Rabu, 26 Maret 2014

MINAK JINGGO



BAB I
A.  Minak Jinggo
Bagi masyarakat Jawa yang terpengaruh oleh kerajaan Majapahit dan Mataraman, maka Minak Jinggo merupakan sosok pemberontok dan perongrong kedaulatan Majapahit. Ia di gambarkan sebagai sosok yang culas, serakah, dan tidak tahu diri. Secara fisik Minak Jinggo di gambarkan sebagai orang yang berkepala anjing, perut buncit, dan menggunakan klinthing (Gelang berlonceng kecil di kaki). Semua penggambaran tersebut merupakan penghinaan terhadap sosok Minak Jinggo. Penggambaran sosok minak jinggo semacam itu tereprensentasikan[1] dalam pemakaian bahasa Jawa. Hal ini menurut penulis adalah hasil dari campur tangan politik kekuasaan kerajaan majapahit pada waktu itu, dengan kata lain, penggambaran sosok Eyang Prabu Minak Jinggo ini di buat karena merujuk pada perintah penguasa Majapahit saja. Atau lebih dapat kita sebut sebagai penggambaran karakter Istanasentris.[2]
Di dalam masyarakat Banyuwangi (Osing) sendiri dalam memandang sosok Minak Jinggo merupakan seorang pahlawan tertinggi Blambangan. Bagi mereka Minak Jinggo adalah raja yang sangat di hormati, di junjung tinggi, dan merupakan harga diri serta sebagai lambang dari kedaulatan Blambangan-Banyuwangi. Penggambaran sosok Minak Jinggo semacam ini tercermin dalam pemakaian tindak tanduk masyarakat Banyuwangi serta tata bahasa Osing itu sendiri. Pertunjukan Janger yang menggunakan bahasa Osing sebagai bahasa pengantar untuk adegan kerajaan Blambangan menganggap Minak Jinggo sebagai pahlawan mereka. Hal ini biasanya di lakukan oleh kelompok janger yang pemainnya orang Osing sendiri.
Sungguh ironis memang, kebudayaan di jadikan contoh penggambaran kejahatan karena Minak Jinggo tidak mengakui kerajaan Majapahit dan Mataram sebagai penguasa wilayah kerajaan Blambangan di masa kepemimpinannya. Kita ketahui bahwa kerajaan Blambangan sangat kuat dan belum pernah di jajah oleh Majapahit. Sedangkan kita tahu kerajaan Majapahit mengusai sampai ke benua Afrika. Bahkan dalam Catatan sejarah Kerajaan Blambangan, Majapahit hanya bisa mengklaim bahwa kerajaaan Blambangan termasuk ke dalam wilayahnya. Betulkah, sampai saat ini belum di temukan peninggalan cerita yang utuh dari kerajaan Blambangan, yang ada dan tersebar luas hanyalah versi sejarah kerajaan Majapahit saja. Atau bisa jadi semua kisah asli dari kerajaan Blambangan dan Minak Jinggonya sengaja ada yang menghilangkannya.
B.  Sejarah Minak Jinggo versi Majapahit
Konon, di sebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang di pegang oleh Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang di lakukan oleh Minak Jinggo (Bhre Wirabumi/joko umbaran), pada kala itu ‘Jengho’ melalui pintu belakang yakni kerajaan Blambangan yang di pipimpin oleh Minak Jinggo, Naiknya Joko Umbaran menjadi raja diawali sayembara sang Ratu. Ratu cukup repot dengan kehadiran adipati Blambangan Kebo Marcuet yang mulai merongrong Majapahit. Akhirnya di sayembarakan, siapa yang mampu membunuh Kebo Marcuet akan diberi tanah Blambangan dan dijadikan suami Kencono Wungu. Joko Umbaran berhasil membunuhnya. Dia menang setelah di bantu seorang pemanjat kelapa bernama Dayun. Kemenangan itu harus dibayar mahal. Wajah Joko Umbaran rusak dan kakinya pincang.
 Hal ini di manfaatkan oleh jengho untuk mengacau perhatian Majapahit yakni menyusup pintu pertahanan Majapahit dari laut jawa sehingga sebagian besar pasukan ‘jengho’ tidak di ketahui telah masuk dari semarang leh sang ratu. Kembali pada cerita sebelumnya. Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo seperti raksasa (wajahnya bulat seperti tempeh khas mongoloid) hampir saja Minak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti, sebab ia memiliki senjata yang di sebut gada wesi kuning (Senjata Pentungan Gada yang berisi racun dan kotoran penderita kholera). Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Minak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa, apabila wanita akan di jadikannya sebagai saudara, apabila lelaki akan di jadikannya sebagai suami. Tersebutlah seorang ksatria putra seorang Brahmana bernama Raden Damarwulan (irojan munira/ Maulana Iskak ).
Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir (kerajaan karang asem dan klungkung sampai sekarang di kuasai keturunan china/ mongol bukti jengho tidak dapat masuk ke jawa dia bukan lah muslim tapi budhist bukti adalah tidak di dirikannya mesjid tetapi kuil taou). Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Wahita dan Dewi Lempuyengan akhirnya Minak Jinggo dapat di kalahkan (di blambangan saja). Selanjutnya Dewi Wahita dan Dewi Lempuyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu (mempunyai putra yang dinamai raden paku/ sayid ainul yaqin yang kelak menjadi raja di demak karena ibunya adalah ratu Majapahit/ Blambangan dengan gelar Prabu Satmata) dan bersama-sama memerintah di Majapahit.
Cerita Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur (peperangan antara walisongo dengan majapahit adalah dengan prabu brawijaya ke VII yang ketika itu majapahit sudah lemah karena negara manca negarinya sudah di kalahkan Mongol di duga kemarahan pasukan Tar-tar China adalah di serangnya Sriwijaya-Budhist oleh Majapahit-Hindhu dan pembalasan kekalahan Khubilaikhan). Hingga sekarang kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto. Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh penduduk di anggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu(ratu Majapahit yang di tinggal oleh Maulana Ishak karena mungkin Jengho sudah masuk pasae/ Gresik, apakah beliau syahid di sana sehingga sunan Giri sejak kecil sudah piatu, tinggal di kepatihan di angkat putra oleh Nyai Bin Patih/ Nyi Ageng Pinatih: Kampung kecil HaBaSA). Dewi Wahita dan Dewi Lempuyengan serta beberapa orang pengikutnya. Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah makam-makam Islam yang awal (Raden Asmara Bangun artinya Kebangkitan putra sulthan Ibrahim Asmaraqondhi). Dari angka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisan menunjuk angka 1295 M - 1457 M.
C.  Sejarah Minak Jinggo versi Banyuwangi
Kisah sejarah Blambangan versi Majapahit tersebut di mentahkan oleh masyarakat Banyuwangi. Minimnya bukti di lapangan makin menguatkan pernyataan itu. Minak Jinggo bagi masyarakat Banyuwangi merupakan seorang pahlawan tertinggi Blambangan. Bagi mereka Minak Jinggo adalah raja yang merakyat, di hormati, di junjung tinggi, raja yang dermawan, yang arif bijaksana dan merupakan harga diri serta sebagai lambang dari kedaulatan Blambangan dan sifat sejati masyarakat Banyuwangi (Suku Osing). Menilik cerita sejarah Blambangan pada tahun 700 - 1600 masehi. Dari hikayat yang berkembang, setidaknya ada empat raja yang pernah memerintah Blambangan :
Raja pertama Siung Manoro yang datang dari Kediri, Jawa Timur. Tokoh ini pertama kali masuk ke Alas Purwo dan bertempat tinggal di rumah penguasanya, Mbah Dewi Roro Upas. Tidak disebutkan pasti sampai kapan pemerintahan Siung Manoro dan hubungannya dengan ratu Alas Purwo tersebut.
Raja kedua, Kebo Marcuet, putra seorang bangsawan dari Klungkung, Bali. Disebutkan, tokoh ini memiliki sepasang tanduk. Karena keanehan inilah, dia dibuang orangtuanya ke Alas Purwo. Di tempat ini, dia dirawat seorang resi sakti, Ki Ajah Pamungger, yang juga kakek Minak Jinggo atau Joko Umbaran, salah seorang raja Blambangan yang nanti menjadi tokoh sentral isi cerita ini.
Raja ketiga. Selanjutnya Blambangan di pimpin oleh Joko Umbaran/Bre Wirabumi/ Minak Sembuyu, pemuda sakti asli blambangan cucu Ki Ajah Pamungger Alas Purwo. Kala itu di barat, kerajaan Majapahit di pimpin oleh ratunya bernama Kencono Wungu. Joko Umbaran di nobatkan oleh rakyat Blambangan sendiri menjadi raja Blambangan bergelar sang Prabu Minak Jinggo atau Bre Wirabumi. Ada kaitan kisah yang menarik dari tokoh ketiga raja blambangan ini dengan kaitan lahirnya sunan Giri;
Dikisahkan dalam penyebaran islam di Jawadwipa, sunan Ampel bersahabat dengan syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari negeri pasai yang juga berdakwah di jawadwipa. Tepatnya di Blambangan. Syekh Maulana Ishak juga yang nantinya akan dimintai bantuan oleh Prabu Minak Sembuyu agar mengatasi pagebluk[3] di Kerajaan Blambangan, terlebih lagi sang Prabu prihatin lantaran putri satu-satunya yakni Dewi Sekardadu juga terserang wabah itu dan mengakibatkan sang puteri jatuh sakit tak berdaya selama berbulan-bulan.
Kala itu Prabu Minak Sembuyu mengadakan suatu sayembara, “Barangsiapa yang bisa menyembuhkan sakit puteriku Dewi Sekardadu dan menghilangkan pagebluk di kerajaan Blambangan, jika wanita akan kujadikan sedulur sinorowedi[4] dengan Dewi Sekardadu, apabila laki-laki akan aku nikahkan dengan Dewi Sekardadu serta di beri hadiah separuh kerajaan”.
Karena tak ada satupun brahmana atau biksu kala itu yang mampu mengabulkan permintaan sang Prabu Minak Sembuyu. Maka sang prabu mengutus Patihnya yang bernama Patih Bajul Segoro agar keliling njajah deso milang kori[5] untuk menyelesaikan masalah di Blambangan. Dalam melaksanakan tugasnya sang patih akhirnya bertemu dengan seorang pertapa sakti bernama Resi Kandhabayu. Melalui informasi Resi Kandhabayu inilah akhirnya Patih Bajul Segoro mengetahui orang yang sanggup mengobati penyakit Dewi Sekardadu dan meleyapkan masalah pagebluk di Blambangan, yaitu tersebutlah nama seorang pertapa yang sedang melakukan semedi (tafakkur)[6] di Gunung Selangu, yakni Syekh Maulana Ishak. Dan terbukti akhirnya Syekh Maulana Ishak berhasil menyembuhkan sakit sang puteri dan meleyapkan pagebluk di Kerajaan Blambangan. Sesuai janji sang Prabu Minak Sembuyu, maka akhirnya Syekh Maulana Ishak di nikahkan dengan puterinya Dewi Sekardadu dan di hadiahi separuh dari kerajaan, dari pernikahan inilah kemudian lahir seorang anak laki-laki yang cerdas dan berbudi luhur dan kelak menjadi terkenal seantero Nusantara yakni anak laki-laki itu bernama Raden Paku/Joko Samudero/Sunan Giri, yang tak lain dan tak bukan adalah cucu asli dari sang Prabu Minak Jinggo/Minak Sembuyu/Bre Wirabumi.
Raja terakhir Blambangan adalah Joto Suro. Setelah di angkat menjadi raja, Joto Suro kembali ingin mendapatkan Dewi Sedah Merah. Pasukan Joto Suro menyerang Mataram. Usahanya berhasil. Dewi Sedah Merah di boyong ke Blambangan. Suaminya, Pangeran Julang, memilih kabur. Meski menjadi tawanan, Dewi Sedah Merah menolak di nikahi. Dia memilih mati dengan cara bunuh diri. Selama menjadi raja, Joto Suro mengangkat patih Ario Bendung. Ario Bendung kemudian ditipu agar menyerang Mataram. Padahal itu hanyalah akal-akalan Joto Suro untuk menikahi istri Ario Bendung. Namun, gagal, istri Ario Bendung menolak, lalu dibunuh Joto Suro. Mendengar istrinya tewas, Ario Bendung mengamuk. Ia membunuh Joto Suro.
Tanpa penyebab yang jelas, Ari Bendung akhirnya bunuh diri dan tewas di Mataram. Kepergian Ario Bendung ke Mataram bertepatan munculnya meletusnya Gunung Raung tahun
1638 yang mengakibatkan banjir lahar yang melanda Blambangan.
Saat itu penduduk Blambangan hanya tinggal tak lebih dari 100 orang. Sebagian bertahan di Blambangan dan sisanya memilih pindah ke Mataram. Sejak saat itu Blambangan menjadi hutan belantara. Seluruh bekas kerajaan yang ditinggalkan hancur tertimbun lahar.
D.  Sejarah Minak Jinggo versi Budayawan Banyuwangi
Tetapi ada versi lain yang menyebutkan bahwa kerajaan Blambangan di yakini baru muncul sekitar tahun 1700, yakni, selama kepemimpinan Prabu Tawang Alun dengan kerajaannya di Desa Macanputih, Kabat. Tawang Alun diyakini keturunan bangsawan Majapahit dari Jember. Kemudian mendirikan kerajaan Macan Putih sebagai ibu kota Blambangan. Sebelum menetap di Macan Putih, Tawang Alun memindahkan pusat pemerintahannya tiga kali. Pertama di Lateng, Rogojampi, lalu ke Bayu, Songgon yang saat ini lebih di kenal dengan sebutan Rowobayu, dan terakhir ke Macan Putih, Kabat. Keturunan Tawang Alun dan keturunan Rempeg Jogopatilah  yang berperang ‘Puputan’[7] melawan Belanda juga di yakini masih memiliki ikatan darah dengan keraton Mengwi, Badung. Dari sinilah nama Banyuwangi muncul setelah menghilangnya Blambangan. “Bukti sejarah Blambangan memang sangat minim. Apalagi tidak ada satu pun prasasti yang menyebutkannya. Penulis mencoba menganalisis dari berbagai sumber yang otentik. Menurut budayawan Banyuwangi, Hasan Ali. Konon, dari buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan Leiden, Belanda, nama Blambangan hanya di sebut sejak pemerintahan Tawangalun(Mas Senepo). Sebutan ‘Blambangan’ juga misterius. Ada yang menyebut cikal bakalnya adalah tirto arum. Ada juga dari kesusastraan kerajaan Kediri yang menyebut Blambangan dengan ‘Balamboangan’. Artinya, daerah subur penghasil padi terbesar selama pemerintahan Majapahit. Penetepan hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771 juga didasarkan pada sejarah perjuangan Tawang Alun dan keturunannya melawan penjajah Belanda. Banyaknya bukti sejarah bekas kerajaan Blambangan yang tersisa, kata Hasan Ali, tidak ada kaitannya dengan hikayat Damarwulan, Minak Jinggo, dan Blambangan versi Majapahit.
Dari pemaparan beberapa versi diatas, dapat kita tarik satu benang merah yakni, versi yang sering di ceritakan oleh Majapahit dan di yakini oleh masyarakat jawa pada umumnya, tentang figur Minak Jinggo dapat dikatakan sebagai kreasi khayalan pen-diskredit-tan[8] sosok Raja Blambangan itu sendiri. Dengan kata lain juga dapat penulis tarik satu kesimpulan yang masuk akal, bahwa apa yang sebenarnya di anggap benar dan baik oleh kebanyakan orang dan telah lama di jadikan sebagai bahan mutlak dalam bercerita sejarah, ternyata belum tentu baik dan benar di lihat dari  sudut pandang pihak/ kelompok yang di marjinal-kan.[9]



BAB II
1.        Asal-usul Kesenian Janger Banyuwangi
Banyuwangi - Pada abad ke-19, di Banyuwangi hidup suatu jenis teater rakyat yang disebut Kesenian Ande-Ande Lumut karena lakon yang dimainkan adalah lakon Andhe-Andhe Lumut. Dan dari sumber cerita dari mulut ke mulut, pelopor lahirnya Janger ini adalah Mbah Darji, asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi kota. 
Mbah Darji ini adalah seorang pedagang sapi yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali. Dan dari situ dia tertarik dengan kesenian teater Arja dan dia pun berkenalan dengan seniman musik bernama “Singobali” yang tinggal di desa Penganjuran, Kecamatan Banyuwangi. Kemudian terjadi perpaduan antara teater Ande-Ande Lumut dengan unsur tari dan gamelan Bali, sehingga lahirlah apa yang saat ini disebut “Damarwulan Klembon atau Janger Klembon”.
Semenjak itu, mulai lahir grup-grup damarwulan di seantero Banyuwangi. Mereka bukan hanya memberikan hiburan, namun juga menyisipkan pesan-pesan perjuangan untuk melawan penjajah dengan kedok seni. Di masa revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.
Menurut Dasoeki Nur, seorang pelaku kesenian Janger Banyuwangi, teater ini juga sempat berkembang hingga melampaui wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan menurutnya lagi, pada tahun 1950-an pernah berdiri dua kelompok Janger yang berada di wilayah Samaan dan Klojen, Kota Malang.
2.        Janger Minak Jinggo-an
Di dalam kesenian janger/ damar wulyanan/ jinggoan tokoh yang sangat sering di lakonkan di dalamnya adalah MINAK JINGGO yang menurut kisahnya adalah salah satu Raja Blambangan.
Dalam temperamennya, Minak Jinggo digambarkan sebagai seorang raja yang gagah perkasa, namun pincang, suka makan sirih, buruk rupa, suka bertindak sewenang-wenang dan mempunyai pendamping setia dan selalu ada yaitu abdi kinasihnya Dayun. Seorang yang belum menikah/ masih perjaka. Dalam pementasan janger Minak Jinggo di ceritakan sang Raja Blambangan ingin menagih janji ke Ratu Majapahit, yaitu Dyah Ayu Kencono Wungu. Karena berhasil mengalahkan seorang raksasa bertanduk kerbau yaitu KEBO MARCUET.
Namun menurut keyakinan dari anak cucu masyarakat Banyuwangi, dalam pementasaannya Minak Jinggo digambarkan sebagai seseorang yang gagah perkasa, tampan, sopan santun, halus tutur katanya dan selalu di gandrungi banyak wanita. Hal inilah yang menjadi tonggak permulaan yang tertancap kuat di jantung penulis untuk mengembalikan kebenaran sejarah yang telah terbengkok-bengkok selama berabad-abad lamanya, dan juga tentunya agar masyarakat nusantara membuka mata serta tahu bahwa perilaku sejati leluhur masyarakat Banyuwangi adalah mulia, bukan seperti yang di pahami selama ini, tentunya hal ini juga bermanfaat khususnya bagi kemajuan dan pelestarian seni bagi generasi Osing mendatang.
A.    Keunikan Janger Banyuwangi
Keindahan seni janger banyuwangi ini adalah kesenian yang berhibrida dari pulau Bali. Dari musik yang mengiringinya adalah musik Bali (gamelan Bali), sedangkan dalam pementasannya di selingi dengan lagu-lagu dan cerita, serta tarian dari bali dan banyuwangi itu sendiri.
Dari segi musik pengiring dalam pementasan, terdapat kolaborasi yang sangat spektakuler dan unik sekali. Dalam pagelarannya kadang tiba-tiba musik Bali itu di sisipi dengan warna musik Banyuwangi. Namun dalam alur cerita selalu di iringi dengan Gamelan Bali. Saat menyanyi kembali di iringi dengan musik khas Banyuwangi.
Sering di jumpai dalam pementasannya, janger membawakan cerita-cerita babad tanah jawa, legenda, kisah mahabarata, bahkan cerita karangan seniman Osing sendiri. Unik memang, karena kalau di telusuri ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Yaitu, unsur Banyuwangi, unsur Bali, Unsur Surabaya/ ludruk, Unsur Jawa Tengah/ ketoprak. Begitu lengkapnya kesenian ini. Maka patut juga di sematkan gelar pada kesenian janger ini sebagi kesenian pluralisme dalam berkesenian.
B.     Pakaian Dan Bahasa
Pementasan yang memakan waktu kurang lebih 8-10 jam ini berbahasa jawa tinggi, namun untuk lawakannya biasa menggunakan bahasa khas asli Banyuwangi yaitu bahasa Osing. Sedangkan pakaiannya adalah terdiri dari berbagai adegan, untuk yang berperan sebagai jin (brawakan)selalu berpakaian mirip pakaian adat Bali, juga para pemain putrinya selalu berpakain ala Bali yang cantik dan elok di pandang.
Namun ada juga yang berpakain ala ketoprak, jadi tegantung dengan peran yang di lakoninya. Banyak dari para seniman janger ini yang kadang pakaiannya membuat dengan menjahitnya dan membawa sendiri, begitu kreatifnya sehingga kadang dalam peran apapun para seniman Janger ini bisa melakonkan seluruh peran secara spontanitas dengan etos profesionalisme yang tinggi.
C.    Lakon dan Cerita
Pementasan selalu ada lakon dan cerita, Namun soal lakon dan cerita ini biasanya dilaksanakan oleh para aktor/ aktrisnya setelah ada permintaan dari penanggap atau pengundangnya yang meminta lakon atau cerita apa yang harus di lakonkan pada pementasan tersebut.
Nah, disinilah peranan sesepuh atau sutradara yang akan mengelola lakon dan siapa saja yang berperan di dalamnya. Lakon dan cerita bisa cerita babad tanah jawa, legenda, kisah mahabarata, atau bahkan cerita seperti layaknya di film-film terbaru saat ini, semua bisa mereka laksanakan tanpa latihan, dan live show.
D.    Tari Pengiring
Sebelum pementasan cerita, biasanya di iringi oleh tari yang dibawakan oleh seniman-seniman janger tersebut. Sedangkan Tariannya bermacam-macam, biasanya yang pasti ditarikan adalah tarian dari pulau Bali, yaitu tari Margopati. Namun tarian dari Banyuwangi sendiri banyak yang di bawakan saat pementasan sebagai pengiring. Seperti Tari Jejer Gandrung, Punjari, Gandrung Dor, Aji Jarang Goyang, Sabuk Mangir, dan lain-lain.
E.     Perkembangannya
Untuk saat ini kesenian Janger yang ada di Kabupaten Banyuwangi sudah mencapai lebih dari 100 group/ organisasi seniman-seniman Banyuwangi. Walaupun untuk saat ini banyak yang sudah pudar karena kurangnya minat para penikmat seni untuk menanggap seni jangeran. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini masih ada yang sangat populer di mata masyarakat Banyuwangi.
Beberapa organisasi seniman janger yang cukup populer di Banyuwangi diantaranya, "SETYO KRIDHO BUDOYO" Parijatah wetan Kecamatan Srono yang di pimpin oleh Bripda Pol. Arief Yudistya, " DHARMA KENCANA" Glondong yang dipimpin oleh I MADE SWEDEN, "SRI BUDOYO PANGESTU" Parijatah Wetan, yang di pimpin oleh Ir.Punto Hadi. Nah, itulah sedikit tentang Janger Banyuwangi.






[1]  re·pre·sen·ta·si /répréséntasi/ n 1 perbuatan mewakili; 2 keadaan diwakili; 3 apa yg mewakili; perwakilan
[2]  berbicara tentang istana, atau seputar kerajaan
[3]  Wabah yang terjadi di Blambangan, banyak rakyat yang sakit pada pagi harinya akan meninggal pada sore harinya, begitu juga apabila sakit pada sore harinya maka akan meninggal pada pagi harinya
[4]  Dianggap sebagai anak kandung sang raja dan sebagai saudara kandung puterinya
[5]  Berkeliling Keluar Masuk Ke Desa-desa
[6]  Perenungan-pengheningan cipta-menghaluskan hati
[7]  tindakan perlawanan bersenjata habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah ini berasal dari kata bahasa Bali "puput" yang artinya "tanggal" / "putus" / "habis / "mati". Puputan berarti perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada dari semua kasta sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan jiwa dan raga sampai titik darah penghabisan.
[8]  men·dis·kre·dit·kan v (berusaha untuk) menjelekkan atau memperlemah kewibawaan seseorang atau satu pihak tertentu: selebaran berupa pamflet gelap itu bertujuan ~ mengokohkan suatu kekuasaan
[9]  Di pinggirkan, di pojokkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar