BAB I
A.
Minak Jinggo
Bagi masyarakat Jawa yang terpengaruh
oleh kerajaan Majapahit
dan Mataraman, maka Minak Jinggo merupakan sosok pemberontok dan
perongrong kedaulatan Majapahit. Ia di gambarkan sebagai sosok yang culas, serakah, dan tidak
tahu diri. Secara fisik Minak Jinggo di
gambarkan
sebagai orang yang berkepala anjing, perut buncit, dan menggunakan klinthing
(Gelang
berlonceng kecil di kaki). Semua penggambaran tersebut merupakan penghinaan
terhadap sosok Minak
Jinggo. Penggambaran sosok minak jinggo semacam itu tereprensentasikan[1] dalam pemakaian
bahasa Jawa.
Hal ini menurut penulis adalah hasil dari campur tangan politik kekuasaan
kerajaan majapahit pada waktu itu, dengan kata lain, penggambaran sosok Eyang Prabu
Minak Jinggo ini di buat karena merujuk pada perintah penguasa Majapahit saja.
Atau lebih dapat kita sebut sebagai penggambaran karakter Istanasentris.[2]
Di dalam masyarakat
Banyuwangi (Osing) sendiri dalam memandang
sosok Minak
Jinggo merupakan seorang pahlawan tertinggi Blambangan. Bagi mereka
Minak
Jinggo adalah raja yang sangat di hormati, di junjung tinggi, dan merupakan harga diri serta sebagai lambang dari
kedaulatan Blambangan-Banyuwangi. Penggambaran sosok Minak Jinggo semacam ini tercermin dalam pemakaian tindak tanduk masyarakat Banyuwangi
serta tata bahasa Osing itu sendiri. Pertunjukan
Janger yang menggunakan bahasa Osing sebagai bahasa pengantar untuk adegan kerajaan
Blambangan menganggap Minak Jinggo sebagai pahlawan mereka. Hal ini biasanya di lakukan oleh kelompok janger yang pemainnya orang Osing sendiri.
Sungguh ironis memang, kebudayaan di jadikan contoh penggambaran kejahatan
karena Minak Jinggo tidak mengakui kerajaan Majapahit dan Mataram sebagai
penguasa wilayah kerajaan Blambangan di masa kepemimpinannya. Kita ketahui bahwa kerajaan
Blambangan sangat kuat dan belum pernah di jajah oleh Majapahit. Sedangkan kita
tahu kerajaan Majapahit mengusai sampai ke benua Afrika. Bahkan dalam Catatan
sejarah Kerajaan Blambangan, Majapahit hanya bisa mengklaim bahwa kerajaaan Blambangan termasuk ke dalam wilayahnya.
Betulkah,
sampai saat ini
belum di temukan peninggalan cerita yang utuh
dari kerajaan Blambangan, yang ada dan tersebar luas hanyalah versi sejarah kerajaan Majapahit saja. Atau bisa jadi semua kisah asli
dari kerajaan Blambangan dan Minak Jinggonya sengaja ada yang menghilangkannya.
B.
Sejarah Minak Jinggo versi Majapahit
Konon,
di sebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang di pegang oleh Ratu Ayu
Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang di lakukan oleh Minak Jinggo
(Bhre Wirabumi/joko umbaran), pada kala itu ‘Jengho’ melalui pintu belakang yakni
kerajaan Blambangan yang di pipimpin oleh Minak Jinggo, Naiknya Joko Umbaran menjadi raja
diawali sayembara sang Ratu. Ratu cukup repot dengan kehadiran adipati
Blambangan Kebo Marcuet yang mulai merongrong Majapahit. Akhirnya di sayembarakan,
siapa yang mampu membunuh Kebo Marcuet akan diberi tanah Blambangan dan
dijadikan suami Kencono Wungu. Joko Umbaran berhasil membunuhnya. Dia menang
setelah di bantu seorang pemanjat kelapa bernama Dayun. Kemenangan itu harus
dibayar mahal. Wajah Joko Umbaran rusak dan kakinya pincang.
Hal ini di manfaatkan oleh jengho untuk
mengacau perhatian Majapahit yakni menyusup pintu pertahanan Majapahit dari laut
jawa sehingga sebagian besar pasukan ‘jengho’ tidak di ketahui telah masuk dari
semarang leh sang ratu. Kembali pada cerita sebelumnya. Pokok persoalan
pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu
Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo seperti raksasa
(wajahnya bulat seperti tempeh khas mongoloid) hampir saja Minak Jinggo
memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti, sebab ia memiliki senjata yang di
sebut gada wesi kuning (Senjata Pentungan Gada yang berisi racun dan kotoran
penderita kholera). Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa
yang dapat mengalahkan Minak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa,
apabila wanita akan di jadikannya sebagai saudara, apabila lelaki akan di
jadikannya sebagai suami. Tersebutlah seorang ksatria putra seorang Brahmana
bernama Raden Damarwulan (irojan munira/ Maulana Iskak ).
Dalam
peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir (kerajaan
karang asem dan klungkung sampai sekarang di kuasai keturunan china/ mongol
bukti jengho tidak dapat masuk ke jawa dia bukan lah muslim tapi budhist bukti
adalah tidak di dirikannya mesjid tetapi kuil taou). Akan tetapi atas bantuan
dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Wahita dan Dewi Lempuyengan
akhirnya Minak Jinggo dapat di kalahkan (di blambangan saja). Selanjutnya Dewi
Wahita dan Dewi Lempuyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas
kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu (mempunyai
putra yang dinamai raden paku/ sayid ainul yaqin yang kelak menjadi raja di
demak karena ibunya adalah ratu Majapahit/ Blambangan dengan gelar Prabu
Satmata) dan bersama-sama memerintah di Majapahit.
Cerita
Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah
terlebih-lebih di Jawa Timur (peperangan antara walisongo dengan majapahit
adalah dengan prabu brawijaya ke VII yang ketika itu majapahit sudah lemah
karena negara manca negarinya sudah di kalahkan Mongol di duga kemarahan pasukan
Tar-tar China adalah di serangnya Sriwijaya-Budhist oleh Majapahit-Hindhu dan
pembalasan kekalahan Khubilaikhan). Hingga sekarang kita masih dapat melihat
peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di desa Troloyo,
Trowulan, Mojokerto. Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh
penduduk di anggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu(ratu Majapahit yang di
tinggal oleh Maulana Ishak karena mungkin Jengho sudah masuk pasae/ Gresik, apakah
beliau syahid di sana sehingga sunan Giri sejak kecil sudah piatu, tinggal di
kepatihan di angkat putra oleh Nyai Bin Patih/ Nyi Ageng Pinatih: Kampung kecil
HaBaSA). Dewi Wahita dan Dewi Lempuyengan serta beberapa orang pengikutnya.
Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah makam-makam Islam
yang awal (Raden Asmara Bangun artinya Kebangkitan putra sulthan Ibrahim
Asmaraqondhi). Dari angka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisan menunjuk
angka 1295 M - 1457 M.
C.
Sejarah Minak Jinggo versi
Banyuwangi
Kisah sejarah Blambangan versi Majapahit
tersebut di mentahkan oleh masyarakat Banyuwangi. Minimnya bukti di lapangan
makin menguatkan pernyataan itu. Minak Jinggo bagi masyarakat Banyuwangi merupakan
seorang pahlawan
tertinggi Blambangan. Bagi mereka Minak Jinggo adalah raja yang merakyat, di hormati, di junjung tinggi, raja yang dermawan, yang arif
bijaksana dan merupakan harga
diri serta sebagai lambang dari kedaulatan Blambangan dan sifat sejati masyarakat
Banyuwangi (Suku Osing). Menilik cerita sejarah Blambangan pada tahun 700 - 1600
masehi. Dari hikayat yang berkembang, setidaknya ada empat raja yang pernah
memerintah Blambangan :
Raja pertama Siung Manoro yang
datang dari Kediri, Jawa Timur. Tokoh ini pertama kali masuk ke Alas Purwo dan bertempat
tinggal di rumah penguasanya, Mbah Dewi Roro Upas. Tidak disebutkan pasti
sampai kapan pemerintahan Siung Manoro dan hubungannya dengan ratu Alas Purwo
tersebut.
Raja kedua, Kebo Marcuet, putra
seorang bangsawan dari Klungkung, Bali. Disebutkan, tokoh ini memiliki sepasang
tanduk. Karena keanehan inilah, dia dibuang orangtuanya ke Alas Purwo. Di
tempat ini, dia dirawat seorang resi sakti, Ki Ajah Pamungger, yang juga kakek
Minak Jinggo atau Joko Umbaran, salah seorang raja Blambangan yang nanti menjadi
tokoh sentral isi cerita ini.
Raja ketiga. Selanjutnya Blambangan
di pimpin oleh Joko Umbaran/Bre Wirabumi/ Minak Sembuyu, pemuda sakti asli
blambangan cucu Ki Ajah Pamungger Alas Purwo. Kala itu di barat, kerajaan
Majapahit di pimpin oleh ratunya bernama Kencono Wungu. Joko Umbaran di nobatkan
oleh rakyat Blambangan sendiri menjadi raja Blambangan bergelar sang Prabu Minak Jinggo atau Bre Wirabumi. Ada kaitan kisah yang menarik dari tokoh ketiga raja
blambangan ini dengan kaitan lahirnya sunan Giri;
Dikisahkan dalam penyebaran islam di
Jawadwipa, sunan Ampel bersahabat dengan syekh Maulana Ishak, seorang ulama
dari negeri pasai yang juga berdakwah di jawadwipa. Tepatnya di Blambangan.
Syekh Maulana Ishak juga yang nantinya akan dimintai bantuan oleh Prabu Minak
Sembuyu agar mengatasi pagebluk[3] di Kerajaan Blambangan, terlebih
lagi sang Prabu prihatin lantaran putri satu-satunya yakni Dewi Sekardadu juga
terserang wabah itu dan mengakibatkan sang puteri jatuh sakit tak berdaya
selama berbulan-bulan.
Kala itu Prabu Minak Sembuyu
mengadakan suatu sayembara, “Barangsiapa yang bisa menyembuhkan sakit puteriku
Dewi Sekardadu dan menghilangkan pagebluk di kerajaan Blambangan, jika wanita
akan kujadikan sedulur sinorowedi[4] dengan Dewi Sekardadu, apabila
laki-laki akan aku nikahkan dengan Dewi Sekardadu serta di beri hadiah separuh
kerajaan”.
Karena tak ada satupun brahmana atau
biksu kala itu yang mampu mengabulkan permintaan sang Prabu Minak Sembuyu. Maka
sang prabu mengutus Patihnya yang bernama Patih Bajul Segoro agar keliling njajah deso milang kori[5] untuk menyelesaikan masalah di
Blambangan. Dalam melaksanakan tugasnya sang patih akhirnya bertemu dengan
seorang pertapa sakti bernama Resi Kandhabayu. Melalui informasi Resi
Kandhabayu inilah akhirnya Patih Bajul Segoro mengetahui orang yang sanggup
mengobati penyakit Dewi Sekardadu dan meleyapkan masalah pagebluk di
Blambangan, yaitu tersebutlah nama seorang pertapa yang sedang melakukan semedi
(tafakkur)[6] di Gunung Selangu, yakni Syekh
Maulana Ishak. Dan terbukti akhirnya Syekh Maulana Ishak berhasil menyembuhkan
sakit sang puteri dan meleyapkan pagebluk di Kerajaan Blambangan. Sesuai janji
sang Prabu Minak Sembuyu, maka akhirnya Syekh Maulana Ishak di nikahkan dengan puterinya
Dewi Sekardadu dan di hadiahi separuh dari kerajaan, dari pernikahan inilah
kemudian lahir seorang anak laki-laki yang cerdas dan berbudi luhur dan kelak menjadi
terkenal seantero Nusantara yakni anak laki-laki itu bernama Raden Paku/Joko
Samudero/Sunan Giri, yang tak lain dan tak bukan adalah cucu asli dari sang
Prabu Minak Jinggo/Minak Sembuyu/Bre Wirabumi.
Raja terakhir Blambangan adalah Joto
Suro. Setelah di angkat menjadi raja, Joto Suro kembali ingin mendapatkan Dewi
Sedah Merah. Pasukan Joto Suro menyerang Mataram. Usahanya berhasil. Dewi Sedah
Merah di boyong ke Blambangan. Suaminya, Pangeran Julang, memilih kabur. Meski
menjadi tawanan, Dewi Sedah Merah menolak di nikahi. Dia memilih mati dengan
cara bunuh diri. Selama menjadi raja, Joto Suro mengangkat patih Ario Bendung. Ario
Bendung kemudian ditipu agar menyerang Mataram. Padahal itu hanyalah
akal-akalan Joto Suro untuk menikahi istri Ario Bendung. Namun, gagal, istri
Ario Bendung menolak, lalu dibunuh Joto Suro. Mendengar istrinya tewas, Ario
Bendung mengamuk. Ia membunuh Joto Suro.
Tanpa penyebab yang jelas, Ari Bendung akhirnya bunuh diri dan tewas di Mataram. Kepergian Ario Bendung ke Mataram bertepatan munculnya meletusnya Gunung Raung tahun 1638 yang mengakibatkan banjir lahar yang melanda Blambangan.
Tanpa penyebab yang jelas, Ari Bendung akhirnya bunuh diri dan tewas di Mataram. Kepergian Ario Bendung ke Mataram bertepatan munculnya meletusnya Gunung Raung tahun 1638 yang mengakibatkan banjir lahar yang melanda Blambangan.
Saat itu penduduk Blambangan hanya
tinggal tak lebih dari 100 orang. Sebagian bertahan di Blambangan dan sisanya
memilih pindah ke Mataram. Sejak saat itu Blambangan menjadi hutan belantara.
Seluruh bekas kerajaan yang ditinggalkan hancur tertimbun lahar.
D.
Sejarah Minak Jinggo versi Budayawan
Banyuwangi
Tetapi ada versi lain yang
menyebutkan bahwa kerajaan Blambangan di yakini baru muncul sekitar tahun 1700,
yakni, selama kepemimpinan Prabu Tawang Alun dengan kerajaannya di Desa
Macanputih, Kabat. Tawang Alun diyakini keturunan bangsawan Majapahit dari
Jember. Kemudian mendirikan kerajaan Macan Putih sebagai ibu kota Blambangan.
Sebelum menetap di Macan Putih, Tawang Alun memindahkan pusat pemerintahannya
tiga kali. Pertama di Lateng, Rogojampi, lalu ke Bayu, Songgon yang saat ini
lebih di kenal dengan sebutan Rowobayu, dan terakhir ke Macan Putih, Kabat. Keturunan
Tawang Alun dan keturunan Rempeg Jogopatilah
yang berperang ‘Puputan’[7] melawan Belanda juga di yakini masih
memiliki ikatan darah dengan keraton Mengwi, Badung. Dari sinilah nama
Banyuwangi muncul setelah menghilangnya Blambangan. “Bukti sejarah Blambangan
memang sangat minim. Apalagi tidak ada satu pun prasasti yang menyebutkannya. Penulis
mencoba menganalisis dari berbagai sumber yang otentik. Menurut budayawan
Banyuwangi, Hasan Ali. Konon, dari buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan
Leiden, Belanda, nama Blambangan hanya di sebut sejak pemerintahan Tawangalun(Mas
Senepo). Sebutan ‘Blambangan’ juga misterius. Ada yang menyebut cikal bakalnya
adalah tirto arum. Ada juga dari kesusastraan kerajaan Kediri yang menyebut
Blambangan dengan ‘Balamboangan’. Artinya, daerah subur penghasil padi terbesar
selama pemerintahan Majapahit. Penetepan hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771
juga didasarkan pada sejarah perjuangan Tawang Alun dan keturunannya melawan
penjajah Belanda. Banyaknya bukti sejarah bekas kerajaan Blambangan yang
tersisa, kata Hasan Ali, tidak ada kaitannya dengan hikayat Damarwulan, Minak
Jinggo, dan Blambangan versi Majapahit.
Dari pemaparan beberapa versi
diatas, dapat kita tarik satu benang merah yakni, versi yang sering di
ceritakan oleh Majapahit dan di yakini oleh masyarakat jawa pada umumnya,
tentang figur Minak Jinggo dapat dikatakan sebagai kreasi khayalan pen-diskredit-tan[8] sosok Raja Blambangan itu sendiri.
Dengan kata lain juga dapat penulis tarik satu kesimpulan yang masuk akal, bahwa
apa yang sebenarnya di anggap benar dan baik oleh kebanyakan orang dan telah
lama di jadikan sebagai bahan mutlak dalam bercerita sejarah, ternyata belum
tentu baik dan benar di lihat dari sudut
pandang pihak/ kelompok yang di marjinal-kan.[9]
BAB II
1.
Asal-usul
Kesenian Janger Banyuwangi
Banyuwangi - Pada abad ke-19, di Banyuwangi
hidup suatu jenis teater rakyat yang disebut Kesenian Ande-Ande Lumut karena
lakon yang dimainkan adalah lakon Andhe-Andhe Lumut. Dan dari sumber cerita
dari mulut ke mulut, pelopor lahirnya Janger ini adalah Mbah Darji, asal Dukuh
Klembon, Singonegaran, Banyuwangi kota.
Mbah Darji ini adalah seorang
pedagang sapi yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali. Dan dari situ dia
tertarik dengan kesenian teater Arja dan dia pun berkenalan dengan
seniman musik bernama “Singobali” yang tinggal di desa Penganjuran, Kecamatan
Banyuwangi. Kemudian terjadi perpaduan antara teater Ande-Ande Lumut dengan
unsur tari dan gamelan Bali, sehingga lahirlah apa yang saat ini disebut “Damarwulan Klembon atau Janger Klembon”.
Semenjak itu, mulai lahir grup-grup
damarwulan di seantero Banyuwangi. Mereka bukan hanya memberikan hiburan, namun
juga menyisipkan pesan-pesan perjuangan untuk melawan penjajah dengan kedok
seni. Di masa revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan menyamar sebagai
seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.
Menurut Dasoeki Nur, seorang pelaku
kesenian Janger Banyuwangi, teater ini juga sempat berkembang hingga melampaui
wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan menurutnya lagi, pada tahun 1950-an pernah
berdiri dua kelompok Janger yang berada di wilayah Samaan dan Klojen, Kota
Malang.
2.
Janger Minak Jinggo-an
Di dalam kesenian janger/ damar wulyanan/
jinggoan tokoh yang sangat sering di lakonkan di dalamnya adalah MINAK JINGGO
yang menurut kisahnya adalah salah satu Raja Blambangan.
Dalam temperamennya, Minak Jinggo
digambarkan sebagai seorang raja yang gagah perkasa, namun pincang, suka makan sirih, buruk rupa, suka bertindak sewenang-wenang
dan mempunyai pendamping setia dan selalu ada yaitu abdi kinasihnya Dayun.
Seorang yang belum menikah/ masih perjaka. Dalam pementasan janger Minak Jinggo
di ceritakan sang Raja Blambangan ingin menagih janji ke Ratu Majapahit, yaitu
Dyah Ayu Kencono Wungu. Karena berhasil mengalahkan seorang raksasa bertanduk
kerbau yaitu KEBO MARCUET.
Namun menurut keyakinan dari anak
cucu masyarakat Banyuwangi, dalam pementasaannya Minak Jinggo digambarkan
sebagai seseorang yang gagah perkasa, tampan, sopan santun, halus tutur katanya
dan selalu di gandrungi banyak wanita. Hal
inilah yang menjadi tonggak permulaan yang tertancap kuat di jantung penulis
untuk mengembalikan kebenaran sejarah yang telah terbengkok-bengkok selama berabad-abad
lamanya, dan juga tentunya agar masyarakat nusantara membuka mata serta tahu bahwa
perilaku sejati leluhur masyarakat Banyuwangi adalah mulia, bukan seperti yang di
pahami selama ini, tentunya hal ini juga bermanfaat khususnya bagi kemajuan dan
pelestarian seni bagi generasi Osing mendatang.
A. Keunikan Janger Banyuwangi
Keindahan seni janger banyuwangi ini
adalah kesenian yang berhibrida dari pulau Bali. Dari musik yang mengiringinya
adalah musik Bali (gamelan Bali), sedangkan dalam pementasannya di selingi
dengan lagu-lagu dan cerita, serta tarian dari bali dan banyuwangi itu sendiri.
Dari segi musik pengiring dalam
pementasan, terdapat kolaborasi yang sangat spektakuler dan unik sekali. Dalam
pagelarannya kadang tiba-tiba musik Bali itu di sisipi dengan warna musik Banyuwangi.
Namun dalam alur cerita selalu di iringi dengan Gamelan Bali. Saat menyanyi kembali
di iringi dengan musik khas Banyuwangi.
Sering di jumpai dalam pementasannya,
janger membawakan cerita-cerita babad tanah jawa, legenda, kisah mahabarata,
bahkan cerita karangan seniman Osing sendiri. Unik memang, karena kalau di telusuri
ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Yaitu, unsur Banyuwangi,
unsur Bali, Unsur Surabaya/ ludruk, Unsur Jawa Tengah/ ketoprak. Begitu
lengkapnya kesenian ini. Maka patut juga di sematkan gelar pada kesenian janger
ini sebagi kesenian pluralisme dalam berkesenian.
B.
Pakaian Dan Bahasa
Pementasan yang memakan waktu kurang
lebih 8-10 jam ini berbahasa jawa tinggi, namun untuk lawakannya biasa
menggunakan bahasa khas asli Banyuwangi yaitu bahasa Osing. Sedangkan
pakaiannya adalah terdiri dari berbagai adegan, untuk yang berperan sebagai jin
(brawakan)selalu berpakaian mirip pakaian adat Bali, juga para pemain putrinya
selalu berpakain ala Bali yang cantik dan elok di pandang.
Namun ada juga yang berpakain ala
ketoprak, jadi tegantung dengan peran yang di lakoninya. Banyak dari para
seniman janger ini yang kadang pakaiannya membuat dengan menjahitnya dan
membawa sendiri, begitu kreatifnya sehingga kadang dalam peran apapun para
seniman Janger ini bisa melakonkan seluruh peran secara spontanitas dengan etos
profesionalisme yang tinggi.
C.
Lakon dan Cerita
Pementasan selalu ada lakon dan
cerita, Namun soal lakon dan cerita ini biasanya dilaksanakan oleh para aktor/ aktrisnya
setelah ada permintaan dari penanggap atau pengundangnya yang meminta lakon atau
cerita apa yang harus di lakonkan pada pementasan tersebut.
Nah, disinilah peranan sesepuh atau
sutradara yang akan mengelola lakon dan siapa saja yang berperan di
dalamnya. Lakon dan cerita bisa cerita babad tanah jawa, legenda, kisah mahabarata,
atau bahkan cerita seperti layaknya di film-film terbaru saat ini, semua bisa
mereka laksanakan tanpa latihan, dan live show.
D.
Tari Pengiring
Sebelum pementasan cerita, biasanya
di iringi oleh tari yang dibawakan oleh seniman-seniman janger tersebut.
Sedangkan Tariannya bermacam-macam, biasanya yang pasti ditarikan adalah tarian
dari pulau Bali, yaitu tari Margopati. Namun tarian dari Banyuwangi
sendiri banyak yang di bawakan saat pementasan sebagai pengiring. Seperti Tari
Jejer Gandrung, Punjari, Gandrung Dor, Aji Jarang Goyang, Sabuk Mangir, dan
lain-lain.
E.
Perkembangannya
Untuk saat ini kesenian Janger yang
ada di Kabupaten Banyuwangi sudah mencapai lebih dari 100 group/ organisasi
seniman-seniman Banyuwangi. Walaupun untuk saat ini banyak yang sudah pudar
karena kurangnya minat para penikmat seni untuk menanggap seni jangeran. Namun
dalam perkembangannya sampai saat ini masih ada yang sangat populer di mata
masyarakat Banyuwangi.
Beberapa organisasi seniman janger
yang cukup populer di Banyuwangi diantaranya, "SETYO KRIDHO BUDOYO"
Parijatah wetan Kecamatan Srono yang di pimpin oleh Bripda Pol. Arief Yudistya,
" DHARMA KENCANA" Glondong yang dipimpin oleh I MADE SWEDEN,
"SRI BUDOYO PANGESTU" Parijatah Wetan, yang di pimpin oleh Ir.Punto
Hadi. Nah, itulah sedikit tentang Janger Banyuwangi.
[1] re·pre·sen·ta·si /répréséntasi/ n
1 perbuatan mewakili; 2 keadaan diwakili; 3 apa yg
mewakili; perwakilan
[2] berbicara tentang istana, atau seputar
kerajaan
[3] Wabah yang terjadi di Blambangan, banyak
rakyat yang sakit pada pagi harinya akan meninggal pada sore harinya, begitu
juga apabila sakit pada sore harinya maka akan meninggal pada pagi harinya
[4] Dianggap sebagai anak kandung sang raja dan
sebagai saudara kandung puterinya
[5] Berkeliling Keluar Masuk Ke Desa-desa
[6] Perenungan-pengheningan cipta-menghaluskan
hati
[7] tindakan perlawanan bersenjata habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah ini berasal dari kata bahasa Bali "puput"
yang artinya "tanggal" / "putus" / "habis /
"mati". Puputan berarti perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk
seluruh warga yang ada dari semua kasta
sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan jiwa dan raga sampai titik
darah penghabisan.
[8] men·dis·kre·dit·kan v (berusaha
untuk) menjelekkan atau memperlemah kewibawaan seseorang atau satu pihak
tertentu: selebaran berupa pamflet gelap itu bertujuan ~ mengokohkan suatu
kekuasaan
[9] Di pinggirkan, di pojokkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar