH. Jakarta 5 Maret 2014 A. ULAMA Ulama’ (Arab:العلماء al-`Ulamā`, tunggal عالِم ʿĀlim) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui mufrad/ singular) dan ‘ulama’ (jamak taksir/ irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadist. - ‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al ulama’ artinya : sesungguhnya yang paling taqwa kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama (Fathir 28). - ‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama adalah pewaris para nabi – (hadits). Namun tidak sering juga diantara kita umat muslim pada umumnya sengaja melupakan dan menafikkan pemberitahuan ini. Adapun hal yang sering digunakan hanyalah nalar dari logika masing-masing umat muslim yang berkelompok, mengganggap dirinya paling muslim sendiri dan hanya selalu mementingkan golongannya. Mereka sering mengernyitkan dahi ketika ada ilmu yang di hasilkan dari pemikiran para ulama’, mereka pesimis dan tidak menaatinya, terparah lagi bahkan mereka sering mengumpat dan memaki kaum-kaum yang berdiri diatas hukum syar’i serta aqidah para ulama’. Tak ubahnya seperti segerombolan anjing hutan kudisan yang hanya bisa berdiam diri ketika rivalnya yakni para tim singa memburu mangsa, tetapi ketika para singa sukses melumpuhkan buruannya. Anjing hutan kudisan selalu merampok dengan membabi buta tanpa menyisahkan sedikit dagingpun pada para singa yang sejatinya lebih membutuhkan karena kelaparan yang mendera mereka. Analogi diatas tidak terlalu berlebihan di sematkan kepada para saudara kita seiman dan seagama yang selalu menafikkan peran ulama’ dalam penyebaran islam di dunia dan Indonesia pada khususnya. Namun walaupun kenyataannya demikian para ulama’ tetap berkelanjutan untuk terus istiqomah dalam menegakkan agama Islam dan ajaran-ajaran yang telah di contohkan oleh Nabi Agung Muhammad SAW diatas bumi ini. Tiada detik yang tidak di manfaatkan untuk berjuang menegakkan ajaran islam ala Ahlus Sunnah Waljama’ah. Ulama adalah guru sejatinya guru bagi muslim yang mengerti dan paham akan perintah Allah SWT dan Wasiat Nabi Muhammad SAW yang di teruskan oleh para sahabat-sahabatnya kemudian dibawa oleh para kerabatnya-kerabatnya lalu di terima serta di sebar luaskan oleh murid-muridnya kepada muslim-muslimah yang kaffah dengan sifat insan Al-Khamilnya. Semoga Allah SWT terus memberi kekuatan kepada para ulama’-ulama’ di dunia ini yang dengan ikhlas berjuang, meneruskan cita-cita Nabi Muhammad SAW. Tiada kalimat yang pas dan tepat untuk menggambarakan sosok para Ulama’ selain “Ulama’ adalah satu-satunya panutan kita semua di akhir jaman”. Oleh karena itu marilah kita umat muslim yang di beri hidayah oleh AllahSWT, yang tetap berada di garis terdepan mengawal perjuangan para ulama’ untuk terus menjadi singa-singa yang kuat yang tangguh dan buas demi membela pemimpinnya yang tak lain dan tak bukan adalah singa-singa Ulama’. B. PENJABARAN ULAMA Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah. Penyebutan taqwa di sini hanya untuk memberi batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada Allah dan secara dhahir menunjukkan tanda-tanda ketaqwaan. Jadi di dalam Islamolog yang tidak beriman kepada Allah tidak masuk dalam kategori ulama. Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai Ahmad Siddiq, Situbondo, menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu dan amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan hadis. Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak berhubungan dengan al-Quran dan hadis tidak masuk dalam kategori ulama. Kyai Ahmad mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai zuama. Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2 (dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima) kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali. (lihat al-Baqi, al-Mu’jam, hlm. 603-604). Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an selalu saja diawali dengan ajakan untuk merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan Al-Qur’an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an mengajak al-’alimun untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan (lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan Tuhan. Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari NU- membuat kategorisasi ulama atas dasar ilmu, secara garis besar sebagai berikut; 1. Ulama Ahli Quran ialah ulama yang menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih mansuh dsb. Ulama tafsir adalah bagian dari ini yang memiliki kemampuan menjelaskan ‘maksud’ Qur’an. 2. Ulama Ahli Hadits yaitu ulama yang menguasai ilmu hadits, mengenal dan hafal banyak hadist, mengetahui bobot kesahihannya, asbabul wurudnya (situasi datangnya hadits) dsb. 3. Ulama Ahli Ushuluddin ialah ulama yang ahli dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil naqlinya. 4. Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin serta metodologi pencapaiannya. 5. Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang memahami hukum Islam, menguasai dalil-2nya, metodologi penyimpulannya dari Qur’an dan hadis, serta mengerti pendapat-2 para ahli lainnya. 6. Ahli-ahli yang lain: Ahli pada berbagai bidang yang diperlukan sebagai sarana pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan hadits, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli sejarah, dsb. Merujuk pada arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami masyarakat telah mengalami kecelakaan pemahamanan. Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan sebagai ulama hanyalah orang-orang yang mumpuni di bidang agama-dalam hal ini meliputi tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan sejenisnya bahkan ada yang menambahkan ulama dalaha orang ahli agama yang memilki pondok pesantren (sekaligus memiliki santri). Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain, misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik, ahli ekonomi- yang nota bene juga merupakan bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk lebih memahami al-Qur’an dan hadits serta mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering dinamakan dengan sebutan Guru/ Dosen. Yang lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar dalam masyarakat kita – seperti berbagai istilah lain – mempunyai “kelamin ganda” dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan Islam agama Islam” (lihat Kamus Besar bahasa Indonesia, halaman 985). Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak dari alim) hanya mempunyai arti “orang yang berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam Suprayogo (2006)-dalam bukunya-Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan bahwasannya selama ini, pembidangan ilmu agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq, tasawuf, bahasa arab, dan sejenisnya) telah berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama, seperti ulama fiqh, ulama tafsir, ulama hadits, ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya. Tetapi, tidak pernah dijumpai ulama yang menyandang ilmu selain tersebut. Misalnya ulama matematika, ulama teknik, ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut sebagai sarjana matematika, sarjana teknik, sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di bidang ini dipandang tidak memiliki otoritas dalam ilmu keislaman sekalipun mereka beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini, definisi ulama yang dikonstruk masyarakat adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadits, dan sebagainya. Berangkat dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid, tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang terkait dengan objek yang dikaji. Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan ulama, karena pada hakekatnya ulama yang intelek dan intelek yang ulama tidak memilki perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal. Misalnya menggunakan istilah madrasah yangberbeda dengan sekolah, guru dengan ustadz, kitab dengan buku, asrama mahasiswa dengan pondok pesantren, perpisahan dengan akhirussanah, dan lain sebagainya. Di sini, penggunaan konstruk yang bernuansa ke Arab-araban dipandang sebagai bernuansa spiritual transcendental yang dirasakan terdapat nuansa agama Islam. Untuk memahami lebih dalam bagaimana masyarakat membedakan antara konstruk yang bernuansa agama dengan yang bukan agama, dapat mengikuti pembedaan yang sama antara guru dengan ustadz. Disebut guru jika seseorang mengajar matematika, biologi, teknik, ekonomi, bahasa Inggris dan seterusnya. Lain halnya jika seseorang mengajar ilmu fiqh, tafsir, tasawuf, bahasa Arab dan lainnya maka akan disebut dengan ustadz. Pembedaan seperti ini menjadikan Islam terkesan eklusif (tertutup) dan bukan inklusif (terbuka), seolah-olah Islam hadir ke bumi ini hanya mengurus hal-hal yang berkenaan dengan ke-akhirat-an saja. Padahal kalau kita mau mencermati secara seksama dalam al-Qurâan dan al-Hadits justru lebih banyak berbicara tentang keselamatan hidup di sini dan sekarang, karena memang yang di sini dan sekarang akan berdampak pada kehidupan di akhirat yang nanti dan di sana. C. KYAI Kiai atau Kyai (kadang-kadang juga ejaan arkaisnya Kijahi/ Kyahi), dapat mengacu kepada hal-hal berikut: Jawa Kiai atau Kyai bagi pemahaman Jawa adalah sebutan untuk "yang dituakan ataupun dihormati" baik berupa orang, ataupun barang. Selain Kiai, bisa juga digunakan sebutan Nyai untuk yang perempuan. Kiai bisa digunakan untuk menyebut : 1. Ulama atau tokoh, contoh: Kiai Haji Hasyim Muzadi, Kyai Tapa 2. Pusaka, contoh: keris Kiai Joko Piturun, gamelan Kiai Gunturmadu 3. Hewan, contoh: kerbau Kiai Slamet, kuda Kyai Gagak Rimang 4. Makhluk halus, contoh: Kiai Sapujagad (penunggu Gunung Merapi) 5. Orang yang sudah meninggal (meskipun berusia muda). Bisa dilihat di nisan pada kompleks makam masyarakat Jawa. Banjar/Kalimantan Kyai bagi masyarakat Banjar/ Kalimantan adalah gelar bagi kepala distrik (di Jawa disebut wedana), bukan ulama. Gelar ini berasal dari nama jabatan menteri pada Kerajaan Banjar. Pemerintah Hindia Belanda lalu mengalihkan nama ini untuk nama jabatan kepala distrik untuk wilayah Kalimantan. Contohnya ialah Kiai Masdhulhak, seorang kiai yang meninggal dalam pemberontakan Hariang, Banua Lawas, Tabalong, tahun 1937 Tokoh Agama Haedar Ruslan, seorang guru di Pondok Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika Kepemimpinan Kyai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti Kyai. Menurutya, Kyai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk; pertama, pada benda atau hewan yang dikeramatkan seperti Kyai Plered (tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (Gajah di kebun binatang Gembira Loka Yokyakarta). Kedua, pada orang tua pada umumnya, ketiga, pada orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam yang mengajar santri di Pesantren. Secara terminologi, menurut Manfred Ziemnek, pengertian Kyai adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren, sebagai muslim “terpelajar” yang telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata “kyai” disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. ( Moch. Eksan, 2000 ). Abdurrahman Mas’ud (2004, 236-237) memasukkan Kyai kedalam lima tipologi, yakni 1. Kyai (ulama) encyclopedi dan multidispliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti Nawai Al-Bantani. 2. Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisai bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian meraka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan pesantren, mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mreka, misalnya pesantren Al-quran. 3. Kyai Kharismatik, yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagaamaan, khususnya sufisme, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura. 4. Kyai Dai Keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi Sunnisme atau Aswaja dengan bahasa retorika efektif. 5. Kyai Pergerakan, yakni karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, sehingga menjadi pemimpin yang menonjol. Seperti KH. Hasyiem Asyarie. KATEGORI KYAI Disebutkan bahwa ada tiga jenis karakter ulama (Kyai) yakni: 1. “Kyai Genthong” Maksudnya seberapa banyak ilmu yang digali dari Kyai tersebut bergantung dari keinginan dan kemampuan orang – orang yang datang kepadanya. Ibarat gentong yang berisi air, terserah mengambilnya, apakah satu gelas, satu gayung, satu timba atau dihabiskan saja sekalian air dalam genthong tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa ilmu Ulama jenis “Kyai Genthong” ini sangat jembar (luas) dan jero(dalam) ilmunya, karena ia telah belajar di berbagai pondok pesantren dengan “melahap” habis kitab Al Quran dan kitab-kitab lainnya dengan ketekunan tingkat tinggi demi taqorrub kepada Allah. Dengan niatnya yang lurus dan hatinya yang bersih ulama ini telah mengenal suksmanya, itulah sebabnya ia mampu “membaca” hati orang lain baik yang berada dekatnya maupun yang sangat jauh sekalipun secara tepat dan benar.Ia menggunakan bahasa hati, karena keyakinannya yang kuat mendalam maka sudah mencapai tahapan Haqqul yakin. Perlu diketahui “Kyai Genthong ini biasanya berperilaku agak “nyentrik” atau secara umum tidak terkenal (mastur). Kyai Genthong ini lebih dominan wilayah kebersihan hatinya (spiritualnya). Kalau anda bertemu type “Kyai Genthong” ini silahkan ambil sebanyak-banyaknya ilmu dari beliau, tapi tetep tak akan habis karena ilmunya “mengalir langsung” (pake tanda kutip) dari kedalaman hatinya yang bersih (seperti teorinya Imam Ghazali) bahkan bukan mustahil dari Tuhannya. 2. Kyai Ceret” Yakni ulama yang memberikan ilmunya kepada sesame manusia berdasarkan kapasitas muatannya. Seperti kapasitas gelas, cangkir dsb. Yang jelas muatan airnya terbatas, sehingga pemberiannya kepada orang lainpun disesuaikan dengan wadahnya. Dalam perspektif keilmuan jenis Kyai Ceret ini dikenal sebagai ulama yang intelektual dan mumpuni kecendikiawanannya. 3. “Kyai Talang” (fungsi talang menampung air hujan lalu mengalirkannya) Jenis Kyai Talang ini senantiasa memberikan ilmunya kepada siapapun saja yang dijumpainya baik senang menerima ataupun tidak. Orang bodoh maupun orang pandai. Intinya siapapun yang berjumpa dengan Kyai Talang maka ia akan mendapat banyak ilmu darinya sebagaimana talang yang menerima hujan dari langit lalu ia menumpahkannya hingga habis. Jenis ulama ini adalah tipe orang yang suka menghambur-hamburkan ilmunya kepada siapapun saja. Dalam perspektif tasawuf, dari ketiga jenis “Kyai “ tadi maka “Kyai Genthong”lah yang paling mendalam ilmunya. Ia benar-benar telah mengantongi “Ilmu Hikmah” (makrifat) didalam relung hatinya yang terdalam, sehingga hatinya selalu berbinar-binar dengan cahaya Ilahi. Hal ini sejalan dengan Imam Ghazali yang mengatakan bahwa seseorang yang memperdalam ilmu keagamaan dilarang berhenti belajarnya jika belum mencapai “ilmu Hikmah” (makrifat) Tahukah Rahasia kedahsyatan kedalaman ilmu Kyai Gentong di atas? Konon rahasianya adalah tidak hubbud dunya, karena hubbud dunya adalah penyebab utama matinya mata hati. Tidak hubbud dunya istilah sufinya adalah zuhud. Aduh menyebut kata zuhud jadi melebar ke Risalatul Qusyairiyah, yang menyebut bahwa Zuhud itu ada tiga macam: 1. Zuhudnya orang awam yaitu meninggalkan hal yang haram 2. Zuhudnya orang yang istimewa yakni meninggalkan(dlm arti membatasi) hal yang halal 3. Zuhudnya orang makrifat, yakni meninggalkan segala hal yang menyibukkan sehingga jauh dari Allah. Tentu saja anda boleh sepakat atau tidak sepakat terhadap 3 pengkategorian jenis Kyai tadi, boleh mengurangi atau menambahkan jenisnya kalau memang dalam pandangan anda masih kurang. Yang jelas ketiga jenis Kyai tadi adalah “makhluk langka” yang keberadaannya perlu dicari dan dilestarikan. Yang perlu dihindari adalah jangan sampai kita menjadi “manusia genthong” dalam arti segala macam makanan dimasukkan kedalam perutnya karena untuk pemuasan syahwat semata, tidak pandang makanan itu halal atau haram masuk semua. Juga harus dihindari “manusia ceret” dalam arti semua jenis minuman dari yang halal maupun haram ditampung kemudian diminum dengan berlebihan. Last but bot least Na’udzubillah (bahasa jawanya amit-amit) jangan sampai jadi “manusia talang” dalam arti negative, seperti yang sekarang lagi hangat dipemberitaan, jadi penyalur pajak rakyat untuk Negara tapi karena merasa dirinya talang maka dia embat sebagiannya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya, katanya kalau yang dikucuri saja basah kenapa talangnya gak boleh basah. Yang ini si lebih layak disebut, ah panjenengan lebih tahu. Aduh gara-gara ngomongin genthong malah lupa belum nengok genthong tempat air, padahal dah siang, ihhhh mbethur amat si, belum mandi, belum masak air, mari sambut hari libur dengan cerah wajah dan cerah hati. Mudah-mudahan rahmat – Nya selalu tercurah kepada kita semua. Amin. Rahayu rahayu rahayu, salamku yang tiada batas untuk saudara-saudaraku semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar