Rabu, 19 Maret 2014

Hidup Di Ibu Kota

Oleh : Dzulfikar Rezky Jakarta, 5 Maret 2014 Jakarta menyimpan banyak tanda tanya sekaligus kegembiraan. Disana-sini rentetan mobil yang merangkak di jalanan ibu kota dengan padat setiap hari mewarnai kisah dari kota yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia. Namun di sisi lain di sudut gang-gang ibu kota, banyak sekali aura posistif yang terpancar melalui senyuman para penduduknya. Memang tidak semua, namun senyuman di Jakarta bisa sangat bermakna ketika juta’an pasang mata terlipat lesu karena kemuraman wajah yang di ciptakannya. Manusia sibuk memikirkan dirinya sendiri, diri yang tidak pernah sama sekali menikmati hasil dari jerih payah yang mereka lakukan selama ini. Jerih payah yang terjadi dari perburuan dan perburuhan waktu yang tidak ada hentinya. Terlalu perhitungan jika memberi bantuan, bantuan yang semestinya hadir dari dalam lubuk sanubari dengan ikhlas tulus dan suci. Tidak akan pernah jaya dan merasa bangga manusia ketika tangannya hanya bekerja untuk mengusap keringat yang mengucur di dahi dan pipinya. Pandangan curiga dan mulut yang tidak jarang melontarkan kalimat-kalimat umpatan yang sejatinya tidak pernah akan dia lakukan jika berada dalam lingkungan rumahnya. Tapi inilah Jakarta, kota yang tidak akan pernah bersahabat pada manusia yang memili rasa persahabatan. Lucu dan aneh memang, ketika tangan kita menjabat namun dari dalam hati orang yang kita jabat terdengar suara, “hah kali ini aku bermanis muka padamu, tetapi besok kamu akan menangis karenaku”. Sebegitu bengiskah isi jiwa Jakarta. Tiada yang mampu menjamin perubahan di Jakarta menjadi lebih baik, namun bantuan akan meraih kesuksesan hanya dapat kita capai dengan usaha yang baik dari dalam diri kita sendiri. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia jika kita menjalani semuanya dengan kesungguhan, keberanian, kebenaran dan ketulusan yang kesemuanya itu terbungkus dalam lembaran KETENANGAN. TENAGLAH WAHAI SAHABAT, JAKARTAMU JUGA JAKARTAKU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar